Senin, 17 Maret 2014

Tentang Kera, Penangkaran dan Pejuangnya

Atas dasar hati nurani, bermodalkan keikhlasan. Hamidah dan keluarga mau berbagi hidup dengan kera-kera ini, bahkan memperlakukannya selayaknya keluarga.

Penulis: Baina Dwi Bestari dan Gio Ovanny Pratama

Hutan Sibaganding, Parapat bukan tempat menarik di tahun 1980-an. Tidak ada apa-apa. Tapi ada Umar Manik yang hidup di situ. Bersama istrinya Hamidah, ia hidup dengan keadaan ekonomi yang jauh dari kata layak. Umar dan Hamidah memutar otak mencari cara untuk  menyambung hidup. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berkebun di tengah hutan tersebut.

Gapura Pintu Masuk Taman Wisata Kera di Sibaganding, Parapat | Rida Helfrida Pasaribu



Mereka memilih menanam timun, pisang, labu dan daun sup yang dirasa berumur muda dan tidak butuh waktu lama untuk panen. Karena nantinya hasil panen itu akan mereka jual untuk dapat uang.
Setelah merawat dan menunggu dengan sabar, tibalah waktu panen. Panen pertama mereka bisa dikatakan berhasil. Semua tanaman tumbuh dengan subur. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melanjutkan ke­giatan berkebun itu.
Mereka lagi-lagi menanam tanaman yang sama di kebun mereka. Dan tibalah waktu panen kedua.
Tapi, ternyata mereka tidak semujur sebelumnya. Tanaman mereka kali ini banyak yang rusak. Selidik punya selidik, ternyata kebun mereka ‘dikunjungi’ oleh penghuni asli hutan tersebut yaitu kera-kera hutan Sibagan­ding.
Tidak kehilangan akal, Umar dan Hamidah punya cara sendiri untuk mengatasi kera-kera tersebut. Me­reka mencoba meracuni gerombol­an kera tersebut agar jera dan tidak lagi mengganggu tanaman me­reka. Namun rupanya kera-kera tersebut seakan-akan tahu bahwa itu adalah racun. Racun yang disediakan se­perti makanan di ladang perkebun­an me­reka tak disentuh sedikit pun oleh kera malah tanaman di kebun mereka tetap berkurang.
Namun Umar dan Hamidah belum menyerah. Mereka berniat melakukan hal yang sama keesokan harinya.
Malam harinya ketika Umar sedang di rumah, Ompung Sinaga, leluhur yang dulunya menghuni hutan Sibaganding datang menemuinya. Ompung Sinaga marah padanya. “Ja­ngan kau racuni kera-kera itu, rawatlah mereka, kasih makan, nanti kau bisa dapat nama,” katanya.
Umar tidak mengerti maksudnya. Tapi, sebelum ia sempat bertanya, Ompung Sinaga sudah pergi. Umar mencoba tetap bertanya sampai akhir­nya ia tersentak dan terbangun dari tidurnya.
Ternyata, Ompung Sinaga mene­muinya dalam mimpi.
Umar yang kebingungan langsung menceritakan perihal dalam mimpinya ke Hamidah. Bukan membantu, Hamidah malah ikut bingung. “Apalah artinya dapat nama?” tanya­nya.
Ternyata, mimpi itu tidak datang sekali. Keesokan harinya, Umar bermimpi hal yang sama.
Bermodalkan rasa penasaran, akhirnya mereka bertanya kepada tetua di kampung perihal mimpi itu. Si tetua menjelaskan kalau mereka seperti diberi amanah untuk menjaga dan merawat kera-kera di hutan Sibaganding. Sejak saat itu, Umar dan Hamidah berhenti meracuni kera-kera tersebut dan malah menjaganya.
Mereka memberi makan dan merawat kera-kera tersebut seperti keluarga sendiri.
Tak lama dari itu, Umar dan Hamidah­ memutuskan untuk berhenti berkebun dan memilih untuk menjual kayu bakar. Hasil penjualan kayu bakar tersebut mereka pakai untuk membeli pisang, kacang dan makanan lain untuk diberikan pada kera-kera itu. Gerombolan kera yang datang ketika mereka mulai memberi makan bisa mencapai 30 sampai 50 ekor tiap waktunya.
Tapi, sejak adanya mimpi tersebut memang Umar dan Hamidah merasa bertanggung jawab atas kera-kera itu.

***
Abdurrahman mulai menapaki anak tangga yang semennya sudah hancur, tidak sama di setiap lantainya. Anak tangga itu basah, berlumut. Di kiri kanan jalan terdapat batu-batu besar dan bekas aliran sungai. ­Rahman sedang menuju tempat memanggil dan memberi makan kera yang berada di dalam hutan. Nama tempat itu Wisata Penangkaran Kera, tertulis di gapura setinggi tiga meter sebelum anak tangga pertama bisa dipijak.
Setelah berhasil menapaki anak tangga yang kesekianpuluh, Rahman sampai di tempat yang dituju. Tanah sepetak yang disemen tidak rata, tempat ia berniat mengumpulkan kera-kera.
Rahman kemudian mengambil terompet miliknya dari dalam kandang yang di dalamnya ada tumpuk­an pisang, ubi dan kacang. Terompet yang dibuat dari tanduk kerbau itu kemudian ia tiup kencang. “Tteettt, tettt…… Na e… Na e…” Begitu bunyi terompet yang kemudian disusul oleh suara Rahman memanggil gerombolan kera dalam bahasa Batak yang artinya ‘ayo… ayo…’
abdurrahman meniup terompet yang sering digunakannya untuk memanggil kera | Rida Helfrida Pasaribu

Begitulah cara Rahman memanggil kera-kera dari tempat persembunyiannya. “Saya pelajari dari Bapak,” terangnya.
Menit pertama tidak ada tanda-tanda kedatangan satu pun kera. Rahman pun terus meniup lagi. Kali ini sambil memanggil nama-nama dari beberapa kera.
Berhasil, kera pun mulai berdatangan di menit selanjutnya. Satu, dua, dan kemudian ramai hampir 30 ekor kera datang memenuhi pelataran tadi, tepat di bawah kaki ­Rahman. Ada kera kecil, besar, siamang dan jenis kera lainnya di sana.
Rahman pun mengambil kotak yang berisi pisang dan mengeluarkan beberapa sisirnya. Kemudian, ia membagi-bagi pisang tersebut ke kera-kera.
Tidak ada rasa takut dari diri ­Rahman. Ia sudah terbiasa. Kera-kera itu pun menurut saja. Ketika pisang sudah habis, Rahman menyu­ruh me­reka pulang. Maka puluhan kera itu pun pulang dengan teratur.
Rahman adalah penjaga Wisata Penangkaran Kera yang ada di Parapat, Sumatera Utara ini sekaligus anak dari Hamidah. Untuk alasan tertentu Umar tak lagi bersama mereka. Jadilah se­karang mereka berdua yang mengurus tempat ini.
Mereka bukan orang kaya sekarang. Masih seperti dulu, hidup serba pas-pasan.
Tapi, Hamidah akui ia sudah merasa bertanggung jawab atas kera-kera di hutan Sibaganding ini. Ia khawatir tentang makanan kera kalau mereka berhenti memberi makanan. “Ketika kita memberi makan sedikit saja me­reka turun ke jalan raya berharap dari pengunjung Danau Toba. Dan kalau udah ke jalan, enggak sedikit yang mati tertabrak,” ungkapnya.
Atas dasar nurani itulah Hamidah tetap melanjutkan usahanya sebisa mungkin menjaga kera-kera itu hingga dilanjutkan oleh anaknya.
Tapi, ada yang berbeda dari cara mereka mendapatkan makanan untuk kera.
Ketika zaman Soeharto, banyak turis dan wisatawan yang datang berkunjung ke tempat ini. Dari situlah sumber dana banyak mengalir untuk membiayai makan kera dan kehidupan mereka sehari-hari. “Kalau dihitung waktu itu lima juta enggak kemana lah,” ujarnya.
Tapi sekarang wisatawan sudah mulai sedikit, kata Hamidah. Perhatian dari pemerintah hampir tak ada. Untuk makan kera murni bergantung dari wisatawan yang datang, dari situlah mereka meminta sumbangan seikhlasnya. Mereka juga tak mempunyai pekerjaan lain karena sibuk mengurusi kera-kera tersebut. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka membuka kedai kecil yang menjual makanan dan  minuman ringan di depan gapura tadi. “Kalau kami kerja tak ada yang bisa mengurusi kera ini,” ucap Hamidah sembari memperlihatkan daftar sumbangan pengunjung.
Abdurrahman memberi beberapa biji kacang pada kera | Rida Helfrida Psaribu

Kata Rahman, sempat ada monumen yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun bertulisan Lokasi Penangkaran Satwa Langka di jalan setapak menuju lokasi berkumpulnya gerombolan kera tadi. Namun, sudah tidak terlihat lagi karena ditutupi lumut. Sebenarnya, tak hanya kalimat itu saja yang tertuliskan di situ. Ada beberapa kalimat lagi yang sudah tak bisa dibaca karena tulisannya sudah ditutupi lumut dan nyaris hancur. “Ya beginilah keadaannya sekarang, jalanannya pun sudah tak diperhatikan lagi, kami tak punya dana untuk perbaiki jalan dan batu ini,” kisahnya.
Rahman berharap penangkaran monyet ini ada yang bantu. Baginya, dibantu dengan biaya makan kera saja sudah cukup. “Kalau pun nanti ada yang menyumbang  uang biar kami yang beli makannya. Tapi kalau tidak ada ya awak pun juga susah untuk makan,” katanya sambil tertawa kecil.
Rahman dan Hamidah sering mengajukan permohonan dana ke Pemkab Simalungun. Namun permohonan tersebut tinggal permohonan saja. Tak ada tanggapan dari peme­rintah. Padahal menurut Rahman, tempat ini bisa jadi kebanggaan bagi putra daerah jika merantau ke luar daerah. “Tapi, tidak lagi setelah keadaanya seperti ini. Enggak ada lagi yang bisa dibanggakan,” ujarnya.
Tapi, di tengah kesulitan tersebut mereka tak mau melepas begitu saja kera-kera yang sudah sangat akrab dengan mereka. “Kami melestarikannya karena tak sengaja. Kami ke sini untuk berladang bukan untuk mencari ketenaran dan uang dengan melestarikan kera ini,” kata Hamidah.
Pun begitu dengan Rahman. Sejak lahir ia sudah dibesarkan bersama kera. Baginya kera-kera ini sudah dia anggap seperti keluarga, bahkan lebih dari keluarga sendiri. Ia akan merasa sedih jika melihat keranya mati ditab­rak mobil di tengah jalan.
Ia belajar dari bapaknya, Umar Manik cara berkomunikasi dan berteman dengan kera. Ia tahu, Umar sangat menyayangi kera-kera ini. “Lebih baik aku berpisah dari istri dan anakku dari pada sama keraku,” ucap Rahman menirukan kalimat bapaknya.

Beberapa ekor kera menunggu untuk diberi makan | Rida Helfrida Pasaribu



Butuh Kerjasama dan Perhatian dari Pemerintah
Keberadaan tempat penangkaran kera di Parapat ini membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pedagang di daerah Penatapan, Parapat, Hotmian Manurung. Menurutnya dengan adanya tempat penangkaran kera ini jualannya jadi laku dibeli pe­ngunjung untuk kemudian diberikan pada kera.
Pun begitu dengan Juli Wiyanto, ia memiliki usaha rumah makan di Parapat. Menurutnya tempat pe­nangkaran kera tersebut bisa menjadi penunjang pariwisata di daerah parapat. Walaupun sekarang kera-kera itu berserakan, namun itu sebenarnya terkoordinir. Pe­ran tempat penangkaran kera itu sen­diri ju­ga sangat bermanfaat, bisa me­ngundang turis-turis lokal untuk datang selain Danau Toba yang jadi daya tarik utama.
“Mere­ka enggak ngambil  keun­­tu­ngan, me­reka ­pelihara dan ngasih ma­kan kera, masyarakat sini juga senang ­dengan ada­nya ini. Baguslah me­reka,” tutur Juli.
Menurutnya lagi mereka tidak memungut retribusi. Akan tetapi mereka menjual makanan kera, seperti pisang kepada pe­ngunjung, pengunjung beli dan uang itu mereka putar lagi untuk membeli makanan lagi. “Masyarakat sini juga sebenarnya tak sering membantu mereka tapi biasanya ada juga kok masyarakat yang mau membantu, mudah-mudahan ada,” katanya.
Menurut Hotmian untuk urusan pengelolaan seharusnya ada turut campur dari pemerintah, kalau ha­nya dari masyarakat saja tak cukup,  karena pertumbuhan kera sangat­lah cepat jadi nanti kalau mereka turun bisa mengganggu masyarakat. Hotmian bilang, Hamidah dan keluarga­nya sebenarnya membantu di satu tempat saja, sedangkan kera-kera itu masih banyak di daerah lain seputaran Sibaganding dan daerah Penatapan.
Kata Hotmian, pemkab turut campur hanya setelah tempat penangkaran itu maju, namun setelah itu tak ada ditindaklanjuti. “Pemerintah mau enaknya aja, mau uangnya tanpa ada bantu,” katanya.
Apa yang kurang dari tempat penangkaran ini menurut Hotmian adalah hanya dicara pengelolaannya saja. Ia berharap, hendaknya ada kerjasama antara keluarga Hamidah dengan pemerintah. “Keluarga si Umar dikasih gaji dari pemerintah lalu keluarga si Umar kasih makanlah (kera   -red),” ucap Hotmian dengan logat Bataknya.
Dampak yang dirasakan Hormian sekarang adalah banyak kera yang sudah mulai liar karena kelaparan. “Kalau dulu sewaktu Pak Umar masih mampu enggak seliar ini,” tambah­nya.
Namun begitu Juli mengapresia­si usaha keluarga Hamidah untuk menjaga dan merawat kera-kera ini. “Me­reka tak mengeluh, mampu mandiri. Dengan tak adanya biaya yang turun dari pemerintah mereka berusaha sendiri dengan upaya mereka untuk hidup, dan menghidupi kera-kera itu,” tutupnya.



*Tulisan ini adalah hasil liputan bersama untuk Majalah Mahasiswa SUARA USU edisi ke-4, terbit November 2013 lalu
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com