Selasa, 30 Desember 2014

Misteri Harta Kekayaan Tjong A Fie

Sebuah gedung tua berwarna kuning pucat berdiri kokoh ditengah-tengah keramaian lalu lintas kota Medan. Gedungnya dua lantai, di depan pintu utama tergantung dua lampion berwarna merah khas Cina. Gedung itu tak sendiri, masih banyak gedung-gedung tua disekitaran daerah ini. Daerah ini dikenal sebagai Kesawan oleh orang-orang Medan.
Rumah Tjong A Fie

 Gedung yang dimaksud adalah Tjong A Fie Mansion, sebuah rumah tua yang telah berdiri sejak tahun 1895. Rumah ini didirikan sendiri oleh Tjong A Fie dengan bantuan arsitek dari Belanda. Tjong A Fie sendiri adalah seorang pedagang dermawan dari Cina yang sering membantu pembangunan daerah kota Medan sejak tahun 1890-an. Kekayaannya berasal dari luasnya perkebunan yang ia miliki, ia membuka lapangan kerja bagi rakyat pribumi dan masyarakat China dengan perkebunan yang ia miliki.

Seorang lelaki tua berkacamata hitam berdiri dihadapan kami. Ia mengenakan kaos oblong berwarna krem, ialah Fon Prawira Tjong. Ia adalah cucu dari Tjong A Fie dari anak yang keempat. Ia menceritakan pada kami berbagai kedermawanan dan berbagai bentuk bantuan Tjong A Fie untuk pembangunan kota Medan dan Sumatera Utara, Tjong A Fie pernah membiayai pembangunan Mesjid Lama Gang Bengkok, Mesjid Lama di Sipirok dan berbagai bantuan yang berguna bagi masyarakat sekitar. Ia juga membantu memberi santunan untuk masyarakat tak mampu.

Sebagai pemimpin usaha, Tjong A Fie membentuk manajemen-manjemen untuk mengurusi berbagai usaha yang dimilikinya. Untuk itu ia menunjuk orang Belanda untuk mengisi tempat ini. “Karena tak mungkin ia mengurusi sendiri semua bentuk usaha tersebut.” Katanya sambil tersenyum

Orang Belanda itu menjadi tangan kanan usaha Tjong A Fie sejak ia masih hidup. Istrinya yang ketiga tak sekolah, anak-anaknya masih dibawah umur sehingga Tjong A Fie menunjuk seorang Belanda untuk mengurusi perkebunan dan berbagai bentuk usaha yang ia miliki.

Setelah Tjong A Fie meninggal di tahun 1921, pihak Belanda memindahkan semua keluarga Tjong A Fie, istri dan anak-anaknya yang masih kecil sebanyak tujuh orang ke Swiss selama lima belas tahun. Tak ada satupun keluarga Tjong A Fie yang tertinggal di Medan, sehingga harta dan kekayaan tersebut tak ada yang mengawasi.

“Apa yang terjadi kalo tak satupun keluarganya di medan untuk mengawasi segala usaha Tjong A Fie?” Tanya Fon
Fon Prawira Tjong, salah satu cucu Tjong A Fie tengah jelaskan mengenai kedermawanan kakeknya 


Fon tak berani langsung menuduh kalau harta tersebut diambil alih oleh Belanda. Tetapi secara halusnya ia menyebut akan terjadi sesuatu hal yang tak berpihak terhadap kepentingan keluarga Tjong A Fie. “Sebab sewaktu mereka kembali sebagian dari harta-hartanya ini sudah banyak berkurang, dengan berbagai alasan yang dipertanggungjawabkan oleh Belanda” ucapnya dengan nada lesu.

“Yang mengerti Belanda, yang tahu Belanda yang mempertanggungjawabkan juga Belanda, jadi dijawablah sendiri apa itu kejadiannya,” tantang Fon.

Sisa-sisa harta tersebut lalu dikelola oleh keluarga setelah mereka kembali tapi mereka menghadapi perang dunia kedua, berbagai perubahan-perubahan sosial politik, pemberontakan dimana-mana, sehingga dengan berbagai gejolak dan perubahan tersebut membuat kehilangan hak atas kepemilikan harta “Ada beberapa hal yang menghilangkan banyak hak atas kepemilikan harta keluarga di Sumatera Utara,” ungkap Fon.

Fon tak bisa bilang  harta itu hilang, habis atau diambil orang tapi itu akibat dari proses kehidupan, “Mungkin suatu saat bisa diambil kembali tapi kapan wallahualam,” katanya.
Tjong A Fie sendiri meninggal di umur enam puluh satu tahun, ia meninggal mendadak dengan alasan pecah pembuluh darah, “Kembali lagi dengan logika sejarah, ada apa? Itu lah yang perlu diinvestigasi,” tanyanya penasaran.

Rumah Tjong A Fie Kini
Tampak sebuah rombongan kecil yang dipimpin oleh seorang wanita muda. Namanya Tetty Ginting, ia merupakan salah satu guide di rumah Tjong A Fie ini. Dari penjelasan Tetty rumah Tjong A Fie terdiri dari tiga bagian utama, bagian sayap kanan, sayap kiri dan gedung induk. Sayap kanan dan gedung induk boleh digunakan untuk tempat kunjungan, bagian sayap kiri diisi oleh keluarga Fon Prawira Tjong.

Sejak tahun 2009 rumah Tjong A Fie dijadikan tempat kunjungan. Tetty bilang rata-rata pengunjung perhari sekitar dua puluhan. Luas rumah enam ribu meter persegi dengan luas bangunan delapan ribu meter persegi, dengan jumlah kamar 35 kamar.
Bagian dalam Rumah Tjong A Fie

Ia menyebutkan dari awal pembangunan rumah ini tak ada perubahan, hanya penambahan tiang kecil untuk memperkokoh gedung. Tjong A Fie turut memberi ide rancangan dan desain. Tetty bilang Tjong A Fie ingin membuat semua orang nyaman berada di rumahnya. Warna kuning yang merupakan gaya melayu ia pakai, sedangkan hijau merupakan perlambang keislaman, “Banyak yang tanya kenapa sih warnanya gak dominan merah seperti rumah Cina kebanyakan? Nah jawabannya yang itu tadi lah,” jelas Tetty sambil tersenyum.

Ditahun 2009 juga, rumah Tjong A Fie resmi dijadikan cagar Budaya oleh pemerintah, akan tetapi mengenai anggaran perawatan tak ditanggungjawabi oleh pemerintah. “Ini masih masuk prioritas ke tiga puluh,” kata Fon


Fon menyebutkan banyak yang menawarkan tanah dan rumah ini untuk dijual yang kemudian akan digunakan sebagai lahan untuk pembuatan mall, restoran ataupun hotel.   Tetapi dengan yakin ia tak akan menjual rumah bersejarah ini, karena dari pandangannya ia melihat sejarah sebagai kebanggaan bangsa sehingga ia tak akan menjual aset berharga ini. “Orang yang mau menjual sejarah adalah orang yang hanya melihat sejarah dari segi entertaint atau hiburan saja sehingga banyak yang memperjualbelikannya,” terangnya.

Senin, 29 Desember 2014

Sebuah Sindiran untuk Sepakbola Indonesia

Perjuangan untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia terus berlanjut. Kali ini seorang sineas tanah air coba menyindir kondisi persepakbolaan Indonesia melalui sebuah film.

Judul film          : Hari Ini Pasti Menang
Sutradara          : Andibachtiar Yusuf
Pemain             : Zendhy Zein, Ibnu Jamil, Ario Prabowo, Ray Sahetapy, Mathias Muchus, Tika Putri
Distributor         : Bogalakon Pictures
Rilis                  : April 2013
Durasi               : 122 Menit

Kemelut dan kisruh persepakbolaan di Indonesia pada 2011 hingga 2013 lalu sepertinya menginspirasi seorang Andibachtiar Yusuf untuk memproduksi sebuah film bertemakan sepakbola. Film yang ia garap ini berkisah tentang dunia persepakbolaan di Indonesia yang telah memasuki era industrialisasi, kondisi dimana sepakbola benar-benar telah menjadi sebuah industri dengan sistem jual beli pemain secara profesional. Dunia sepakbola yang ia ceritakan penuh dengan aksi para mafia sepakbola yang mencoba mengendalikan puluhan pertandingan di Liga Sepakbola Indonesia lalu mengambil keuntungan dengan menjadi Bandar judi bola.

Gabriel Omar Bhaskoro melakukan selebrasi

Berbeda dengan film bertema sejenis semisal Garuda di Dadaku, dan Tendangan dari Langit, film ini bukanlah mengisahkan perjuangan seorang menjadi bintang sepakbola dari tak dikenal hingga dikenal. Film ini lebih menonjolkan realitas yang tak diketahui oleh masyarakat awam mengenai persepakbolaan Indonesia, sama seperti karyanya yang sebelumnya, Romeo & Juliet (2009).

Kita diajak untuk menikmati imajinasi ala Andibachtiar, Tim Nasional (timnas) Indonesia dikisahkan mampu berlaga di Piala Dunia. Seorang Bambang Pamungkas yang diperankan oleh Ibnu Jamil dikisahkan adalah seorang pemain yang telah bermain lebih dari sepuluh tahun di liga eropa. Lupakan kenyataannya mari kita nikmati dunia sepakbola imajinasi Andi Bachtiar!

Di sebuah pertandingan antara Jakarta Metropolitan melawan Bandung, Jakarta Metropolitan mampu memimpin satu gol berkat gol dari Gabriel Omar Bhaskoro (Zendhy Zein), ia lah bintang utama dalam film ini. Namun jalannya pertandingan rupanya telah diatur oleh mafia dan Bandar judi sepakbola. Pertandingan sebenarnya berlangsung seru, hingga akhirnya Gabriel harus menerima kartu merah akibat menanduk salah seorang pemain lawan. 

Gabriel berbuat begitu bukan tanpa alasan, ia terus diprovokasi dan dipancing agar melanggar oleh salah seorang pemain lawan yang telah diminta untuk berbuat demikian, ia juga sudah diminta secara rahasia untuk mengalah pada pertandingan itu. Hal ini dilakukan oleh Bandar judi agar mereka bisa meraup keuntungan yang besar dari pertandingan tersebut.

Dan benar saja, hasil pertandingan sesuai dengan settingan para mafia,  Bandung berhasil memaksakan hasil imbang lewat ‘hadiah’ pinalti yang diberikan wasit di menit-menit akhir pertandingan. Esok malamnya Gabriel dan Pelatih Jakarta Metropolitan, Bramantyo (Ray Sahetapi) bertemu secara rahasia untuk melakukan serah terima uang suap dari mafia. Kejadian ‘hadiah’ pinalti oleh wasit ini benar-benar sering terjadi di liga profesional Indonesia, ini lah sindiran pertama yang Andibachtiar sampaikan.  

Mendengar keterlibatan mafia dan bandar judi dipersepakbolaan Indonesia membuat seorang jurnalis olahraga bernama Andien (Tika Putri) tertarik melakukan investigasi. Hasil investigasi Andien menunjukkan adanya keterlibatan Gabriel. Andien coba bertanya pada Edhie Bhaskoro (Mathias Muchus) ayah Gabriel dan Pelatih Bramantyo mengenai keterlibatan Gabriel. Baik Edhie dan Bramantyo dengan tegas membantah keterlibatan Gabriel dalam mafia bola dan pengaturan pertandingan.

Di tengah penelusuran yang dilakukan Andien, ia mulai mendapat teror dari pihak tak dikenal. Ia diserempet motor diperjalanan pulang hingga ancaman terhadap nyawanya. Ia mulai frustasi dan ketakutan, timbul perdebatan dibatinnya apakah akan melanjutkan investigasinya atau tidak. Sebab usaha untuk melapor ke polisi pun akan sia-sia, ia tahu polisi juga pasti bersekongkol dengan mafia. Andibachtiar kembali menyindir bahwa aparat keamanan pun sudah dikuasai para mafia.

Gabriel Omar coba protes pada wasit


Andien memutuskan tetap melanjutkan investigasinya. Ia menemui Gabriel, dari Gabriel ia temukan jawaban bahwa mafia dan bandar judi memang terlibat dalam pengaturan skor di liga Indonesia, secara tak langsung Gabriel pun mengakui ia juga terlilbat praktik mafia pengaturan skor. Kembali Andibachtiar menyentil dengan tak diizinkannya Andien menuliskan berita yang telah ia dapatkan itu oleh pemimpin redaksinya sendiri. Seakan-akan media juga sudah dikendalikan mafia.

Andibachtiar mengakhiri cerita dengan cerdas dan elegan. Mengetahui anaknya terlibat mafia, Edhie mengalami kecelakaan. Hal ini lah yang menyadarkan Gabriel akan semua kesalahannya. Pada akhir cerita Jakarta Metropolitan melawan Melbourne Rovers dalam Liga Champions Asia. Para mafia sudah memesan agar Gabriel tidak mencetak gol dan biarkan Melbourne Rovers menang. Wasit dan pelatih tim tamu juga sudah di atur. Namun kali ini Gabriel melawan, ia tak mau ikuti para mafia. Gabriel malah mencetak dua gol pada babak pertama dan membawa Jakarta metropolitan unggul dua kosong.

Hal ini memicu amarah para mafia, mereka telah bayar mahal namun sang bintang tak menurut. Puncaknya ketika Jakarta Metropolitan berhasil menambah satu gol lagi di babak kedua. Sang mafia mencak-mencak lantas memerintahkan pelatih Melbourne untuk menghancurkan karir Gabriel, caranya dengan bermain kasar. Gabriel dilanggar berkali-kali hingga alami cedera parah, kakinya patah! Gabriel harus segera dioperasi kalau tidak ia akan lumpuh. Banyak media memberitakan pertandingan yang tidak adil tersebut dan sekelompok masyarakat meminta agar dilakukan investigasi tentang pertandingan tersebut.


Kembali Andibachtiar menyindir lewat klimaks pada cerita ini. Kejadian pemutusan karir seorang bintang karena melawan mafia memang pernah terjadi di Indonesia. Dalam sebuah scene diakhir film, seorang presenter televisi menyerukan sebuah pertanyaan, pertanyaan yang mungkin juga muncul dibenak kita. “Benarkah sepakbola Indonesia dinakhodai oleh mafia?”

Jangan Beli Gadget untuk Anak!

Masa anak-anak dan balita adalah masa emas perkembangan, baik dari segi fisik maupun psikologi. Namun apa jadinya jika anak-anak dan balita lebih sering berinteraksi dengan gadget dibanding dengan teman seusianya?
Sumber Istimewa.
Sumber Istimewa.
Perkembangan dunia digital dan gadget akhir-akhir ini sangatlah pesat. Berbagai gadget dari berbagai merek terus bermunculan. Beragam fitur dan keunggulan yang terus diperbarui menarik minat pengguna. Gadget bukan lagi jadi barang mewah.
Tak mau ketinggalan, anak-anak dan balita pun akrab dengan gadget. Walaupun sebatas untuk bermain games dan aplikasi-aplikasi ringan lainnya. Walaupun begitu tampaknya lebih sering kita lihat balita berlama-lama dengan gadgetnya daripada bermain dengan teman sebayanya. Sebuah survei yang dibuat oleh Kaiser Family Foundation membuktikan itu.

Hasil penelitiannya membuktikan pada umumnya anak-anak usia sekolah menghabiskan waktu hingga tujuh jam dalam sehari bersama gadgetnya. Hasil ini hampir menyaingi lamanya waktu bekerja normal seorang dewasa: delapan jam sehari.
Namun penggunaan gadget pada usia sekolah dan balita berdampak bagi fisik dan psikologi anak. Dari segi fisik anak yang kecanduan gadget akan mudah terpapar radiasi, apalagi seorang balita.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Leeds di Nottingham dan Universitas Manchester and Institute of Cancer Research di London, Inggris menjelaskan balita memiliki syaraf-syaraf yang masih berkembang serta tengkorak yang masih tipis. Sehingga balita akan menyerap radiasi sepuluh kali lebih cepat dibanding orang dewasa. Dikhawatirkan anak akan mudah terpapar radiasi yang dipancarkan. Hal ini akan meningkatkan risiko penyakit kanker pada anak-anak di masa dewasanya.
Radiasi cahaya dari layar smartphone tentunya berbahaya untuk mata anak, warna yang terang dapat membuat otot mata lelah bahkan berubah secara fisiologis. Apalagi jika jarak antara mata dan layar terlalu dekat dan cahaya dari matahari tak cukup untuk penerangan. Akibatnya, mata bisa rabun jauh. Kenyataannya sekarang sudah banyak anak-anak usia sekolah yang menggunakan kacamata, maka tak tertutup kemungkinan balita-balita akan menggunakan kacamata minus juga.
Kecanduan dan penggunaan gadget dalam waktu yang lama juga berakibat pada psikologi anak. Menurut American Academy of Pediatrics, anak-anak yang kecanduan gadget akan mengalami gangguan dalam perkembangan bahasa, membaca, dan daya ingat jangka pendek. Anak-anak juga akan susah mengenali stimulus atau rangsangan dari luar. Rangsangan dari layar gadget tidak dapat memberikan interaksi dua arah, tak ada saling pandang, anak jadi tak bisa belajar membaca ekspresi, padahal anak-anak seumuran balita harus belajar berinteraksi dengan orang lain dalam rangka perkembangan bahasa, mental dan psikologinya.
Kemudian anak yang kecanduan gadget akan bersikap pasif dalam pergaulan sehari-hari. Anak-anak akan malas dalam melakukan aktivitas fisik. Padahal anak-anak dan balita butuh aktivitas fisik untuk perkembangan saraf sensorik dan motoriknya. Perkembangan saraf sensorik dan motorik anak dapat berkembang dengan cara memegang, menyentuh, mencium, melihat serta mendengar.
Agar sensorik dan motoriknya berkembang, ini anak lebih butuhkan objek yang nyata dibanding objek yang ada di dalam gadget. Maka tak tertutup kemungkinan anak-anak dan balita akan antisosial dan cenderung sibuk dengan dunianya sendiri atau autis.
Padahal kita punya banyak permainan tradisional yang bisa dimainkan secara bersama-sama yang melibatkan anggota tubuh bergerak. Sebab ada interaksi dan terbina sebuah ikatan batin antara dirinya dan teman-temannya. Sehingga tercipta rasa kepedulian dan rasa sosial.
Bandingkan dengan permainan yang ada di gadget, lebih bersifat individualis dan tak banyak menggunakan anggota tubuh untuk bergerak. Maka dari sekarang ada baiknya mulai batasi penggunaan gadget untuk anak-anak dan balita. Serta jangan pernah membelikan gadget untuk mereka!


*Tulisan ini juga naik di suarausu.co rubrik Tahukah Anda
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com