Selasa, 30 Desember 2014

Misteri Harta Kekayaan Tjong A Fie

Sebuah gedung tua berwarna kuning pucat berdiri kokoh ditengah-tengah keramaian lalu lintas kota Medan. Gedungnya dua lantai, di depan pintu utama tergantung dua lampion berwarna merah khas Cina. Gedung itu tak sendiri, masih banyak gedung-gedung tua disekitaran daerah ini. Daerah ini dikenal sebagai Kesawan oleh orang-orang Medan.
Rumah Tjong A Fie

 Gedung yang dimaksud adalah Tjong A Fie Mansion, sebuah rumah tua yang telah berdiri sejak tahun 1895. Rumah ini didirikan sendiri oleh Tjong A Fie dengan bantuan arsitek dari Belanda. Tjong A Fie sendiri adalah seorang pedagang dermawan dari Cina yang sering membantu pembangunan daerah kota Medan sejak tahun 1890-an. Kekayaannya berasal dari luasnya perkebunan yang ia miliki, ia membuka lapangan kerja bagi rakyat pribumi dan masyarakat China dengan perkebunan yang ia miliki.

Seorang lelaki tua berkacamata hitam berdiri dihadapan kami. Ia mengenakan kaos oblong berwarna krem, ialah Fon Prawira Tjong. Ia adalah cucu dari Tjong A Fie dari anak yang keempat. Ia menceritakan pada kami berbagai kedermawanan dan berbagai bentuk bantuan Tjong A Fie untuk pembangunan kota Medan dan Sumatera Utara, Tjong A Fie pernah membiayai pembangunan Mesjid Lama Gang Bengkok, Mesjid Lama di Sipirok dan berbagai bantuan yang berguna bagi masyarakat sekitar. Ia juga membantu memberi santunan untuk masyarakat tak mampu.

Sebagai pemimpin usaha, Tjong A Fie membentuk manajemen-manjemen untuk mengurusi berbagai usaha yang dimilikinya. Untuk itu ia menunjuk orang Belanda untuk mengisi tempat ini. “Karena tak mungkin ia mengurusi sendiri semua bentuk usaha tersebut.” Katanya sambil tersenyum

Orang Belanda itu menjadi tangan kanan usaha Tjong A Fie sejak ia masih hidup. Istrinya yang ketiga tak sekolah, anak-anaknya masih dibawah umur sehingga Tjong A Fie menunjuk seorang Belanda untuk mengurusi perkebunan dan berbagai bentuk usaha yang ia miliki.

Setelah Tjong A Fie meninggal di tahun 1921, pihak Belanda memindahkan semua keluarga Tjong A Fie, istri dan anak-anaknya yang masih kecil sebanyak tujuh orang ke Swiss selama lima belas tahun. Tak ada satupun keluarga Tjong A Fie yang tertinggal di Medan, sehingga harta dan kekayaan tersebut tak ada yang mengawasi.

“Apa yang terjadi kalo tak satupun keluarganya di medan untuk mengawasi segala usaha Tjong A Fie?” Tanya Fon
Fon Prawira Tjong, salah satu cucu Tjong A Fie tengah jelaskan mengenai kedermawanan kakeknya 


Fon tak berani langsung menuduh kalau harta tersebut diambil alih oleh Belanda. Tetapi secara halusnya ia menyebut akan terjadi sesuatu hal yang tak berpihak terhadap kepentingan keluarga Tjong A Fie. “Sebab sewaktu mereka kembali sebagian dari harta-hartanya ini sudah banyak berkurang, dengan berbagai alasan yang dipertanggungjawabkan oleh Belanda” ucapnya dengan nada lesu.

“Yang mengerti Belanda, yang tahu Belanda yang mempertanggungjawabkan juga Belanda, jadi dijawablah sendiri apa itu kejadiannya,” tantang Fon.

Sisa-sisa harta tersebut lalu dikelola oleh keluarga setelah mereka kembali tapi mereka menghadapi perang dunia kedua, berbagai perubahan-perubahan sosial politik, pemberontakan dimana-mana, sehingga dengan berbagai gejolak dan perubahan tersebut membuat kehilangan hak atas kepemilikan harta “Ada beberapa hal yang menghilangkan banyak hak atas kepemilikan harta keluarga di Sumatera Utara,” ungkap Fon.

Fon tak bisa bilang  harta itu hilang, habis atau diambil orang tapi itu akibat dari proses kehidupan, “Mungkin suatu saat bisa diambil kembali tapi kapan wallahualam,” katanya.
Tjong A Fie sendiri meninggal di umur enam puluh satu tahun, ia meninggal mendadak dengan alasan pecah pembuluh darah, “Kembali lagi dengan logika sejarah, ada apa? Itu lah yang perlu diinvestigasi,” tanyanya penasaran.

Rumah Tjong A Fie Kini
Tampak sebuah rombongan kecil yang dipimpin oleh seorang wanita muda. Namanya Tetty Ginting, ia merupakan salah satu guide di rumah Tjong A Fie ini. Dari penjelasan Tetty rumah Tjong A Fie terdiri dari tiga bagian utama, bagian sayap kanan, sayap kiri dan gedung induk. Sayap kanan dan gedung induk boleh digunakan untuk tempat kunjungan, bagian sayap kiri diisi oleh keluarga Fon Prawira Tjong.

Sejak tahun 2009 rumah Tjong A Fie dijadikan tempat kunjungan. Tetty bilang rata-rata pengunjung perhari sekitar dua puluhan. Luas rumah enam ribu meter persegi dengan luas bangunan delapan ribu meter persegi, dengan jumlah kamar 35 kamar.
Bagian dalam Rumah Tjong A Fie

Ia menyebutkan dari awal pembangunan rumah ini tak ada perubahan, hanya penambahan tiang kecil untuk memperkokoh gedung. Tjong A Fie turut memberi ide rancangan dan desain. Tetty bilang Tjong A Fie ingin membuat semua orang nyaman berada di rumahnya. Warna kuning yang merupakan gaya melayu ia pakai, sedangkan hijau merupakan perlambang keislaman, “Banyak yang tanya kenapa sih warnanya gak dominan merah seperti rumah Cina kebanyakan? Nah jawabannya yang itu tadi lah,” jelas Tetty sambil tersenyum.

Ditahun 2009 juga, rumah Tjong A Fie resmi dijadikan cagar Budaya oleh pemerintah, akan tetapi mengenai anggaran perawatan tak ditanggungjawabi oleh pemerintah. “Ini masih masuk prioritas ke tiga puluh,” kata Fon


Fon menyebutkan banyak yang menawarkan tanah dan rumah ini untuk dijual yang kemudian akan digunakan sebagai lahan untuk pembuatan mall, restoran ataupun hotel.   Tetapi dengan yakin ia tak akan menjual rumah bersejarah ini, karena dari pandangannya ia melihat sejarah sebagai kebanggaan bangsa sehingga ia tak akan menjual aset berharga ini. “Orang yang mau menjual sejarah adalah orang yang hanya melihat sejarah dari segi entertaint atau hiburan saja sehingga banyak yang memperjualbelikannya,” terangnya.

Senin, 29 Desember 2014

Sebuah Sindiran untuk Sepakbola Indonesia

Perjuangan untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia terus berlanjut. Kali ini seorang sineas tanah air coba menyindir kondisi persepakbolaan Indonesia melalui sebuah film.

Judul film          : Hari Ini Pasti Menang
Sutradara          : Andibachtiar Yusuf
Pemain             : Zendhy Zein, Ibnu Jamil, Ario Prabowo, Ray Sahetapy, Mathias Muchus, Tika Putri
Distributor         : Bogalakon Pictures
Rilis                  : April 2013
Durasi               : 122 Menit

Kemelut dan kisruh persepakbolaan di Indonesia pada 2011 hingga 2013 lalu sepertinya menginspirasi seorang Andibachtiar Yusuf untuk memproduksi sebuah film bertemakan sepakbola. Film yang ia garap ini berkisah tentang dunia persepakbolaan di Indonesia yang telah memasuki era industrialisasi, kondisi dimana sepakbola benar-benar telah menjadi sebuah industri dengan sistem jual beli pemain secara profesional. Dunia sepakbola yang ia ceritakan penuh dengan aksi para mafia sepakbola yang mencoba mengendalikan puluhan pertandingan di Liga Sepakbola Indonesia lalu mengambil keuntungan dengan menjadi Bandar judi bola.

Gabriel Omar Bhaskoro melakukan selebrasi

Berbeda dengan film bertema sejenis semisal Garuda di Dadaku, dan Tendangan dari Langit, film ini bukanlah mengisahkan perjuangan seorang menjadi bintang sepakbola dari tak dikenal hingga dikenal. Film ini lebih menonjolkan realitas yang tak diketahui oleh masyarakat awam mengenai persepakbolaan Indonesia, sama seperti karyanya yang sebelumnya, Romeo & Juliet (2009).

Kita diajak untuk menikmati imajinasi ala Andibachtiar, Tim Nasional (timnas) Indonesia dikisahkan mampu berlaga di Piala Dunia. Seorang Bambang Pamungkas yang diperankan oleh Ibnu Jamil dikisahkan adalah seorang pemain yang telah bermain lebih dari sepuluh tahun di liga eropa. Lupakan kenyataannya mari kita nikmati dunia sepakbola imajinasi Andi Bachtiar!

Di sebuah pertandingan antara Jakarta Metropolitan melawan Bandung, Jakarta Metropolitan mampu memimpin satu gol berkat gol dari Gabriel Omar Bhaskoro (Zendhy Zein), ia lah bintang utama dalam film ini. Namun jalannya pertandingan rupanya telah diatur oleh mafia dan Bandar judi sepakbola. Pertandingan sebenarnya berlangsung seru, hingga akhirnya Gabriel harus menerima kartu merah akibat menanduk salah seorang pemain lawan. 

Gabriel berbuat begitu bukan tanpa alasan, ia terus diprovokasi dan dipancing agar melanggar oleh salah seorang pemain lawan yang telah diminta untuk berbuat demikian, ia juga sudah diminta secara rahasia untuk mengalah pada pertandingan itu. Hal ini dilakukan oleh Bandar judi agar mereka bisa meraup keuntungan yang besar dari pertandingan tersebut.

Dan benar saja, hasil pertandingan sesuai dengan settingan para mafia,  Bandung berhasil memaksakan hasil imbang lewat ‘hadiah’ pinalti yang diberikan wasit di menit-menit akhir pertandingan. Esok malamnya Gabriel dan Pelatih Jakarta Metropolitan, Bramantyo (Ray Sahetapi) bertemu secara rahasia untuk melakukan serah terima uang suap dari mafia. Kejadian ‘hadiah’ pinalti oleh wasit ini benar-benar sering terjadi di liga profesional Indonesia, ini lah sindiran pertama yang Andibachtiar sampaikan.  

Mendengar keterlibatan mafia dan bandar judi dipersepakbolaan Indonesia membuat seorang jurnalis olahraga bernama Andien (Tika Putri) tertarik melakukan investigasi. Hasil investigasi Andien menunjukkan adanya keterlibatan Gabriel. Andien coba bertanya pada Edhie Bhaskoro (Mathias Muchus) ayah Gabriel dan Pelatih Bramantyo mengenai keterlibatan Gabriel. Baik Edhie dan Bramantyo dengan tegas membantah keterlibatan Gabriel dalam mafia bola dan pengaturan pertandingan.

Di tengah penelusuran yang dilakukan Andien, ia mulai mendapat teror dari pihak tak dikenal. Ia diserempet motor diperjalanan pulang hingga ancaman terhadap nyawanya. Ia mulai frustasi dan ketakutan, timbul perdebatan dibatinnya apakah akan melanjutkan investigasinya atau tidak. Sebab usaha untuk melapor ke polisi pun akan sia-sia, ia tahu polisi juga pasti bersekongkol dengan mafia. Andibachtiar kembali menyindir bahwa aparat keamanan pun sudah dikuasai para mafia.

Gabriel Omar coba protes pada wasit


Andien memutuskan tetap melanjutkan investigasinya. Ia menemui Gabriel, dari Gabriel ia temukan jawaban bahwa mafia dan bandar judi memang terlibat dalam pengaturan skor di liga Indonesia, secara tak langsung Gabriel pun mengakui ia juga terlilbat praktik mafia pengaturan skor. Kembali Andibachtiar menyentil dengan tak diizinkannya Andien menuliskan berita yang telah ia dapatkan itu oleh pemimpin redaksinya sendiri. Seakan-akan media juga sudah dikendalikan mafia.

Andibachtiar mengakhiri cerita dengan cerdas dan elegan. Mengetahui anaknya terlibat mafia, Edhie mengalami kecelakaan. Hal ini lah yang menyadarkan Gabriel akan semua kesalahannya. Pada akhir cerita Jakarta Metropolitan melawan Melbourne Rovers dalam Liga Champions Asia. Para mafia sudah memesan agar Gabriel tidak mencetak gol dan biarkan Melbourne Rovers menang. Wasit dan pelatih tim tamu juga sudah di atur. Namun kali ini Gabriel melawan, ia tak mau ikuti para mafia. Gabriel malah mencetak dua gol pada babak pertama dan membawa Jakarta metropolitan unggul dua kosong.

Hal ini memicu amarah para mafia, mereka telah bayar mahal namun sang bintang tak menurut. Puncaknya ketika Jakarta Metropolitan berhasil menambah satu gol lagi di babak kedua. Sang mafia mencak-mencak lantas memerintahkan pelatih Melbourne untuk menghancurkan karir Gabriel, caranya dengan bermain kasar. Gabriel dilanggar berkali-kali hingga alami cedera parah, kakinya patah! Gabriel harus segera dioperasi kalau tidak ia akan lumpuh. Banyak media memberitakan pertandingan yang tidak adil tersebut dan sekelompok masyarakat meminta agar dilakukan investigasi tentang pertandingan tersebut.


Kembali Andibachtiar menyindir lewat klimaks pada cerita ini. Kejadian pemutusan karir seorang bintang karena melawan mafia memang pernah terjadi di Indonesia. Dalam sebuah scene diakhir film, seorang presenter televisi menyerukan sebuah pertanyaan, pertanyaan yang mungkin juga muncul dibenak kita. “Benarkah sepakbola Indonesia dinakhodai oleh mafia?”

Jangan Beli Gadget untuk Anak!

Masa anak-anak dan balita adalah masa emas perkembangan, baik dari segi fisik maupun psikologi. Namun apa jadinya jika anak-anak dan balita lebih sering berinteraksi dengan gadget dibanding dengan teman seusianya?
Sumber Istimewa.
Sumber Istimewa.
Perkembangan dunia digital dan gadget akhir-akhir ini sangatlah pesat. Berbagai gadget dari berbagai merek terus bermunculan. Beragam fitur dan keunggulan yang terus diperbarui menarik minat pengguna. Gadget bukan lagi jadi barang mewah.
Tak mau ketinggalan, anak-anak dan balita pun akrab dengan gadget. Walaupun sebatas untuk bermain games dan aplikasi-aplikasi ringan lainnya. Walaupun begitu tampaknya lebih sering kita lihat balita berlama-lama dengan gadgetnya daripada bermain dengan teman sebayanya. Sebuah survei yang dibuat oleh Kaiser Family Foundation membuktikan itu.

Hasil penelitiannya membuktikan pada umumnya anak-anak usia sekolah menghabiskan waktu hingga tujuh jam dalam sehari bersama gadgetnya. Hasil ini hampir menyaingi lamanya waktu bekerja normal seorang dewasa: delapan jam sehari.
Namun penggunaan gadget pada usia sekolah dan balita berdampak bagi fisik dan psikologi anak. Dari segi fisik anak yang kecanduan gadget akan mudah terpapar radiasi, apalagi seorang balita.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Leeds di Nottingham dan Universitas Manchester and Institute of Cancer Research di London, Inggris menjelaskan balita memiliki syaraf-syaraf yang masih berkembang serta tengkorak yang masih tipis. Sehingga balita akan menyerap radiasi sepuluh kali lebih cepat dibanding orang dewasa. Dikhawatirkan anak akan mudah terpapar radiasi yang dipancarkan. Hal ini akan meningkatkan risiko penyakit kanker pada anak-anak di masa dewasanya.
Radiasi cahaya dari layar smartphone tentunya berbahaya untuk mata anak, warna yang terang dapat membuat otot mata lelah bahkan berubah secara fisiologis. Apalagi jika jarak antara mata dan layar terlalu dekat dan cahaya dari matahari tak cukup untuk penerangan. Akibatnya, mata bisa rabun jauh. Kenyataannya sekarang sudah banyak anak-anak usia sekolah yang menggunakan kacamata, maka tak tertutup kemungkinan balita-balita akan menggunakan kacamata minus juga.
Kecanduan dan penggunaan gadget dalam waktu yang lama juga berakibat pada psikologi anak. Menurut American Academy of Pediatrics, anak-anak yang kecanduan gadget akan mengalami gangguan dalam perkembangan bahasa, membaca, dan daya ingat jangka pendek. Anak-anak juga akan susah mengenali stimulus atau rangsangan dari luar. Rangsangan dari layar gadget tidak dapat memberikan interaksi dua arah, tak ada saling pandang, anak jadi tak bisa belajar membaca ekspresi, padahal anak-anak seumuran balita harus belajar berinteraksi dengan orang lain dalam rangka perkembangan bahasa, mental dan psikologinya.
Kemudian anak yang kecanduan gadget akan bersikap pasif dalam pergaulan sehari-hari. Anak-anak akan malas dalam melakukan aktivitas fisik. Padahal anak-anak dan balita butuh aktivitas fisik untuk perkembangan saraf sensorik dan motoriknya. Perkembangan saraf sensorik dan motorik anak dapat berkembang dengan cara memegang, menyentuh, mencium, melihat serta mendengar.
Agar sensorik dan motoriknya berkembang, ini anak lebih butuhkan objek yang nyata dibanding objek yang ada di dalam gadget. Maka tak tertutup kemungkinan anak-anak dan balita akan antisosial dan cenderung sibuk dengan dunianya sendiri atau autis.
Padahal kita punya banyak permainan tradisional yang bisa dimainkan secara bersama-sama yang melibatkan anggota tubuh bergerak. Sebab ada interaksi dan terbina sebuah ikatan batin antara dirinya dan teman-temannya. Sehingga tercipta rasa kepedulian dan rasa sosial.
Bandingkan dengan permainan yang ada di gadget, lebih bersifat individualis dan tak banyak menggunakan anggota tubuh untuk bergerak. Maka dari sekarang ada baiknya mulai batasi penggunaan gadget untuk anak-anak dan balita. Serta jangan pernah membelikan gadget untuk mereka!


*Tulisan ini juga naik di suarausu.co rubrik Tahukah Anda

Senin, 10 November 2014

Minang Saisuak: Pasa Padangpanjang

Kota Padang Panjang sudah lama memiliki peran penting dalam menghubungkan wilayah pusat Minangkabau (darek/luhak nan 3) dengan kawasan rantau di pesisir barat, khususnya Padang dan Rantau Pariaman. Kota ini berfungsi sebagai tempat untuk mentransfer atau pertukaran bahan-bahan komoditi dari kedua wilayah itu. Muhammad Saleh Dt.


Orang Kaya Besar, pedagang besar Pariaman di abad ke-19 (lihat: Rubrik ‘Minang Saisuak’, 13 Maret 2011), menceritakan dalam ‘autobiografinya’ Riwajat Hidoep dan Perasaian Saja (1914) bahwa komoditi utama yang dibawa dari Pariaman ke Padang Panjang adalah minyak kelapa, garam, ikan asin, daun nipah (untuk rokok, yang diambil dari Pulau Pagai), dan beras. Sebaliknya dari Padang Panjang ke Pariaman dibawa berbagai jenis sayur-sayuran. Alat transportasi utama pada waktu itu adalah pedati melewati jalan Lembah Anai yang kondisinya masih sangat sederhana.




Oleh sebab itu kota Padang Panjang selalu ramai. Sejarah telah mencatat bahwa Padang Panjang yang berhawa sejuk juga menjadi pusat pendidikan yang penting di Minangkabau. Salah satu di antaranya adalah Sumatra Tawalib yang terkenal itu. Kota ini juga menjadi pencetus gerakan ideologi-ideologi baru di akhir zaman kolonial.




Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan foto klasik Pasar Padang Panjang yang dibuat sekitar tahun 1930-an. Mat kodaknya tidak diketahui, tapi foto yang berukuran 17,5 x 23,5 cm. ini tampaknya dibuat untuk suatu postcard. “Markt te Padang Pandjang, Padangsche Bovenlanden” (Pasar di Padang Panjang, Padang Darat), demikian judul foto ini.Tampaknya pasar ini sedang ramai. Di latar belakang terlihat bangunan los-los yang tampaknya relatif masih baru. Melihat foto ini muncul kesan pentingnya pasar sebagai ajang pertemuan sosial, tidak sekedar tempat untuk saling menukar barang dan pelintasan uang. Gaya pakaian kaum perempuan dan laki-laki yang terekam dalam foto ini menjadi catatan etnologis dan historis yang penting tentang transformasi politik tubuh etnis Minangkabau.


dikutip dari:
http://www.allaboutminangkabau.com/2013/04/minang-saisuak-101-pasar-padang-panjang.html

Minggu, 22 Juni 2014

Bukan Sekadar Jurnalis Kampus

Logo portal berita online Pers Mahasiswa SUARA USU
Suasana kampus Universitas Sumatera Utara (USU) ketika malam hari memang tidak seramai pagi atau siang. Tidak ada yang menyangka bila malam yang hening itu ada aktivitas mulia di sudut kampus yang terletak di kawasan Padang Bulan Medan itu.

Ruangan sederhana beralaskan lantai biasa itu menjadi tempat sekelompok mahasiswa dan mahasiswi USU untuk membahas wacana-wacana aktual kampus. Setiap malam mereka berkumpul, berbagi informasi dan diskusi segala hal yang dianggap penting. Begitulah suasana yang tergambar di sekretariat Pers Mahasiswa Suara USU.

Puluhan mahasiswa sambil duduk di lantai membahas berbagai topik yang akan proyeksikan menjadi berita yang akan dikonsumsi publik. Laiknya redaksi di perusahaan media profesional, pembagian manajemen kerja pun diatur jelas. Ada yang bertugas sebagai pemimpin umum, pemimpin redaksi, reporter, sirkulasi hingga bagian pemasaran.

Semuanya dirangkai terstruktur guna menjadikan wadah pers mahasiswa ini sebagai tempat belajar jurnalistik, yang nantinya memperjuangkan aspirasi mahasiswa USU. Sejak berdiri 1 Juli 1995, Suara USU mengalami perkembangan signifikan sebagai satu-satunya lembaga pers mahasiswa di USU. Meskipun pendanaanya masih berada di bawah naungan rektorat USU sendiri.

Semangat jurnalismenya juga tidak selalu mulus karena harus berhadapan sengit dengan pihak Rektorat dan juga mahasiswa sendiri. Salah satu contoh ketika peristiwa pembredelan Suara USU oleh oknum tertentu akibat tersinggung dengan pemberitaan mereka pada tahun 2004 silam. Begitu juga dengan pihak rektorat yang merasa gerah dikritik pedas akibat terbukanya kebobrokan sistem pendidikan, keuangan dan lain-lain yang mereka anut saat itu.

Namun, semua pengalaman mereka yang ditorehkan ke karya jurnalistik terus lahir dari generasi ke generasi. Membentuk jurnalis profesional yang saat ini alumninya banyak berkiprah media besar di Indonesia. Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara USU Aulia Adam saat ditemui di sekretariat Suara USU belum lama ini menceritakan suka dukanya saat menjalani aktivitas jurnalisme kampus.

Mulai dari mahasiswa yang kurang koperartif dengan kondisi kampus hingga pihak rektorat dan juga dekanat yang sulit ditemui. Hingga menutup keran informasi bagi penugasan peliputan. “Karakternya di USU yang seperti ini. Kalau beritanya bagus seputar prestasi, mereka menyambutnya hangat. Tapi begitu ada berita kritikan, banyak yang mengelak, meskipun sudah kita bawa kartu pers dan surat penugasan,” kata Adam.

Kendati demikian, hal tersebut bukan menjadi alasan seorang jurnalis kampus tidak dapat memperloleh informasi. Sebab mereka yang di lapangan pun dibekali oleh strategi jurnalis agar perlahan narasumber nyaman untuk memberikan keterangan. Adam menjelaskan, Suara USU sendiri menghasilkan karya jurnalis dalam bentuk tabloid, majalah, portal media online serta koran dinding yang ditempel di setiap fakultas.

Untuk tabloid sendiri terbit setahun lima kali, majalah satu kali setahun. “Tabloid Suara USU sudah edisi 95. Majalah sudah 6 edisi, sementara portal media online dan koran dinding hampir setiap harinya selalu ada,” ucap mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU ini.

Untuk tabloid sendiri dicetak sekali terbit sebanyak 1.500 eksemplar seharga Rp3.000. Sedangkan untuk majalah Rp10.000. Adam menyebutkan, penguatan para anggota sesuai bidangnya turut diperkuat. Di antaranya memberlakukan sanksi peringatan kepada setiap anggota yang tidak datang rapat selama dua kali berturut. Begitu juga dengan pengerjaan tugas diberikan waktu deadline agar proses karya jurnalistik dapat tepat waktu dan disiplin.

Untuk masa persiapan dari rapat proyeksi hingga penerbitan tabloid Suara USU membutuhkan waktu selama satu bulan. “Prosesnya memang tidak cepat. Seminggu anggota wajib rapat dua kali hingga larut malam. Repoter meliput di lapangan serta redaktur mengedit tulisan masuk hingga layak dimuat di tabloid. Begitu juga dengan bidang-bidang yang lain saling terkait, jadi butuh anggota yang loyalitas hingga sampai tiga tahun masa baktinya, baru dikatakan alumni Suara USU,” kata Adam sembari menyebutkan anggota Suara USU saat ini berjumlah 32 mahasiswa dari berbagai fakultas di USU.

Dia menegaskan bahwa bergabung di Suara USU bukanlah mencari keuntungan dengan penjualan tabloid atau majalah, melainkan sebagai tempat belajar jurnalistik. Adapun yang menjadi kendala selama ini di antaranya pembagian waktu antara berorganisasi Suara USU dengan kuliah di kampus. “Diakui memang membagi waktu antara kuliah dengan Suara USU agak sulit. Tapi dengan kesadaran sendiri, perlahan lahan dapat diatasi, yang penting masing-masing anggota punya tanggung jawab,” ungkapnya.

Selain paham akan tanggung jawabnya sendiri, anggota Suara USU juga dilatih untuk mampu menyusun kepanitiaan. Salah satunya menyelenggarakan even Salam Ulos yang setiap tahunnya digelar dengan mengundang lembaga pers mahasiswa se- Indonesia. Dia pun berharap ke depan Suara USU lebih eksis menghadirkan berita yang berkualitas bagi masyarakat khususnya bagi civitas akademika USU.

“Suara USU telah berdiri selama 18 tahun. Besar harapan saya Suara USU terus mengarah ke kinerja jurnalistik yang lebih profesional,” harapnya. Salah seorang reporter Suara USU Tantry Ika Adriati mengaku mengemban tugas jurnalistik membuat dirinya lebih percaya berjumpa dengan pejabat rektorat atau dekanat dibanding dengan mahasiswa lainnya.

“Enaknya kita bisa sesering mungkin ketemu sama rektor atau dekan. Berdiskusi panjang. Kita gak segan ke fakultas yang berbeda, jadi gak segan lah sama mahasiswa yang lain,” kata mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU ini. Dia mengajak, mahasiswa yang lainnya untuk bergabung dengan Suara USU agar kehidupan kampus tidak hanya diisi dengan perkuliahan di dalam kelas. Namun juga kegiatan lapangan yang berbeda dari disiplin ilmu yang selama ini ditempuh.

“Salah satu yang paling saya suka jika tulisan kita dibaca banyak orang. Apalagi jika tulisan kita ditindaklanjti pihak rektorat. Misalnya mengenai fasilitas kampus, itu baru menarik. Jadi tugas saya bukan hanya jurnalis kampus, tapi turut memperjuangkan kepentingan mahasiswa,” pungkasnya. (RHOLAND MUARY Medan)

dikutip dari: http://www.koran-sindo.com/node/369724

Geliat Pers Mahasiswa

Apa jadinya jika mahasiswa mengelola lembaga pers di kampusnya sendiri. Tentu akan dipenuhi dengan ideide baru yang menantang di tengah idealisme yang masih menggelora. Melabrak semua yang dirasa tak pantas, mengkritik semua yang dianggap tak bijak.

Jika sebagian mahasiswa menyampaikan aspirasinya dengan unjuk rasa dan berdemonstrasi ke jalan , mereka cukup dengan menulis. Meski sifatnya sama-sama menyampaikan aspirasi, efektivitasnya tentu jauh berbeda. Karena tak jarang tulisan lebih mengena ke ulu hati dibanding orasi berkoar-koar dari seorang demonstran ulung.
 
Logo Pers Mahasiswa SUARA USU

Universitas Sumatera Utara (USU) punya Suara USU yang telah menjelma menjadi lembaga pers mahasiswa sejak 1995 silam. Eksistensinya cukup terasa di kalangan kampus. Kritik dan tulisan-tulisan inspirasionalnya kerap ditunggu. Rasa bangga muncul jika sudah berstatus anggota. Tapi, tak jarang pula mereka harus khawatir dengan tulisan yang diterbitkan.

Apalagi jika sudah menyangkut kebijakan pihak rektorat di USU. Pemimpin Umum Suara USU Gio Ovanny Pratama menyebutkan, lembaga mereka sudah menjelma sebagai wadah penyaluran aspirasi kampus. Tidak hanya suara mahasiswa yang mereka elaborasi, termasuk juga suara semua kalangan civitas akademika baik itu dosen, pegawai hingga pejabat di USU tak luput jadi sorotan.

Setiap tulisan yang dihasilkan dan diterbitkan bukannya tanpa risiko. Kesalahan redaksional, protes dari narasumber tetap menjadi bagian yang harus dihadapi. Hak jawab pun wajib diberikan jika memang ada yang keberatan. Yang sedikit bikin pusing, kalau tulisan menyentil kebijakan pejabat kampus. Siapsiap beberapa hari kemudian mendapatkan panggilan dari Pembantu Rektor (PR) III Bidang Kemahasiswaan.

Hal seperti itu wajib dihadapi. Tak jarang mendapat dampratan apabila tulisan dianggap tajam. Bahkan pada 2012, SK Kepengurusan mereka sempat tertahan karena dituding selama 2011 kerap mengeluarkan tulisan yang menyudutkan Rektorat USU. “Kadang dianggap tulisantulisan kami selalu mengangkat yang jelek-jelek saja. Padahal, itu hanya aspirasi dan kritik yang perlu disampaikan,” kata mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Angkatan 2011 itu.

Suara USU menurutnya tidak melulu menuliskan berita yang menyudutkan USU. Justru dalam porsi pemberitaan mereka lebih banyak menulis hal yang inspirasional dan kegiatan yang sifatnya positif. Tak jarang pula mengangkat kisah sukses dan prestasi yang diraih mahasiswa dan dosen yang membawa harum nama USU. “Mungkin yang dibaca hanya yang jelek-jeleknya aja,” ujar Gio tersenyum.

Begitupun mereka tetap memberikan penjelasan terkait isi tulisan yang dianggap mengkritik dengan pedas. Setelah dijelaskan biasanya dapat diterima dengan baik. Adakalanya pula diminta untuk lebih melakukan crosscheck dengan baik terhadap data dan fakta yang ada. Secara umum hubungan mereka dengan pihak kampus terjaga dengan baik.

Gio menyebutkan, sempat terpikir Suara USU dibuat mandiri dan lepas dari kampus. Selama ini, mereka masih mendapatkan subsidi dari USU untuk biaya cetak. Sehingga wajar jika dalam beberapa hal tidak bisa terlalu bebas dalam menyampaikan aspirasi dengan tulisan. “Untuk saat sekarang masih sulit bagi kami untuk mandiri karena sudah kami coba ternyata sulit mencari yang mau beriklan di koran kampus. Tapi suatu saat akan kami lakukan,” ujar Gio.

Pemimpin Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong Mara Fenji Lubis menyebutkan, sebagai bagian dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mereka juga masih mendapatkan subsidi untuk biaya cetak majalah. Sehingga khusus untuk edisi yang terbit dua kali setahun tersebut isinya tidak bisa menampilkan kritikan pedas terkait kondisi kampus.

Karena sebelum naik cetak selalu dicek ulang oleh pihak rektorat. Untuk menyiasati agar berita mereka tidak diintervensi, maka Teropong mencetak newsletterdan membuka portal online. Semua berita yang dianggap sensitif bisa dengan bebas mereka tayangkan tanpa harus khawatir terkena sensor. Saat ditanya apakah sering mendapat panggilan atau protes terkait pemberitaan yang terbit di newsletter dan online, Fenji tak menampiknya.

 Paling sering justru terjadi jika menyangkut masalah yang melibatkan petinggi di UMSU. Mereka sering dianggap tidak berimbang dalam memberitakan kasus yang menyangkut petinggi kampus. Namun menurutnya itu tidak benar. Karena yang terjadi justru ketika pihaknya ingin mengkonfirmasi tapi tidak mendapatkan akses wawancara. “Sering dibilang tidak berimbang oleh pihak rektor. Tapi di sisi lain justru mereka tidak bersedia dikonfirmasi,” ungkap Fenji.

Begitu pun sejauh ini mereka tidak pernah mendapatkan ancaman atau peringatan akademik terkait pemberitaan-pemberitaan yang dibuat. Karena meski hanya sebagai jurnalis kampus, Teropong tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Setiap pemberitaan wajib berdasarkan fakta dan bukti dokumen. Agar jika sewaktu- waktu ada yang keberatan, mereka bisa mempertanggung jawabkannya. 
Aktivitas pers mahasiswa Suara USU ketika menggelar rapat proyeksi pemberitaan di kantor mereka di Kampus USU Padang Bulan, Medan beberapa waktu lalu. Hingga kini lembaga pers mahasiswa ini terus eksis menghasilkan karya jurnalistiknya.

Pembantu Rektor III USU Raja Bongsu Hutagalung mengakui terkadang tulisan-tulisan yang keluar dari Suara USU terlalu pedas mengkritik dan cenderung mengangkat kekurangan yang ada di USU. Biasanya dia langsung memanggil pengurusnya untuk diajak berdialog.

“Saya biasanya manggil, nasehati dan ajak dialog. Karena kan tidak harus berita-berita jelek saja yang ditampilin, masih banyak yang lain lebih layak. Saya juga kasih pengertian karena saya juga kan harus ikut perjuangkan kepentingan mereka di USU,” kata Raja Bongsu.

Begitu pun, pihaknya memandang penting kehadiran UKM Suara USU. Karena melalui lembaga tersebut diharapkan muncul jurnalis-jurnalis andal yang siap pakai di dunia kerja. Suara USU adalah tempat para mahasiswa dilatih untuk menjadi wartawan yang punya jiwa intelektual tinggi.

Yang terpenting baginya, Suara USU tetap menjalin komunikasi yang baik dengan pihak rektorat. Lebih banyak menampilkan sisi positif serta prestasi-prestasi mahasiswa yang selama ini diraih. Karena tulisan-tulisan menginspirasi dapat meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa USU. (m rinaldi khair)


Dikutip dari: http://www.koran-sindo.com/node/369725

Senin, 17 Maret 2014

Tentang Kera, Penangkaran dan Pejuangnya

Atas dasar hati nurani, bermodalkan keikhlasan. Hamidah dan keluarga mau berbagi hidup dengan kera-kera ini, bahkan memperlakukannya selayaknya keluarga.

Penulis: Baina Dwi Bestari dan Gio Ovanny Pratama

Hutan Sibaganding, Parapat bukan tempat menarik di tahun 1980-an. Tidak ada apa-apa. Tapi ada Umar Manik yang hidup di situ. Bersama istrinya Hamidah, ia hidup dengan keadaan ekonomi yang jauh dari kata layak. Umar dan Hamidah memutar otak mencari cara untuk  menyambung hidup. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berkebun di tengah hutan tersebut.

Gapura Pintu Masuk Taman Wisata Kera di Sibaganding, Parapat | Rida Helfrida Pasaribu



Mereka memilih menanam timun, pisang, labu dan daun sup yang dirasa berumur muda dan tidak butuh waktu lama untuk panen. Karena nantinya hasil panen itu akan mereka jual untuk dapat uang.
Setelah merawat dan menunggu dengan sabar, tibalah waktu panen. Panen pertama mereka bisa dikatakan berhasil. Semua tanaman tumbuh dengan subur. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melanjutkan ke­giatan berkebun itu.
Mereka lagi-lagi menanam tanaman yang sama di kebun mereka. Dan tibalah waktu panen kedua.
Tapi, ternyata mereka tidak semujur sebelumnya. Tanaman mereka kali ini banyak yang rusak. Selidik punya selidik, ternyata kebun mereka ‘dikunjungi’ oleh penghuni asli hutan tersebut yaitu kera-kera hutan Sibagan­ding.
Tidak kehilangan akal, Umar dan Hamidah punya cara sendiri untuk mengatasi kera-kera tersebut. Me­reka mencoba meracuni gerombol­an kera tersebut agar jera dan tidak lagi mengganggu tanaman me­reka. Namun rupanya kera-kera tersebut seakan-akan tahu bahwa itu adalah racun. Racun yang disediakan se­perti makanan di ladang perkebun­an me­reka tak disentuh sedikit pun oleh kera malah tanaman di kebun mereka tetap berkurang.
Namun Umar dan Hamidah belum menyerah. Mereka berniat melakukan hal yang sama keesokan harinya.
Malam harinya ketika Umar sedang di rumah, Ompung Sinaga, leluhur yang dulunya menghuni hutan Sibaganding datang menemuinya. Ompung Sinaga marah padanya. “Ja­ngan kau racuni kera-kera itu, rawatlah mereka, kasih makan, nanti kau bisa dapat nama,” katanya.
Umar tidak mengerti maksudnya. Tapi, sebelum ia sempat bertanya, Ompung Sinaga sudah pergi. Umar mencoba tetap bertanya sampai akhir­nya ia tersentak dan terbangun dari tidurnya.
Ternyata, Ompung Sinaga mene­muinya dalam mimpi.
Umar yang kebingungan langsung menceritakan perihal dalam mimpinya ke Hamidah. Bukan membantu, Hamidah malah ikut bingung. “Apalah artinya dapat nama?” tanya­nya.
Ternyata, mimpi itu tidak datang sekali. Keesokan harinya, Umar bermimpi hal yang sama.
Bermodalkan rasa penasaran, akhirnya mereka bertanya kepada tetua di kampung perihal mimpi itu. Si tetua menjelaskan kalau mereka seperti diberi amanah untuk menjaga dan merawat kera-kera di hutan Sibaganding. Sejak saat itu, Umar dan Hamidah berhenti meracuni kera-kera tersebut dan malah menjaganya.
Mereka memberi makan dan merawat kera-kera tersebut seperti keluarga sendiri.
Tak lama dari itu, Umar dan Hamidah­ memutuskan untuk berhenti berkebun dan memilih untuk menjual kayu bakar. Hasil penjualan kayu bakar tersebut mereka pakai untuk membeli pisang, kacang dan makanan lain untuk diberikan pada kera-kera itu. Gerombolan kera yang datang ketika mereka mulai memberi makan bisa mencapai 30 sampai 50 ekor tiap waktunya.
Tapi, sejak adanya mimpi tersebut memang Umar dan Hamidah merasa bertanggung jawab atas kera-kera itu.

***
Abdurrahman mulai menapaki anak tangga yang semennya sudah hancur, tidak sama di setiap lantainya. Anak tangga itu basah, berlumut. Di kiri kanan jalan terdapat batu-batu besar dan bekas aliran sungai. ­Rahman sedang menuju tempat memanggil dan memberi makan kera yang berada di dalam hutan. Nama tempat itu Wisata Penangkaran Kera, tertulis di gapura setinggi tiga meter sebelum anak tangga pertama bisa dipijak.
Setelah berhasil menapaki anak tangga yang kesekianpuluh, Rahman sampai di tempat yang dituju. Tanah sepetak yang disemen tidak rata, tempat ia berniat mengumpulkan kera-kera.
Rahman kemudian mengambil terompet miliknya dari dalam kandang yang di dalamnya ada tumpuk­an pisang, ubi dan kacang. Terompet yang dibuat dari tanduk kerbau itu kemudian ia tiup kencang. “Tteettt, tettt…… Na e… Na e…” Begitu bunyi terompet yang kemudian disusul oleh suara Rahman memanggil gerombolan kera dalam bahasa Batak yang artinya ‘ayo… ayo…’
abdurrahman meniup terompet yang sering digunakannya untuk memanggil kera | Rida Helfrida Pasaribu

Begitulah cara Rahman memanggil kera-kera dari tempat persembunyiannya. “Saya pelajari dari Bapak,” terangnya.
Menit pertama tidak ada tanda-tanda kedatangan satu pun kera. Rahman pun terus meniup lagi. Kali ini sambil memanggil nama-nama dari beberapa kera.
Berhasil, kera pun mulai berdatangan di menit selanjutnya. Satu, dua, dan kemudian ramai hampir 30 ekor kera datang memenuhi pelataran tadi, tepat di bawah kaki ­Rahman. Ada kera kecil, besar, siamang dan jenis kera lainnya di sana.
Rahman pun mengambil kotak yang berisi pisang dan mengeluarkan beberapa sisirnya. Kemudian, ia membagi-bagi pisang tersebut ke kera-kera.
Tidak ada rasa takut dari diri ­Rahman. Ia sudah terbiasa. Kera-kera itu pun menurut saja. Ketika pisang sudah habis, Rahman menyu­ruh me­reka pulang. Maka puluhan kera itu pun pulang dengan teratur.
Rahman adalah penjaga Wisata Penangkaran Kera yang ada di Parapat, Sumatera Utara ini sekaligus anak dari Hamidah. Untuk alasan tertentu Umar tak lagi bersama mereka. Jadilah se­karang mereka berdua yang mengurus tempat ini.
Mereka bukan orang kaya sekarang. Masih seperti dulu, hidup serba pas-pasan.
Tapi, Hamidah akui ia sudah merasa bertanggung jawab atas kera-kera di hutan Sibaganding ini. Ia khawatir tentang makanan kera kalau mereka berhenti memberi makanan. “Ketika kita memberi makan sedikit saja me­reka turun ke jalan raya berharap dari pengunjung Danau Toba. Dan kalau udah ke jalan, enggak sedikit yang mati tertabrak,” ungkapnya.
Atas dasar nurani itulah Hamidah tetap melanjutkan usahanya sebisa mungkin menjaga kera-kera itu hingga dilanjutkan oleh anaknya.
Tapi, ada yang berbeda dari cara mereka mendapatkan makanan untuk kera.
Ketika zaman Soeharto, banyak turis dan wisatawan yang datang berkunjung ke tempat ini. Dari situlah sumber dana banyak mengalir untuk membiayai makan kera dan kehidupan mereka sehari-hari. “Kalau dihitung waktu itu lima juta enggak kemana lah,” ujarnya.
Tapi sekarang wisatawan sudah mulai sedikit, kata Hamidah. Perhatian dari pemerintah hampir tak ada. Untuk makan kera murni bergantung dari wisatawan yang datang, dari situlah mereka meminta sumbangan seikhlasnya. Mereka juga tak mempunyai pekerjaan lain karena sibuk mengurusi kera-kera tersebut. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka membuka kedai kecil yang menjual makanan dan  minuman ringan di depan gapura tadi. “Kalau kami kerja tak ada yang bisa mengurusi kera ini,” ucap Hamidah sembari memperlihatkan daftar sumbangan pengunjung.
Abdurrahman memberi beberapa biji kacang pada kera | Rida Helfrida Psaribu

Kata Rahman, sempat ada monumen yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun bertulisan Lokasi Penangkaran Satwa Langka di jalan setapak menuju lokasi berkumpulnya gerombolan kera tadi. Namun, sudah tidak terlihat lagi karena ditutupi lumut. Sebenarnya, tak hanya kalimat itu saja yang tertuliskan di situ. Ada beberapa kalimat lagi yang sudah tak bisa dibaca karena tulisannya sudah ditutupi lumut dan nyaris hancur. “Ya beginilah keadaannya sekarang, jalanannya pun sudah tak diperhatikan lagi, kami tak punya dana untuk perbaiki jalan dan batu ini,” kisahnya.
Rahman berharap penangkaran monyet ini ada yang bantu. Baginya, dibantu dengan biaya makan kera saja sudah cukup. “Kalau pun nanti ada yang menyumbang  uang biar kami yang beli makannya. Tapi kalau tidak ada ya awak pun juga susah untuk makan,” katanya sambil tertawa kecil.
Rahman dan Hamidah sering mengajukan permohonan dana ke Pemkab Simalungun. Namun permohonan tersebut tinggal permohonan saja. Tak ada tanggapan dari peme­rintah. Padahal menurut Rahman, tempat ini bisa jadi kebanggaan bagi putra daerah jika merantau ke luar daerah. “Tapi, tidak lagi setelah keadaanya seperti ini. Enggak ada lagi yang bisa dibanggakan,” ujarnya.
Tapi, di tengah kesulitan tersebut mereka tak mau melepas begitu saja kera-kera yang sudah sangat akrab dengan mereka. “Kami melestarikannya karena tak sengaja. Kami ke sini untuk berladang bukan untuk mencari ketenaran dan uang dengan melestarikan kera ini,” kata Hamidah.
Pun begitu dengan Rahman. Sejak lahir ia sudah dibesarkan bersama kera. Baginya kera-kera ini sudah dia anggap seperti keluarga, bahkan lebih dari keluarga sendiri. Ia akan merasa sedih jika melihat keranya mati ditab­rak mobil di tengah jalan.
Ia belajar dari bapaknya, Umar Manik cara berkomunikasi dan berteman dengan kera. Ia tahu, Umar sangat menyayangi kera-kera ini. “Lebih baik aku berpisah dari istri dan anakku dari pada sama keraku,” ucap Rahman menirukan kalimat bapaknya.

Beberapa ekor kera menunggu untuk diberi makan | Rida Helfrida Pasaribu



Butuh Kerjasama dan Perhatian dari Pemerintah
Keberadaan tempat penangkaran kera di Parapat ini membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pedagang di daerah Penatapan, Parapat, Hotmian Manurung. Menurutnya dengan adanya tempat penangkaran kera ini jualannya jadi laku dibeli pe­ngunjung untuk kemudian diberikan pada kera.
Pun begitu dengan Juli Wiyanto, ia memiliki usaha rumah makan di Parapat. Menurutnya tempat pe­nangkaran kera tersebut bisa menjadi penunjang pariwisata di daerah parapat. Walaupun sekarang kera-kera itu berserakan, namun itu sebenarnya terkoordinir. Pe­ran tempat penangkaran kera itu sen­diri ju­ga sangat bermanfaat, bisa me­ngundang turis-turis lokal untuk datang selain Danau Toba yang jadi daya tarik utama.
“Mere­ka enggak ngambil  keun­­tu­ngan, me­reka ­pelihara dan ngasih ma­kan kera, masyarakat sini juga senang ­dengan ada­nya ini. Baguslah me­reka,” tutur Juli.
Menurutnya lagi mereka tidak memungut retribusi. Akan tetapi mereka menjual makanan kera, seperti pisang kepada pe­ngunjung, pengunjung beli dan uang itu mereka putar lagi untuk membeli makanan lagi. “Masyarakat sini juga sebenarnya tak sering membantu mereka tapi biasanya ada juga kok masyarakat yang mau membantu, mudah-mudahan ada,” katanya.
Menurut Hotmian untuk urusan pengelolaan seharusnya ada turut campur dari pemerintah, kalau ha­nya dari masyarakat saja tak cukup,  karena pertumbuhan kera sangat­lah cepat jadi nanti kalau mereka turun bisa mengganggu masyarakat. Hotmian bilang, Hamidah dan keluarga­nya sebenarnya membantu di satu tempat saja, sedangkan kera-kera itu masih banyak di daerah lain seputaran Sibaganding dan daerah Penatapan.
Kata Hotmian, pemkab turut campur hanya setelah tempat penangkaran itu maju, namun setelah itu tak ada ditindaklanjuti. “Pemerintah mau enaknya aja, mau uangnya tanpa ada bantu,” katanya.
Apa yang kurang dari tempat penangkaran ini menurut Hotmian adalah hanya dicara pengelolaannya saja. Ia berharap, hendaknya ada kerjasama antara keluarga Hamidah dengan pemerintah. “Keluarga si Umar dikasih gaji dari pemerintah lalu keluarga si Umar kasih makanlah (kera   -red),” ucap Hotmian dengan logat Bataknya.
Dampak yang dirasakan Hormian sekarang adalah banyak kera yang sudah mulai liar karena kelaparan. “Kalau dulu sewaktu Pak Umar masih mampu enggak seliar ini,” tambah­nya.
Namun begitu Juli mengapresia­si usaha keluarga Hamidah untuk menjaga dan merawat kera-kera ini. “Me­reka tak mengeluh, mampu mandiri. Dengan tak adanya biaya yang turun dari pemerintah mereka berusaha sendiri dengan upaya mereka untuk hidup, dan menghidupi kera-kera itu,” tutupnya.



*Tulisan ini adalah hasil liputan bersama untuk Majalah Mahasiswa SUARA USU edisi ke-4, terbit November 2013 lalu

Selasa, 25 Februari 2014

Terapi Musik untuk Kesehatan Jiwa dan Mental

“Jikalau Anda merasakan hari ini begitu berat, coba periksa lagi hidup Anda pada hari ini. Jangan-jangan Anda belum mendengarkan musik dan bernyanyi.” –Wulaningrum Wibisono
Siapa yang tak pernah mendengar musik. Paling tidak mendengar musik alam seperti kicauan burung atau desiran ombak.
Musik tak hanya digunakan sebagai media komunikasi seperti pemberi sinyal saat perang pada zaman dulu. Musik hingga sekarang masih sangat eksis dengan beragam fungsi lainnya. Misalnya fungsi hiburandan ekonomi.
Dengan musik kita bisa terhibur. Dengan musik pula seseorang bisa kaya dengan menjadi musisi ataupun penyanyi profesional.
Namun ada satu hal lagi fungsi dan manfaat musikbisa pengaruhi kesehatan jiwa dan mental!
EV Andreas Christanday, seorang tokoh agama menjelaskan dalam suatu kali ceramah agamanya. Musik memiliki tiga komponen yaknibeat (ketukan), rhythm (irama) dan harmony. Beat memengaruhi tubuh/fisik, ryhthm memengaruhi jiwa dan harmony memengaruhi roh.
Siapa yang tak bergerak tubuhnya ketika mendengar musik rock yang memiliki beat cepat? Lalu ada kalanya saat seorang sedang bersedih, dengan mendengarkan lagu-lagu yang memiliki ritme atau irama teratur akan menenangkan perasaan dan menimbulkan rasa nyaman (good mood).
Dan pernahkah Anda merinding ketika mendengar musik yang memiliki melodi atau harmony yang menyayat hati? Itulah musik mempengaruhi tubuh, mental dan jiwa.
Penelitian mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran di tahun 2008 pun membuktikan ada penurunan tingkat stres pada kelompok yang diuji sebelum dan setelah dilakukan terapi musik. Mereka lakukan penelitian pada tiga puluh orang remaja di sebuah panti asuhan di Jawa Barat.
Penelitian dilakukan selama dua hari. Pada hari pertama mereka menguji dan mengidentifikasi tingkat stres masing-masing remaja sebelum dilakukan terapi musik. Hasilnya ada sebelas orang dengan tingkat stres berat dan sembilan belas orang dengan tingkat stres sedang.
Masing-masing remaja diperdengarkan musik yang sesuai dengan kondisi mereka. Contohnya remaja yang sedang tak bersemangat diputarkan musik bersemangat. Dalam sehari, paling tidak setengah sampai satu jam remaja tersebut diperdengarkan musik.
Lalu mereka kembali menguji dan mengidentifikasi tiga puluh remaja tadi setelah mereka diberi terapi musik. Hasilnya menunjukan terjadi penurunan tingkat stres yang signifikan.
Sebelas remaja yang awalnya stres berat berkurang hanya satu orang saja. Sembilan belas remaja dengan tingkat stress sedang juga berkurang menjadi tujuh belas dan sisanya sepuluh orang hanya mengalami stress ringan dan dua orang sisanya tak lagi stres.
Untuk menguji penelitian tersebut valid dan tak ada kesalahan, di hari kedua mereka kembali melakukan penelitian yang sama pada anak yang sama. Hasilnya tak ada yang berubah. Masih terjadi penurunan tingkat stres pada semua remaja yang diteliti. Mereka pun menyimpulkan terapi musik bisa menurunkan tingkat stres seseorangdan bahkan bisa menghilangkan stress!
Mereka juga menyarankan untuk menerapkan terapi musik ini dalam upaya penurunan tingkat stres remaja.
Terapi musik yang dilakukan dapat menurunkan hormon adrenokortikotropik (ACTH) atau biasa disebut hormon stres. Selain itu musik juga memengaruhpeningkatan produksi hormon serotonin, disebut juga hormon kebahagiaan, yang berfungsi mengontrol mood atau suasana hati.
Rangsangan ritmis yang dihasilkan musik ditangkap indra pendengaran untuk kemudian diolah dalam sistem saraf tubuh dan kelenjar pada otak. Selanjutnya diubah dalam bentuk ritme internal pendengaran. Ritme internal ini memengaruhi metabolime tubuh manusia sehingga prosesnya berlangsung dengan baik. Baiknya sistem metabolisme akan membuat tubuh menghasilkan sistem imunitas yang baik pula sehingga tubuh lebih siap untuk menghadang berbagai penyakit.
Musik yang biasa digunakan dalam terapi musik adalah musik trance,mellow, semangat, ceria dan relaksasi. Masing-masing tema musik tersebut memiliki pengaruh yang berbeda.
Musik yang digunakan untuk menyembuhkan tekanan mental atau stres adalah musik dengan tema trance, karena berisi ungkapan rasa ceria yang luar biasa. Untuk menahan rasa duka dan menyembuhkan rasa sedih digunakan musik dengan tema mellow.
Musik dengan tema ceria dan semangat digunakan untuk meningkatkan gairah hidup dan semangat kerja. Sedangkan untuk menenangkan perasaan dan emosi digunakan musik dengan tema relaksasi.
Jadi, ada cara yang sangat efektif untuk mengatasi tekanan mental atau stres yang terus datang tiap hari. Sebelum stres itu berevolusi menjadi penyakit yang lebih berbahaya tak ada salahnya jika kita meluangkan waktu untuk mendengarkan musik kesukaan kita.
Terapi musik tak rumit untuk dilakukan, cukup setengah sampai satu jam sehari dengan syarat benar-benar mengahayati musik. Namun perlu diingat, terapi musik hanya akan efektif jika dilakukan pada tempat dan suasana yang nyaman.

Tulisan ini juga di muat di suarausu.co rubrik Tahukah Anda
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com