Selasa, 03 Februari 2015

Bosan

Waktu berhenti tak bergulir
Seakan tak bergulir lagi
Terus saja begitu!

            Jenuh ku disini
            Ingin segera pergi
            Entah kenapa

Ku ingin ke luar…
Sepertinya menarik
Bergabung dengan lebah disana

            Tapi entah kapan…
            Tak berdaya…

            Terkurung dalam jebakan waktu

Kamis, 29 Januari 2015

Hai Tikus Kantor

sumber: solopos.com

Hai…
Hai tikus kantor
Apa kabarmu di sana?
Ku dengar kau makin subur di sana
Tubuhmu juga makin besar saja
Tapi anehnya kepalamu tetap saja segitu ukurannya
Eh bukan, tampaknya mulai mengecil...

Oh iya, kudengar kau mau pindah ya?
Pindah ke mana?
Ke kantor sebelah?
Atau ke kantor depan?
Ohh aku tahu…
Ke Kantor yang itu ya?
Tempat tikus-tikus elit
Ku dengar tikus di sana semuanya pakai dasi

Hai…
Hai tikus kantor
Kenapa kau tak jadi pindah?
Kabarmu mulai jarang ku dengar
Apakah kau tak mau bergabung dengan tikus elit di sana?
Apakah kau tak mau pakai dasi juga?
Ahh aku tahu…
Sewaktu aku pulang kemarin malam
Aku melihat tubuhmu tak bernyawa lagi dilindas mobil
Malangnya…

Engkau Dimana

Ilustrasi

Engkau dimana sayangku
Lama tak terdengar kabar darimu
Masih ingatkah kau terakhir kali perjumpaan kita?

Engkau dimana kasihku
Kepala ini selalu terpikirkan engkau
Apakah engkau hilang dicuri tim mawar?
Siapa sangka

Engkau dimana sobatku
Resah hati ini tanpa kepastian kabarmu
Apakah engkau sengaja menghindar dariku?
Siapa sangka

Engkau dimana kawanku
Masih banyak hal yang ingin aku dengar darimu
Apakah engkau benar-benar menghilang dari bumi ini?
Ahh sudahlah,,, mungkin kau sedang sibuk dengan duniamu

Kamis, 08 Januari 2015

Batik Gorga: Cara Orang Batak Representasikan Ulos

Ada untuk perkenalkan ulos, Orang Batak kini punya batik. Batik Gorga namanya.

Akhir September lalu, saya mengunjungi Tomok untuk kelima kalinya. Kali ini ada yang berbeda. Mata saya terhenti pada sebuah baju. Seperti batik, namun motifnya ulos.
Itulah Batik Gorga.

Saya coba tanya pada teman yang bersuku Batak. Mereka bilang suku Batak tak punya batik, mereka gunakan ulos untuk acara adat. Batik Gorga yang muncul dan diperjualbelikan adalah hasil kreatifitas orang Batak, pun muncul di awal tahun dua ribu.
Salah satu motif Gorga (sumber: istimewa)

Sekembalinya ke Medan, saya bertemu dengan Budayawan Warisman Sinaga. Batak tak punya batik, tegasnya. Namun, Batik Gorga hadir sebagai cara orang Batak kenalkan ulos. “Kalau tidak dicoba memodifikasi, mustahil ulos tetap dikenal masyarakat luas,” tutur Warisman.
Motif Batik Gorga berasal dari motif ulos dan gorga. Berdasarkan kamus bahasa Batak-Indonesia, gorga berarti ragam ukiran, pewarnaan dinding rumah dengan tiga warna dasar, yaitu merah hitam dan putih. Sedangkan dalam bahasa Batak Toba Gorga ialah ukiran atau gambar hiasan pada rumah adat batak.

Motif ulos yang sering digunakan ialah Ulos Ragi Hotang. Ragi artinya corak dan Hotang berarti rotan. Rotan adalah benda alam yang fleksibel namun bisa mengikat apa saja dengan erat. Ada lagi motif Ragi Hidup atau Ragidup yang berarti kehidupan, dan Sadum yang berarti pengharapan untuk sebuah kebaikan dan keberkahan.

Pun dengan motif gorga, ada Gorga Iran-iran yang bermakna simbol kecantikan. Kemudian Gorga simeol-eol melambangkan kegembiraan serta Gorga Ipon-ipon yang menyimbolkan kemajuan.

Menurut Warisman Batik Gorga sendiri lebih sering digunakan pada keseharian seperti ke kantor dan acara-acara formal non-adat. Sedangkan untuk acara-acara adat, ulos masih jadi pilihan utama karena ulos memiliki kesakralan dan memang sudah menjadi kain khas batak. “Karenanya jika ulos tak dimodifikasi pada hal baru, maka ulos bisa saja tertinggal zaman,” terang Warisman.

Warisman bilang orang Batak sebenarnya mengupayakan agar ulos dijadikan pakaian sehari-hari. Namun di sisi lain ulos punya nilai kesakralan, yaitu bahan pembuatannya. Ada ketakutan nilai kesakralan dan kulturalnya akan terkikis. “Maka Batik Gorga jadi alternatif yang lebih baik demi menjaga kesakralan ulos,” jelas Warisman.

Batik Gorga Motif Simeol-eol (sumber:istimewa)
Kreatifnya orang Batak dalam beradaptasi patut diacungi jempol. Penggunaan ulos yang hanya terbatas pada acara adat melahirkan karya baru. Bagaimanapun, orang Batak masih segan kalau menggunakan ulos untuk pakaian sehari-hari, karena nilai sakralnya itu.

Hingga sekarang banyak masyarakat yang menggunakan Batik Gorga untuk bekerja, beribadah ataupun acara-acara resmi. Keinginan untuk menjaga eksistensi dan kenalkan ulos membuat Batik Gorga cepat berkembang dan mendapat respon positif dari masyarakat, terutama Suku Batak. Dan pembuatan Batik Gorga dilakukan dengan prinsip pelestarian dan penjagaan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ulos tersebut 

*Tulisan ini terbit di Tabloid Mahasiswa SUARA USU edisi 100 rubrik Mozaik

Selasa, 06 Januari 2015

Cerita Liputan Nias (2): Modus Rampok, Ponsel Hilang Hingga Parang Everywhere

Hari kedua di Nias, kami hendak menuju Teluk Dalam. Perjalanan dari Gunungsitoli menyimpan cerita yang tak terlupakan, takjub, lucu dan horor.

Belum ada transportasi regular di sini. Jangan harap anda akan temukan bus antar kota seperti Bus Sumatera Transport atau Sinabung Jaya. Di sini jika ingin bepergian sewa travel dulu, harganya bervariasi tergantung tujuan. Jika ke Teluk Dalam dari Gunungsitoli ongkosnya Rp 250 ribu untuk pergi saja.
Menuju Teluk Dalam
Karenya kami putuskan sewa sepeda motor. Sebuah sepeda motor disewakan Rp 100 ribu per harinya. Selain juga karena lebih praktis jika digunakan untuk liputan, sebab kami akan bergerak kemana-mana. Penyewaan sepeda motor di Gunungsitoli pun sebenarnya tak banyak, kebetulan saja kami dapatkan penduduk sekitar yang bersedia menyewakan sepeda motornya untuk kami gunakan.

Sebelum berangkat menuju Teluk Dalam kami dinasehati oleh Orangtua Rahmat. Ada cerita yang cukup mengerikan dari mereka. Jangan bepergian jika waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, jika pukul empat masih di Teluk Dalam lebih baik menginap!


Kenapa dilarang?

Sebab akan banyak tindak kriminal yang akan terjadi. Mulai dari perampokan hingga penodongan, beragam modus dilancarkan. Mulai dari pura-pura minta tolong, menghambat jalanan dengan batang kayu atau secara sengaja muncul dengan mengacungkan parang. Kami cukup ngeri mendengar cerita itu. Rata-rata kejadian itu terjadi pada sore hari, maka dari itu sangat diharapkan pukul tiga sore sudah sampai di Teluk Dalam dan menginap saja.

Kemudian ada lagi cerita dari penduduk sekitar. Sewaktu Dian hendak menyewa sepeda motor, dia juga dapat cerita. Beberapa penduduk pedalaman punya ramuan khusus untuk membius targetnya. Ramuan itu disamarkan pada minuman yang biasa dikonsumsi sehingga tak mencurigakan.

Jalanan dari Gunungsitoli-Teluk Dalam, cukup ikuti garis pantai
Cara mengantisipasinya ialah jangan terima ajakan minum atau makan ditengah perjalanan, kalau benar-benar terpaksa cicip dulu sedikit. Jika setelah di mulut, rasakan langit-langit dengan lidah, jika tak terasa geli seperti biasanya berarti ada racun.

Menghadapi itu semua kami sepakat untuk tidak berhenti di tengah jalan sebelum sampai di Teluk Dalam. Kemudian saya juga hubungi paman yang tinggal di Teluk dalam, ia bilang memang ada beberapa kejadian seperti itu, namun jika bepergian di siang hari tak masalah jalanan juga bagus dan sudah ramai. Dan lagi entah kenapa diantara kami tak ada yang nyalinya ciut setelah dengar cerita itu, mungkin memang berjiwa petualang.

Pukul sebelas lewat tiga puluh menit kami sudah siap dengan peralatan dan kendaraan menuju Teluk Dalam. Perjalanan akan memakan waktu paling lama empat jam. Jalanan menuju Teluk Dalam tidak lah sulit. Cukup ikuti pantai di Samudera Hindia karena jalanannya memang menyusuri pantai. Alhasil sepanjang perjalanan kami dihibur dengan pemandangan pantai dan laut yang indah. Cuaca cerah menambah indahnya  pemandangan kala itu. Airnya biru, beda sekali dengan lautan di Selat Malaka yang menjadi wisata di Perbaungan sana.
Salah satu pantai di pinggir jalan
Jalanan sangat bagus, hanya sedikit yang berlubang. Jembatan penghubung juga sudah bagus. Ada prasasti penanda bahwa jembatan itu hasil kerjasama pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang. Namun selama perjalanan tak sedikit kami temui penduduk sekitar yang membawa parang, kami jadi teringat dengan cerita tadi. Karenanya kami sedikit ngebut untuk menghilangkan rasa takut. 

Pukul setengah dua, sewaktu sedang asyiknya berkendara ada kejadian yang cukup menggelikan. Sewaktu memasuki daerah persawahan Renti tampak sibuk dengan tasnya. Beberapa detik kemudian Ponsel Dian dan Renti yang berada di dalam tas Renti ‘melompat’ ke luar dan terjatuh.

Sontak saya yang di belakang mereka berteriak dan membunyikan klakson. Setelah sadar bahwa ponsel mereka terjatuh kami berhenti untuk mencari ponsel tersebut. kami berkendara dengan kecepatan tinggi yang membuat ponsel tersebut langsung tercerai berai dan terpelanting entah kemana. Kami berusaha mencari di kali dan sawah-sawah penduduk. Namun yang berhasil ditemukan hanya lah baterai ponselnya Renti dan casing belakang ponsel Dian. Coba ditelpon namun tak aktif. Terang saja baterainya terlepas. Ohhh sungguh malang nasibmu sobat hehehe.
Putus asa mencari ponsel
Kemudian saat tengah asyik mencari datang segerombolan pemuda mengendarai becak barang. Paling tidak ada lima orang, yang membuat kami merinding adalah mereka masing-masing membawa parang, beberapa ada yang bawa senapan. Ditambah lagi mereka semua secara serempak melihat ke arah kami. Seketika suasana horor dan hening, kami terdiam dan saling pandang memberi kode. Untuk menghilangkan rasa takut saya pura-pura tak lihat berharap mereka cepat berlalu. 

Untung saja mereka hanya berlalu tanpa sepatah kata. Mereka juga terdiam kala itu. Terima kasih Tuhan. Rupanya cerita-cerita tadi sudah jadi sugesti buat kami, sehingga kami mudah terpengaruh. Bahkan muncul sebuah istilah dari kami: parang everywhere

Setelah pencarian tak juga membuahkan hasil, dengan terpaksa Renti dan Dian harus mengikhlaskan ponselnya. Kami harus lanjutkan perjalanan karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua, sedangkan pukul tiga sudah harus berada di Teluk Dalam.
Suasana di sekitar Pantai Lagundri

Sesampainya di Lahusa –sebuah kecamatan di Teluk Dalam- kami singgah sejenak di rumah makan milik paman saya. Saya sendiri sudah lama tidak berjumpa dengan paman. Kalau tidak salah terakhir bertemu saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Kami diajak makan siang sembari bercerita mengenai perjalanan dan keadaan keluarga saya di kampung.
Kembali kami dapatkan cerita. Saat saya bertanya berapa lama hingga sampai di Lagundri, paman menjawab begini, “Bisa satu atau satu setengah jam lagi tergantung kecepatan, jalanan sebenarnya bagus tapi kalian jangan ngebut, sebab banyak ternak penduduk yang berkeliaran, jika tertabrak mereka bakal minta ganti rugi,”

“Anak ayam saja yang tertabrak bisa ratusan ribu konon lagi kerbau, anjing, bahkan babi, hati-hati saja” tambah paman.

Kami kembali terdiam, untung selama perjalanan tadi tak ada ternak yang lewat. Kembali kami lanjutkan. Paman juga tak bisa lama-lama sebab ia punya tugas persiapkan pemilu esok. 

Berbekal nasehat paman akhirnya kami bawa motor sedikit lebih pelan. Benar saja beberapa kilometer sesudahnya memang banyak ternak yang berkeliaran. Dian hampir menabrak anak ayam.

Aktivitas penambangan pasir di Pantai Lagundri
Oh iya selama perjalanan ini kami masih temukan penduduk yang membawa parang. Sebenarnya tujuan mereka membawa parang adalah hendak mengambil kelapa ataupun menyiangi tanaman dan sawah, bukan untuk mengancam ataupun bertindak macam-macam. Kami saja yang tersugesti dan berpikiran aneh-aneh. Buktinya ketika kami berhenti sejenak untuk bertanya arah mereka menjawab dengan ramahnya. Berbeda sekali dengan cerita yang kami dengar sebelumnya.

Pukul setengah empat kami sudah sampai di pusat kota Teluk Dalam. Sekitar setengah jam setelahnya Dian hendak mengisi bensin. SPBU terdekat sudah terlewati di pusat kota tadi, terpaksa lah mengisi di warung-warung kecil. Setelah bensin kembali terisi kami lanjutkan perjalanan dan menemukan papan penunjuk arah ke Pantai Sorake.

Kami sedikit bingung, sebab berdasarkan informasi yang kami dapat, kami akan temukan Lagundri terlebih dahulu. Kami putuskan untuk tetap susuri jalanan itu namun kami tetap tak temukan Pantai sorake, tanda-tanda kehidupan pariwisata juga hampir tak ada. Hanya ada penginapan-penginapan dan warung kecil. Kami putuskan untuk bertanya pada warung tempat mengisi bensin tadi.
Pantai Lagundri yang sepi

Rupanya Pantai Lagundri tepat berada di depan warung itu. Kami pangling, tak ada penanda bahwa itu adalah objek wisata yang terkenal itu. Tak ada gairah kehidupan wisata, pantai sepi hanya ada aktivitas penggalian pasir. Ya memang itu salah satu angle yang coba kami angkat ditulisan nanti.

Saya dan Renti langsung memulai liputan, mengingat waktu yang kami punya tak banyak.
Bersambung...

Sabtu, 03 Januari 2015

Matahari Telah Tenggelam

Ilustrasi


Pagi….
Matahari kembali terbit seperti biasa
Aku masih setia dengan selimutku
Begitu nyaman di sini…

Pagi…
Umurku makin bertambah…
Pohon di depan sana sudah berbuah
Aku masih saja setia dengan selimutku
Ahhh… sangat nyaman di sini…

Siang…
Matahari bersinar begitu teriknya…
Ku dengar teman-teman seumuranku tengah bekerja mencari nafkah
Aku masih betah di sini…
Di peraduan bersama bantal dan selimutku…

Sore…
Tak terasa matahari hampir tenggelam
Rambutku juga mulai putih…
Kenapa badanku tak mampu bergerak?
Kemana semua orang? Ayah… Ibu…
Ahhh… perutku lapar, tapi tak ada yang bisa dimakan
Aku juga tak punya uang untuk membeli makanan

Malam…
Matahari benar-benar telah tenggelam
Tempatku kini tak lagi senyaman dulu
Bantal dan selimutku kemana?

Kenapa di sini gelap?

Jumat, 02 Januari 2015

Cerita Liputan Nias: Menuju Pulau Nias

Akhir Maret lalu saya kebagian liputan ke Pulau Nias bersama tiga rekan lainnya, Adam, Dian dan Renti. Kami dibagi dua tim, masing-masing membahas tema yang berbeda. Saya dan renti akan meliput mengenai wisata Pantai Sorake dan Lagundri, sedang Adam dan Dian akan liput Bahasa Nias.

Liputan kali ini terasa sangat menantang. Ini lah liputan saya yang terjauh sebagai Pers Mahasiswa, sebelumnya liputan terjauh saya adalah di Parapat. Selain lokasi yang jauh asyiknya tema liputan kali ini juga memacu adrenalin untuk segera ke sana.

Suasana di dalam Kapal "selam" hahaha...
Kami berangkat minggu pertama April, perkiraan kami Jumat malam sudah kembali berada di Medan. Menuju Pulau Nias sebenarnya bisa via udara atau darat plus laut. Jika lewat udara bisa dari Bandara Kuala Namu menuju Bandara Binaka di Gunungsitoli, dengan alasan tertentu kami memilih rute darat.

Dari Medan menuju Sibolga, perjalanan darat ini kami lewati dengan menaiki mobil travel. Minggu malam pukul sebelas lebih kami mulai perjalanan. Kata teman-teman, dari Medan ke Sibolga menghabiskan waktu sekitar sembilan jam, namun jika berangkat malam bisa sampai Sibolga lebih cepat, hanya enam jam.

Diawal perjalanan kami sempat bercerita mengenai kepergian kami. Ternyata beberapa dari kami pergi tanpa bilang ke orangtua, saya lah salah satunya. Pun begitu dengan kuliah, terpaksa beberapa mata kuliah minta tolong pada teman terdekat untuk titip absen. Namun berhubung semuanya  udah semester akhir tak banyak mata kuliah yang harus dititip absen.

Jalan-jalan sore di Kota Gunungsitoli
Kami pun sempat merasa sedih dengan rekan dan teman seorganisasi yang kami tinggalkan sementara waktu. Kami semua yang pergi adalah tiga kepala bagian dan saya sendiri sebagai pemimpin umum, empat dari enam orang pengurus inti organisasi harus pergi sementara waktu, tinggal lah dua pengurus lain.  Sempat terbayang jika terjadi apa-apa dengan kami. Hmmmmm…

Esoknya pukul tujuh pagi kami sudah sampai di Sibolga. Langsung saja kami minta antar ke pelabuhan untuk naik kapal menuju Pulau Nias. Dari informasi yang kami dapat kapal hanya berangkat dua kali sehari, pagi dan malam. Jadi kalau ketinggalan kapal pagi kami harus menunggu kapal malam. Mengingat waktu yang sedikit kami harus dapatkan kapal pagi!

Saya juga dapat informasi dari paman yang tinggal di Teluk Dalam, Nias. Tiap senin ada kapal jet yang berangkat pagi, kapal lebih cepat sampai namun biayanya juga lebih mahal. Perjalanan dengan kapal biasa menghabiskan waktu enam hingga tujuh jam, namun jika dengan kapal jet bisa sampai ke pelabuhan di Gunugsitoli hanya empat jam.

Sembari sarapan kami mendiskusikan kapal mana yang akan dinaiki. Sebelumnya sopir mobil travel yang kami tumpangi mengenalkan kami pada salah seorang yang punya tiket kapal jet menuju Gunungsitoli, harganya ternyata lebih mahal dari info yang diberi paman saya sebelumnya.

Sore hari disalah satu pantai di Gunungsitoli
Awalnya kami tak mau dengan rekomendasi itu, namun setelah diskusi dan mendengar pendapat penduduk sekitar kami putuskan untuk naik kapal jet yang ditawari tadi. Ditambah lagi penyeberangan untuk esok hari telah di-booking semua oleh TNI dan Polri. Mereka akan bertugas mengamankan pemilihan umum di Nias. Oh ya kala itu bertepatan dengan pemilihan calon legislatif.

Jadi lah setelah sarapan kami bersiap menuju kapal. Kami berpikir kapal yang akan kami tumpangi merupakan kapal besar, namun rupanya bukan begitu. Kapal tidak besar, tidak pula kecil, hanya mampu memuat maksimal seratus orang. Kapalnya hampir mirip kapal selam, tak ada bangku di atapnya. Kursi untuk penumpang dan nakhoda ada di dalam badan kapal. Pintu masuknya kecil, hanya muat untuk satu orang jadi harus antri.

Selama perjalanan juga tak bisa keluar, hasilnya kami hanya bisa menikmati perjalanan dari dalam kapal sesekali menengok birunya Samudera Hindia dari jendela kapal yang berdiameter setengah sentimeter.

Padahal ekspektasi saya di awalnya adalah bisa menikmati kencangnya angin laut dari atap kapal. Tak apa lah, kapal ini memang sengaja di-set begitu karena memang mengutamakan kecepatan berlayarnya. Begitu saya coba menghibur hati.

Oh iya ada kejadian yang cukup membuat kami ketar-ketir. Rupanya orang yang memesan tiket untuk kami tidak memesan tiket secara resmi. Bisa dibilang kami adalah penumpang gelap, tanpa tiket! Pantas saja harganya lebih mahal. Kami sempat merasa aneh karena tak diberi tiket, padahal penumpang lain mengantongi tiketnya masing-masing. Setelah deal dengan  harga tiket kami langsung diantar ke kapal dan langsung dipersilakan memilih kursi untuk duduk.

Suasana pelabuhan di Gunungsitoli
Namun si pemesan tiket ini menjamin bahwa kami akan berangkat dengan selamat, saya sempat berpikir kami akan diusir dari kapal. Kemudian dia memberikan nomor ponselnya pada saya. “Kalau ada apa-apa hubungi saja nomor itu,” begitu katanya.

Kapal akan berangkat pukul sembilan, menjelang pukul Sembilan petugas kapal mulai berkeliling memeriksa tiket, kami pucat karena tak mengantongi tiket. Saya hanya mengantongi nomor si pemesan tiket tadi dan namanya. Ia juga berpesan “Sebut saja nama saya ke petugas nanti.”

Kekhawatiran kami baru sirna setelah si pemesan tadi datang ke kapal untuk memeriksa kami. Waktunya pas ketika si petugas hampir menanyai kami. Kami langsung bilang ke petugas pesan yang dititipkan tadi. Si petugas kemudian mengkonfirmasi pada si pemesan tiket. Setelah itu baru lah kami bisa tenang. Fiiuhhhh….

Setelahnya perjalanan laut selama lebih kurang empat jam kami lalui. Tak ada yang mabuk laut walaupun ini pertama kalinya kami naik kapal.
Selfie di atas becak 

Pukul setengah dua kami sudah sampai di pelabuhan. Kami dijemput Rahmat. Ia adik dari senior kami Kartini, yang bersedia memberikan tumpangan tempat tinggal selama kami liputan di Nias.  Ada juga dua orang lagi yang kami kenal, Vindo dan Firman, sama-sama berkuliah di USU.

Akhirnya kami menuju rumah Rahmat menggunakan becak. Dari pelabuhan ke rumah Rahmat tidaklah jauh, hanya sepuluh menitan, mungkin kurang.

Sesampainya di rumah, kami berkenalan dengan orangtua Rahmat. Rupanya Vindo dan Firman juga menginap di sana. Kami dipersilakan untuk makan siang, rupanya makanan sudah siap saji, tinggal disantap. Wah baik sekali.

Sorenya kami dibawa Firman dan Vindo ke pantai terdekat. Sebelumnya Adam dan Dian coba ke Museum Nias untuk membuat janji dengan narasumber.

We Are Here in Nias
Hari Senin, hari pertama di Nias begitu mengesankan, penduduk Nias sangat ramah. Begitu juga orangtua Rahmat kami dilayani dengan sangat baik, bak tamu hotel bintang lima. Setelah makan malam kami mendiskusikan perjalanan esok menuju Lagundri dan Sorake di Teluk Dalam kemudian istirahat.



Bersambung….

Selendang Merah

Aku terbangun saat kakiku tengah dipijat oleh Nina. Pijatannya terasa nyaman.

“Sudah bangun toh Ki,” sapanya.

“Oh iya Nina, kamu baik sekali.” Kataku membalas kebaikan hatinya.

“Ah kamu ini, kita kan saudara,” Balasnya.

Aku hanya membalas senyumannya sambil memikirkan sesuatu.

“Hmmm ngomong-ngomong aku kemarin jatuh kenapa ya?” tanyaku.

“Hahahaha kamu itu, memang lah ya, selendang yang kau pakai setiap hari itu loh yang 
buat kau tersandung,” jelasnya.

Aku tak percaya, aku memang selalu mengenakan selendang berwarna merah. Sejak kecil aku selalu nyaman mengenakan selendang ini. jika sehari saja aku tak mengenakannya hati ku terasa gelisah, serasa ada yang hilang.

“Ah mana mungkin aku bisa jatuh karena selendang ini, selendang ini kan tak begitu panjang sampai bisa membuatku jatuh.” Sanggahku.

“Terserahmu kalau tak mau percaya, aku melihatnya sendiri loh, kemarin itu selendangmu jatuh, salah satu kakimu menginjak ujungnya dan ujung yang lain menjerat kakimu hingga akhirnya kamu tersandung dan kepalamu kejedot dinding,” terang Nina.

“Oh begitu kah?” ucapku sambil melongo.

Aku menatap pada selendang merah yang selalu bersamaku selama dua puluh tahun ini. melihatnya aku seakan menonton kembali memori dua puluh tahu lalu saat seorang perempuan muda pergi meninggalkanku di sebuah gubuk kecil. Tak banyak yang bisa ku ingat, aku masih berumur setahun saat itu. Wanita itu masih begitu muda, ku taksir mungkin umurnya sekitar 21 tahun, seumur denganku di saat ini. Aku tak mengerti kenapa ia meninggalkanku, saat itu ia hanya berkata “Kamu sembunyi saja di sini, sejam lagi akan ada yang menjemputmu, pakai selendang merah ini untuk pertanda mereka,” ucapnya tergesa-gesa.
Aku rasa mungkin itu ibu kandungku sebab selama setahun aku bersamanya aku selalu merasa nyaman. Rasa nyaman yang sama aku rasakan saat aku bersama selendang merah ini.

***

Seusai makan malam aku dipanggil ayah dan ibu angkatku. Aku tak tahu kenapa mereka tiba-tiba memanggilku.

“Kiki, ada seseorang yang ingin menemuimu besok,” kata mama.

“Haaa siapa memangnya ma? Kenapa harus memanggilku segala? Suruh saja datang langsung ke rumah ini?” jawabku bertanya-tanya.

“Kamu lihat saja besok, kami tak bisa jelaskan sekarang padamu, yang jelas besok jam sepuluh pagi kamu ikut kami ya Ki,” jelas ayah.

“Baiklah yah kalau memang seperti itu,” balasku.

Ku simpan rasa penasaran itu, hingga akhirnya rasa penasaran itu ku bawa tidur.
Paginya aku telah bersiap, selendang merah tetap ku kenakan. Kali ini Ibu tak memintaku untuk meninggalkan selendang itu,padahal biasanya ibu selalu memintaku untuk meninggalkan selendang itu, sudah usang katanya. Namun semakin keras ia melarang semakin keras pula aku menolaknya. Kalau sudah seperti itu ibu tak bisa apa-apa lagi, ia hanya bisa menurut saja.

Ayah dan ibu membawaku ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sebuah rumah semi permanen, cat dindingnya kusam, di beberapa tempat tumbuh lumut yang begitu tebal. Kami disambut seorang wanita paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluhan tahun. Ia menatapku begitu dalam, tiba-tiba matanya berkaca-kaca menahan tangisan. Namun ia langsung mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah. Ayah dan ibu membimbingku ke dalam.

Wanita itu langsung memelukku erat sembari mengusap punggungku. Ia juga menciumi selendang merahku namun ia tak mampu berkata-kata. Aku bingung dengan perlakuan wanita itu. Aku hanya diam untuk menghargainya.

“Ki perkenalkan ini bu Maya,” terang ibu.

 “Ki kamu ingat dua puluh tahun lalu, seorang wanita muda meninggalkanmu di sebuah gubuk kayu?” Tanya ayah.

“Iya yah aku masih ingat, wanita itu lah yang memberikan selendang merah ini padaku, katanya sebagai penanda untuk orang yang menjemputku nanti, tapi aku tak ingat siapa wanita itu, kenapa memangnya yah?” tanyaku balik.

“Bu Maya ini lah wanita muda waktu itu, ia lah ibu kandungmu,” jelas ibu padaku.
Sontak aku terkejut, aku serasa tak percaya. Ku lihat bu Maya ia tertunduk sambil meneteskan air mata, ia tak berani menatapku. “Benarkah? Apa iya ibu kandungku masih hidup? Apa iya ibu ini ibu kandungku?” banyak pertanyaan muncul di benakku.

Ayah langsung menceritakan sebuah peristiwa dua puluh tahun lalu. Kala itu sedang terjadi perang saudara akibat perbedaan agama. Kedua pihak tak bisa menghindarkan perang, perang itu berlangsung selama setahun. Ibu terpaksa membawaku ke sebuah gubuk yang aman dari jangkauan lawan, tujuannya agar aku tak menjadi incaran mereka untuk dibunuh. Ibu, ayah dan keluarganya tertangkap, disiksa dan dibunuh, hanya ibu yang tak dibunuh. Namun ibu dijadikan budak oleh salah seorang dari mereka, lidahnya dipotong supaya tak bisa melawan, oleh sebab itu ibu yak bisa bicara. Selama dua puluh tahun ibu hidup dalam kesengsaraan dan tekanan mental. Ia tak bisa melawan atau pun mencari bantuan.

Hingga akhirnya Ayah dan Ibu Nina membebaskannya setelah secara tak sengaja Ayah Nina menemukan Bu Maya di rumah sakit sedang dirawat.

Setelah Bu Maya dibebaskan, Ayah Nina menanggung semua biaya pengobatan hingga ia sembuh dan bisa dipertemukan denganku.


Aku menangis mendengar cerita itu, tak kusangka aku masih bisa bertemu dengan ibu kandungku lagi. Aku peluk erat. Ia mengenali selendang merah yang ku pakai, ia menunjuk-nunjuk pada selendang itu seakan-akan ingin mengatakan ini selendang yang ku berikan padamu dulu. Aku yakin Bu Maya adalah ibu kandungku. 

Kamis, 01 Januari 2015

Janjimu 15 Tahun Lalu

Pagi jam sepuluh aku dibangunkan oleh bunyi nada dering di handphone. Kulihat rupanya adikku yang menelpon. Adikku baru berumur lima belas tahun, ia giat berlatih sepakbola di tim sepakbola lokal di kampungku, mereka tiap hari latihan di sebuah lapangan, lapangan itu jugalah yang membesarkanku hingga jadi pemain sepakbola profesional. 

“Ada apa To?”

“Halo mas, ini Mas Bambang kan? Oya mas selamat ya tadi malam menang hehe.” Ucapnya membalas tanpa menghiraukan pertanyaanku.

“Oh iya Rinto makasih ya.” Aku menjawab sekenanya karena mata ini masih ngantuk.

“Mas kapan bisa ke sini? Cepat balik Mas, Pak Tino mau gusur lapangan kita, kalau lapangan itu digusur kami mau main di mana lagi, ndak ada lapangan yang bagus selain lapangan itu.”

sumber: istimewa

Seketika aku terkejut mendengar ucapan adikku. Aku setengah tak percaya mendengarnya, karena lapangan sepakbola yang kami cintai hendak digusur oleh Tino, salah seorang anggota DPRD di kota tempat tinggalku.

Setelah dapat penjelasan dari adikku, aku baru tahu, rupanya mereka hendak melakukan eksekusi lahan satu hari lagi, itu artinya besok! Setelah minta izin pada pelatih aku langsung menuju lapangan tersebut. jaraknya hanya tiga jam perjalanan darat.

Tino yang akan melakukan penggusuran itu adalah salah seorang anggota DPRD kota. Ia baru saja terpilih tiga lalu. Seingatku dulu ia berjanji akan meningkatkan perekonomian rakyat kecil dan memajukan olahraga dari tingkat kampung sekalipun.

Tino tak lain adalah temanku semenjak kecil, sejak SD hingga SMA kami selalu satu sekolah. Tiap sore kami selalu bermain sepakbola bersama teman-teman lainnya. Ditingkat SMA ia pernah membaca sebuah berita tentang berkurangnya jumlah lapangan sepakbola karena pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Ia merasa kesal pada pemerintah, maka semenjak itu ia mulai terobsesi untuk menjadi anggota DPRD agar bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil. 

“Kau tahu Bambang? Jika aku jadi anggota DPRD maka lapangan sepakbola tempat bermain anak-anak ini tak akan kubiarkan tergusur oleh pemerintah,” begitu janjinya yang masih terngiang dibenakku.

Namun janji itu sepertinya tak akan terwujud, setelah apa yang ku ketahui barusan. Selama diperjalankan aku coba mencari informasi tentang pembangunan apa yang hendak Tino lakukan di lapangan itu. Setelah sepuluh menit mencari, mataku berhenti pada salah satu situs pemerintah, situs itu menerangkan tentang proyek pembangunan supermall berlantai lima. Dijelaskan juga bahwa disekitar supermall itu akan dibangun pula perumahan elit lengkap dengan fasilitas penunjang lainnya.

Hati ku tertegun membaca informasi itu, bagaimana tidak. Dengan dibangunnya proyek itu bukan hanya lapangan sepakbola yang dikorbankan tetapi juga beberapa rumah penduduk yang telah bertahun-tahun menghuni daerah tersebut, walaupun di situs itu dijelaskan juga mengenai ganti rugi pembebasan lahan dan wilayah permukiman penduduk namun tetap saja aku tak mengerti apa yang dipikirkan oleh Tino dan anggota dewan terhormat itu sampai-sampai rela mengorbankan rumah penduduk di sana.

Pukul dua siang aku sampai di lapangan tersebut. Aku serasa bernostalgia melihat pemandangan di sana. Sekilas kulihat tak ada yang berubah dari lapangan tersebut, dua buah gawang berukuran lima kali dua meter masih terpasang di sana. Lapangan itu memiliki rumput hijau yang bagus, lapangannya datar. Orang kampung kami menyebutnya “Stadion Gelora Bung Karno-nya” kampung ini. Pandanganku ku arahkan ke segala penjuru lapangan, hingga mataku kembali terhenti pada sebuah papan pengumuman. Aku coba dekati papan itu karena terakhir kali aku ke sana lima tahun lalu papan itu belum ada.

Lapangan ini milik pemerintah kota dan akan digunakan sebagai lahan pembangunan supermall!
Begitu lah isi pengumuman yang  terpampang di sana. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat kali ini. Namun belum sempat aku mempercayai mataku, ku dengar dari kejauhan suara iringan mobil. Kulihat ada lima mobil mewah dan tiga mobil truk. Salah satu mobil mewah di sana meneriakkan pengumuman bahwa hari ini akan dilakukan pemasangan tanda pembatas dan garis tanda dilarang melintas.

Kulihat juga ada kerumunan massa yang mendekati iring-iringan mobil itu. mereka membawa spanduk bertuliskan Tolak penggusuran lahan! Salah seorangnya juga membawa pengeras suara. Ia dengan lantang meneriakkan penolakan masyarakat terhadap penggusuran lahan tersebut.

Iring-iringan mobil tersebut berhenti oleh aksi massa itu. Satu persatu orang di dalam mobil keluar dan mulai menampakan batang hidungnya. Pasukan pengaman pun  langsung membentuk barisan pelindung untuk berjaga-jaga mana tahu ada serangan dari massa.
Kulihat salah seorang keluar dari mobil paling belakang, ia keluar sambil berbicara melalui handphone-nya. Ia melepas kacamata hitamnya. Aku langsung mengingat sosok itu, kumisnya dan bekas luka di bawah matanya mengingatkanku pada satu orang, Ya itu lah Tino! Ini lah pertemuan pertama kami semenjak sepuluh tahun lalu.   

Massa langsung meneriakkan kata pengkhianat pada Tino, sebab ialah dalang di balik semua ini, ia warga asli daerah ini ia pula yang mengkhianati kepercayaan masyarakat. Tingkahnya angkuh sekali, ia tak merespon teriakan dari massa, alih-alih melihat pada sumber suara ia masih saja bertelepon ria sambil tertawa.

Tingkahnya membuatku muak, aku serasa ingin memukulnya, padahal kami dulu adalah sahabat karib. Langsung saja aku berlari menuju Tino bagaikan mengejar bola yang siap ditendang. Barisan pasukan pengaman langsung mengerubungiku, “Mau apa kau?” Tanya salah satunya.

Sontak massa yang dari tadi diam di tempat juga ikut berlari ke arahku. Massa mulai tak terkendali, pasukan pengaman mulai kewalahan menghadapi massa. Kerumunan itu berhasil membuat diriku terlepas dari hadangan pasukan pengaman. Aku langsung menuju Tino dan memakinya.

“Hei Tino apa yang kau lakukan, mengapa kau menggusur lapangan ini? kau tak punya hak sedikit pun untuk mengambil alih lapangan ini” ucapku.

Seketika ia kelabakan hingga handphone-nya terjatuh. Ia langsung memerintahkan salah satu pasukan pengaman untuk melindunginya dan menjauhkanku darinya. Ia sepertinya tak mengenaliku lagi. Beberapa menit kemudian polisi datang dan langsung memberikan tembakan peringatan. Massa langsung pontang-panting lari ke sana kemari, rupanya dari tadi Tino menghubungi polisi untuk mengamankan proses hari ini karena ia tahu hal ini akan terjadi.  

“Sialan kau Tino apa yang kau lakukan pada lapangan kita, apa kau sudah lupa janjimu lima belas tahun lalu?” Aku coba ingatkan dia pada janjinya dulu sembari aku digiring oleh salah satu pasukan pengaman menjauhi Tino.


Namun dengan wajah polosnya Tino hanya berucap, “Maaf Anda Siapa? Saya rasa Anda salah orang.” 
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com