Minggu, 15 Mei 2016

Nostalgia Sejenak dengan Senjata Tradisional di PRSU

Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) edisi 2016 kali ini memiliki spot baru yang sayang kali jika dilewatkan. Kali ini ada Pameran Senjata Tradisional Nusantara yang dihelat di Gedung Serbaguna PRSU selama satu minggu pada 18 sampai 24 Maret 2016.


            Memasuki salah satu ruangan di Gedung Serbaguna PRSU terdapat tiga puluh stelling berlapis kaca dan berhias kain songket atau tenunan dari berbagai daerah di Sumatera. Di dalam stelling kaca ini lah ratusan senjata tradisional milik beberapa kolektor dari seluruh Indonesia di pamerkan. Bermacam senjata tradisional ada di sana seperti keris, bedik, pedang, tombak dan loting (pemantik api).
            Bukan hanya itu saja, dinding ruangan yang dilapisi kain berwarna hijau dan kuning ini juga dipajang foto-foto berbagai macam keris, pedang dan beberapa tokoh-tokoh dari beberapa kerajaan yang terkenal di zaman kerajaan Indonesia dahulu.
            Aneka senjata tradisional yang dipamerkan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Aceh, Batak Karo, Pak-pak, Batak Toba, Deli, Riau, Palembang, Jawa, Yogyakarta, Solo, Mataram, Bali, Sumba, Kalimantan dan Bugis. Ada Keris Jawa, Keris Aceh, Bedik Melayu, Tombak Batak, dan Podang Batak Toba.

            Jimmy Azzarian, konsultan pameran bilang ada lebih dari tiga ratus senjata tradisional dari belasan kolektor senjata tradisional, salah satunya Rudi Oei yang sekaligus menjadi penggagas acara pameran senjata tradisional nusantara ini. “Ada juga senjata tradisional milik Raja Bali yang dipamerkan,” tambahnya.
            Jimmy juga bilang tujuan utama dilselenggarakannya pameran ini adalah untuk mengenalkan kembali pada masyarakat Indonesia khususnya Sumatera bahwa ternyata daerah-daerah di Sumatera punya beragam jenis senjata tradisional yang harus dilestarikan. Bahkan Jimmy menyatakan bahwa jenis senjata tradisional yang dimiliki oleh daerah-daerah di Sumatera jauh lebih beragam dibanding jenis senjata tradisional di daerah-daerah Jawa.
“Sayangnya sekarang  senjata-senjata tradisional miliki Indonesia sudah banyak yang berpindah tangan ke orang-orang kerajaan di Malaysia setelah mereka beli,” ungkap Jimmy.
            Pria asli Jawa ini menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sekarang sudah banyak yang melupakan dan kurang mengapresiasi kebudayaan milik sendiri salah satunya senjata-senjata tradisional. Bahkan menurutnya orang luar Indonesia seperti Malaysia dan Eropa jauh lebih mengapresiasi peninggalan bersejarah tersebut.

            Di dalam ruangan yang hampir seluas setengah lapangan bola tersebut bisa dijelajahi seluruh kekayaan budaya Indonesia. Bahkan dengan melihat kumpulan senjata-senjata tradisional yang dipamerkan serasa membawa kembali memori kejayaan masa-masa kerajaan Hindu-Budha di Indonesia beberapa abad silam. Puluhan pengunjung yang penasaran terus berdatangan untuk melihat secara langsung senjata tradisional yang dipamerkan.


            Ada juga beberapa keris yang dijual oleh si pemilik keris. Salah satunya Ma’run Singa. Pria asli Jawa Timur ini datang ke Medan untuk ikut memamerkan dan menjual koleksi keris dan senjata tradisional lain yang ia miliki. Kisaran harga yang ia tawarkan untuk keris paling murah adalah Rp 2 juta dan paling mahal Rp 10 juta tergantung kualitas keris dan lamanya usia keris tersebut. Ma’run bilang keris yang ia miliki adalah asli warisan turun-temurun dari keluarganya. “Walaupun warisan, sekarang sudah enggak masalah kok kerisnya dijual,” ungkapnya.

*Terbit di Medan Bisnis edisi minggu

Menantang Angin di Puncak Payo Rapuih

Pernah kah Anda merasakan hembusan angin yang kencang yang membuat Anda seakan-akan bisa diterbangkan oleh angin? Bukan dari wahana Roller Coaster atau pun Gondola, hembusan angin yang dimaksud adalah hembusan yang benar-benar berasal dari alam. Jika belum ada baiknya Anda mengunjungi Puncak Puncak Payo Rapuih atau Puncak Pusaran Angin. Bukan hanya hembusan angin, di puncak ini Anda akan disuguhkan bentangan Keindahan Danau singkarak.

            Puncak Payo Rapuih ini berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Padang, tepatnya berada di Jorong Payo Rapuih, Nagari Batipuah Baruah, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar di Provinsi Sumatera Barat. Oleh masyarakat sekitar, puncak ini disebut juga dengan Puncak Pusaran Angin. Puncak ini berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut atau 350 m dari permukaan Danau Singkarak.
            Lokasi ini dapat ditempuh dengan mudah, jika dari kota Padang bergeraklah ke arah kota Bukittinggi. Setibanya di kota Padangpanjang silakan berbelok menuju ke arah Danau Singkarak di Kabupaten Tanah Datar.  Selepas batas kota Padangpanjang dengan Kabupaten Tanah Datar berbelok ke arah jorong Gunuang Rajo. Dari sini Anda tinggal mengikuti jalanan beraspal yang cukup sempit dan bergelombang naik turun karena melewati daerah perbukitan.
            Selama perjalanan di jorong Gunuang Rajo, Anda akan disuguhkan pemandangan lembah dan sungai yang terbentang di bawah Anda. Di dasar lembah itu terhampar bentangan sawah milik masyarakat sekitar yang dihiasi tingginya beberapa pohon kelapa. Landscape Danau Singkarak terkadang mengintip di balik jajaran perbukitan.

            Berikutnya sekitar 5 kilometer terakhir jalanan akan menanjak terus hingga mencapai puncak Pusaran Angin. Jika berkendara dengan mobil harus ekstra hati-hati karena jalanan yang ditempuh adalah pendakian tajam nan sempit, untungnya jalanan sudah diaspal seluruhnya. Namun tidak ada salahnya juga jika ingin merasakan sensasi hiking dengan berjalan kaki sejauh 5 kilometer mendaki hingga sampai puncak.
            Di Sumatera Barat daerah ini terkenal dengan duriannya yang enak dan nikmat, sehingga tak heran jika di sisi kiri kanan jalan akan banyak muncul pohon durian. Beruntunglah jika berkunjung pada musim durian.    
            Jika Anda sudah melihat portal pembatas dan menemukan sebuah telaga, itu artinya Anda sudah dekat dengan tujuan Anda. Tersisa 500 meter lagi dari portal ini hingga ke puncak Pusaran Angin. Kawasan ini dikelola oleh warga sekitar sehingga tak heran jika belum ada fasilitas penunjang. Untuk masuk dikenakanan biaya Rp 5 ribu per sepeda motor.

            Sesampainya di puncak, terhampar luas pemandangan Danau Singkarak dari keseluruhan sisinya. Nampak danau seluas 12 ribu hektare ini dikelilingi sawah-sawah hijau dan untaian perbukitan yang kokoh. Terlihat juga kapal-kapal wisata dan kapal-kapal nelayan melintasi permukaan danau. Bukan hanya itu, Anda juga bisa menyaksikan gagahnya Gunung Marapi dan Gunung Singgalang di sisi utara. Puncak ini juga sering dijadikan sebagai titik start atau landasan pacu bagi pencinta olahraga paralayang.
            Dan, tentu saja yang membuat puncak ini berbeda dari puncak lainnya adalah kencangnya hembusan angin yang terjadi di puncak. Bahkan hembusan anginnya menimbulkan bunyi-bunyian yang seakan berlomba dengan suara manusia untuk menunjukkan suara siapa yang paling keras. Hembusan angin tersebut serasa berputar dan tidak pernah berhenti, oleh karenanya puncak ini lebih terkenal dengan Puncak Pusaran Angin.
            Karena hembusan angin itu pula maka area ini terasa begitu sejuk. Walaupun siang hari ketika matahari sedang terik tak akan terasa panas. Area puncak juga masih alami dan bersih, ditumbuhi rumput-rumput yang tebal. Dengan pemandangan dan suasana yang seperti itu dijamin siapapun bakal terpikat dan akan lebih menikmati makanan apapun yang mereka bawa untuk dijadikan bekal. Tak heran banyak pengunjung yang datang untuk menikmati suasana di puncak setiap harinya, terlebih lagi ketika hari libur.


            Area puncak ini juga luas, Anda bahkan bisa membawa sepeda motor atau mobil ke area puncak ini, namun tentu saja harus berhati-hati karena tidak ada pembatas jalan. Area ini sebenarnya sudah dikenal lama, namun hanya dikelola oleh warga sekitar. Tidak ada tanda-tanda sentuhan pemerintah di area ini. Sepintas area ini bukan seperti area wisata karena ketiadaan pengelolaan yang profesional dari pemerintah atau pihak swasta. Padahal potensinya tidak kalah dengan Puncak Lawang yang berada di Puncak Danau Maninjau Kabupaten Agam.

*Terbit di Medan Bisnis Edisi Minggu

Kamis, 17 Maret 2016

Gita Adinda Nasution, Sang Penemu Kolagit, Herbal dan Kepedulian pada Masyarakat

“Saya selalu merasa sedih dan bersalah ketika pergi ke luar kota untuk menghadiri undangan atau pun keperluan lain. Saya sedih, karena untuk sementara waktu saya tidak bisa bertemu dengan pasien yang ingin berkonsultasi dan berobat. Untungnya saya punya tim yang ikut membantu saya untuk mengobati pasien,” –Gita Adinda Nasution-
Saat itu Gita sedang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Dokter menyatakan bahwa ayahnya menderita diabetes. Ia merasa sedih melihat keadaan ayahnya saat itu. Bisa dibilang kesehatan ayahnya menurun drastis, untuk berjalan ayahnya harus dibantu dan berpegangan pada dinding, bahkan penglihatan ayahnya pun mulai kabur.
Sejak itu timbul keinginan di hatinya untuk mengembalikan kesehatan ayahnya. Ia mulai bereksperimen dengan obat-obatan herbal. Ia baca semua buku-buku tentang kesehatan dan obat-obatan herbal di perpustakaan sekolahnya. Ia pun mulai coba berbagai macam bahan-bahan alami untuk dijadikan obat seperti buah Mengkudu. Namun di saat ia duduk di bangku kelas tiga SMP barulah eksperimennya mulai menunjukkan hasil.

Saat itu ia mendapatkan ide dari penyembuhan penyakit polio yang bisa disembuhkan dengan vaksin polio. Ia lantas berpikir mungkin saja penyakit diabetes bisa disembuhkan dengan vaksin yang terbuat dari gula. Maka saat itu ia mulai fokus mencoba meramu berbagai bahan yang mengandung glukosa atau gula. Hingga suatu saat ia meracik obat dari tebu. Ramuan ini lah yang kemudian dinamai dengan Kopi Gula Gita atau Kolagit.
Setelah ia coba pada diri sendiri, obat itu ia minumkan pada ayahnya. Usahanya membuahkan hasil, kesehatan ayahnya sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan yang positif. Ayahnya mulai bisa berjalan normal dan tidak memiliki pantangan untuk makan apapun lagi. Puncaknya pada tahun 2012 ayahnya dinyatakan bebas dari penyakit diabetes, gula darah ayahnya mulai normal.
Di tahun yang sama anak ketiga dari empat bersaudara ini diterima sebagai mahasiswi di jurusan Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU. Setahun sebelum itu Kolagit hasil temuannya mulai di analisis dan diuji di laboratorium Fakultas Farmasi. Hasil uji kala itu sangat menggembirakan, Kolagit terbukti bisa menyembuhkan penyakit gula darah atau diabetes. Maka sejak saat itu dan sejak kesembuhan ayahnya ia merasa terpanggil untuk mengabdikan ilmu yang ia dapat pada masyarakat luas dengan cara memberikan konsultasi kesehatan dan penjualan kolagit dengan harga yang sangat terjangkau.
Peluang untuk menjual Kolagit terbuka sangat lebar, bahkan ada tawaran untuk berwirausaha dan memasarkan kolagit dalam jumlah besar. Namun tawaran itu tak langsung ia terima, ia lebih memilih mengolah sendiri dan memasarkan kolagit dengan caranya sendiri karena menurutnya kalau nanti kolagitnya mulai laku keras dipasaran maka harga kolagit akan melambung sangat tinggi. Ia takut kalau kolagit tidak bisa dijangkau oleh masyarakat yang berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah. Padahal cita-cita terbesarnya saat itu adalah ingin mengabdikan ilmunya pada masyarakat.
“Kami di sini fokusnya gak ke komersil, di sini kami fokusnya gimana caranya pasien sehat. Kalaupun ia tak konsumsi Kolagit, selama ia mau konsumsi herbal dan semangat berobat maka insya Allah kami akan bantu ia untuk konsultasi kesehatan dan konsumsi obat-obatan herbal lainnya,” terang Gita.
Misi lain yang ingin ia capai adalah ia ingin memperbaiki kembali citra herbal sebagai obata-obatan yang jauh lebih aman. Ia ingin agar masyarakat lebih mengenal herbal sebagai obat-obatan dan jauh lebih aman dibanding obat-obatan kimia. Karena ia bilang beberapa waktu lalu sempat ada oknum nakal yang mencampurkan bahan-bahan kimia sintetis pada obat-obatan herbal sehingga timbul keresahan di masyarakat. “Herbal itu insya Allah aman, herbal lah sebenarnya obat terapi bukan obat alternative,” tegasnya.
“Herbal itu multifungsi bukan hanya sebagai obat ia juga berfungsi sebagai suplemen bagi orang-orang yang sehat,” tambahnya.
 Gadis yang sedang disibukkan dengan tugas akhir ini hingga kini masih terus melayani pasien untuk konsultasi seputar kesehatan dan pengobatan diabetes.  Setiap hari mulai dari pukul delapan pagi hingga lima sore dan delapan malam hingga sepuluh malam ia dibantu timnya siap melayani pasien yang ingin berobat atau sekedar berkonsultasi seputar kesehatan. Hal itu ia lakukan karena ia merasa terpanggil untuk mengabdi kepada masyarakat setelah ia berhasil menemukan kolagit yang kemudian ia gunakan untuk mengobati penyakit ayahnya.
Tim yang membantunya ia bentuk pada 2014 lalu. Ia mengaku menerima siapapun yang mau bekerja untuk menjadi timnya tanpa memandang lulusan darimana ia berasal. Gita membentuk tim kerjanya berdasarkan kebutuhan dan tidak membutuhkan ijazah atau pun sertifikat khusus, karena ia ingin memberi kesempatan pada orang-orang yang benar-benar butuh pekerjaan dan memiliki kemauan keras untuk bekerja. “Kita harus beri peluang dan kesempatan pada mereka, kalau memang punya skill kenapa tidak,” terangnya.
Baginya jika setiap orang terus-terusan kasih kesempatan pada orang-orang yang berijazah dan berpendidikan maka mereka yang kurang beruntung mengenyam pendidikan akan mengalami krisis kepercayaan dan berakibat pada semakin tingginya angka penggangguran dan kriminalitas. “Orang terlalu fokus pada ijazah dan sertifikat padahal setiap orang punya skill dan keahlian khusus masing-masing,” ungkapnya.
Namun untuk profesi apoteker menurutnya harus lah berijazah dan bersertifikat karena untuk apoteker memang butuh orang-orang yang benar-benar ahli supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu ia juga sedang mengurus perizinan dan registrasi kolagit sebagai obat di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Saat ini proses perizinannya sudah masuk tahap pelengkapan berkas-berkas yang diperlukan.
Ia dan timnya juga menerima konsultasi seputar permasalahan kesehatan yang ia terima di rumahnya. Konsultasi yang ia maksud adalah lebih ke pendekatan psikologi, pendekatan secara diskusi dan diagnosa fisik pada pasien. Diagnosa fisik adalah cara untuk mengetahui penyakit seseorang lewat bercerita dan diskusi mengenai keluhan apa yang dirasakan oleh si pasien tersebut. Menurutnya hal ini penting karena yang sakit akan lebih tahu dengan kondisi fisiknya sendiri ketimbang orang lain, dari diskusi dan sharing itu akan muncul kata kunci yang mengarahkan pada apa yang diderita si pasien. “Setahu saya dari dulu sampai sekarang ahli medis selalu mengutamakan komunikasi dan konsultasi,” ungkap Gita.
Sistem seperti itulah yang coba ia dan timnya terapkan untuk mengarahkan dan mengatasi berbagai keluhan yang disampaikan pasien yang datang padanya.
Keluarga dan sahabat menjadi sumber motivasi terbesar bagi dirinya untuk terus berkembang dan mengabdi pada masyarakat. Ia mengaku kenapa ia mau membuka konsultasi kesehatan dan tetap menjaga kolagit agar tetap terjangkau masyarakat adalah untuk orang tuanya dan juga karena kata-kata dari orang tuanya. Orang tuanya selalu mengatakan padanya agar ia menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain.
“Kalau minta sama Allah jangan minta banyak duit, minta untuk dicukupkan aja. Kita boleh minta kaya tapi kaya akan hati bukan kaya dengan sesuatu hal yang terukur, kekayaan adalah perjuangan hati bukan dalam hal materi yang terukur,” katanya menirukan pesan ibunya.
Hal ini itulah yang selalu memotivasinya untuk selalu menjadi pribadi yang berguna bagi masyarakat, di lain sisi ia juga ingin menunjukkan rasa syukur pada Tuhan karena telah diberikan kesembuhan pada ayahnya.
Sahabat dan teman-teman terdekatnya juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya. Ia mengaku sahabat dan teman-temannya selalu dengan senang hati membantunya dalam berbagai hal seperti membantu persiapannya dalam menghadiri pameran dan berbagai kegiatan lainnya. Bukan hanya itu, karena kesibukannya menghadiri undangan dari luar kota ia sering tak bisa hadir diproses perkuliahan dan otomatis ia ketinggalan materi perkuliahan, maka untuk mengejar ketertinggalan tersebut ada saja temannya yang memberikan materi kuliah dan membantunya menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang banyak. Ia bersyukur selalu dikelilingi oleh orang-orang yang baik.
Banyak penghargaan yang ia dapatkan dari pemerintah dan organisasi organisasi lainnya. Ia pernah mendapat penghargaan sebagai juara pertama dalam pemuda pelopor berprestasi tingkat nasional pada 2015 lalu oleh Menteri Pemuda dan Olahraga. Lemarinya penuh dengan berbagai piala dan sertifikat penghargaan. Namun penghargaan yang paling berkesan baginya adalah ketika ia mendapatkan kepecayaan dari masyarakat, “Betapa bahagianya ketika kita dipercaya masyarakat untuk mengobati mereka dan nikmatnya sangat berbeda ketimbang mendapatkan penghargaan apapun,” ungkapnya.

Rabu, 16 Maret 2016

Sensasi Ketenangan dari Alaminya Negeri Suah

Hamparan sawah hijau terbentang luas di lembah itu. Di pertengahan sawah tersebut mengalir  sungai yang jernih, saya turun untuk mencoba airnya, ternyata sejuk. Beberapa pohon kelapa berbaris rapi di pematang sawah, dari kejauhan terlihat bukit-bukit yang dengan kokoh mengawal lembah ini dari pengaruh luar.
            
            Dari Sibolangit di Desa Bandar Baru kami berbelok ke arah kiri menelusuri jauh ke dalam pasar yang selalu ramai. Jalanan yang awalnya aspal tiba-tiba berubah menjadi susunan paving block yang cukup rapi. Hingga akhirnya kami menemukan kembali jalanan beraspal namun terdapat tanjakan dan turunan tajam yang diselingi lubang-lubang di sisi kiri-kanan jalan.
            Setelah satu jam lebih berkendara dari Bandar Baru kami belok kanan di sebuah pertigaan dan seketika jalanan yang awalnya beraspal berubah tanah dan kerikil. Namun ada juga jalanan yang disemen membentuk dua jalur yang masing-masing selebar sepeda motor. Dari sini jalanan semakin menanjak, saat itu juga kami harus hati-hati berkendara karena sempitnya jalan dan licin karena saat itu baru saja hujan.
            Semakin jauh kami menemukan beberapa rumah panggung yang masih tradisional. Suasananya juga sepi, tak banyak penduduk yang berada di luar rumah. Ada pun itu hanya beberapa orang yang sudah tua dan anak-anak kecil seumuran sekolah dasar. Kami berhenti di sebuah teras beratap milik sebuah rumah panggung. Pemiliknya mempersilakan kami untuk parkir di sana. Kami putuskan untuk memarkir sepeda motor di sana karena perjalanan berikutnya hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.
            Setelahnya kami berjalan menyusuri jalan setapak melewati hutan kecil menuruni lereng bukit. Tak jauh kami berjalan, hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari lokasi parkir kami sudah menemukan sebuah air terjun yang menuruni lereng yang landai. Kemiringan lereng tersebut sekilas mirip air terjun Mursala bedanya air terjun ini tidak langsung ke laut, tapi ke sungai. Air terjun tersebut oleh masyarakat sekitar disebut dengan Sempuren Suah atau Air Terjun Suah.
            Sensasi dinginnya air terjun bisa dinikmati jika menuruni terus hingga ke dasar air terjun. Karena lerengnya landai maka airnya jatuh tidak terlalu deras. Dari sini pun mulai terlihat pemandangan lembah yang menghijau karena dipenuhi sawah. Air sungai seakan membagi lembah tersebut menjadi dua sisi. Arus sungainya lumayan deras dan terlihat dalam hingga ke dasar.
 
             Suasananya begitu tenang, alami dan asri. Tidak ada suara hiruk pikuk kendaraan seperti di perkotaan, yang ada hanya suara angin, aliran air sungai dan kicauan burung-burung pemakan biji-bijian. Seolah kami berada di tempat lain, jauh dari teknologi dan modernitas, perbukitan hijau di sekeliling sawah seakan menjaga kealamian Desa Negeri Suah ini. Di sisi sungai yang berbatu kami mulai membuka bekal makan siang dan menikmati makan dengan lahapnya. Sepertinya ada pengaruh keindahan alam dengan nikmatnya santapan makan siang.
            Puas menyusuri sungai dan sawah kami bergerak ke arah hulu sungai. Kami hendak menuju sungai dua rasa, disebut dua rasa karena dalam satu sungai tersebut bertemu  aliran air yang memiliki dua suhu yang berbeda, panas dan dingin. Untuk mencapai sungai itu kami harus memutari lokasi parkir sepeda motor tadi. Perjalanan menuju sungai dua rasa didominasi jalan setapak yang ditumbuhi ilalang-ilalang di sisi kanan-kirinya. Sesekali ada beberapa jalan setapak yang becek.
            Tak sampai setengah jam kami sampai di sungai yang dimaksud. Aliran airnya masih deras namun sudah mulai dangkal, setinggi lutut hingga paha orang dewasa. Namun begitu masih ada beberapa sisi sungai yang dalam. Cukup sulit untuk menjelajah sungai karena jalan setapak di pinggir sungai tidak mengikuti aliran sungai, jika terus diikuti malah masuk ke hutan.
            Suhu air sungai di tempat kami berdiri masih dingin, namun sudah tercium bau belerang. Jika diperhatikan secara seksama kita akan melihat sedikit asap yang mengepul dari sisi sungai yang lain. Kami coba menyebrangi sungai karena air sungai yang bersuhu panas tersebut tidak bisa ditempuh pada sisi yang sama. Semakin dekat dengan sumber asap tersebut semakin jelaslah bahwa asap tersebut berasal dari sebuah kawah kecil, air sungai pun sudah mulai terasa panas. Namun karena arus sungai yang deras dan sungai yang semakin dalam kami hanya bisa memandang dari jauh kawah tersebut.


            Puas bermain air di sungai kami kembali ke lokasi parkir sepeda motor untuk kembali pulang. Suasana tenang, kesejukan dan kenyamanan yang dihadirkan di desa ini membuat siapa saja akan merasa betah untuk berada di Desa Negeri Suah. Apalagi untuk mendapatkan ketenangan tersebut tidak perlu pergi jauh dan mengeluarkan biaya yang banyak. Cukup pergi saja ke Sibolangit dan kunjungi Desa Negeri Suah.   

Senin, 15 Februari 2016

Perjalanan Spiritual di Tanah Suci Batak

Gunung Pusuk Buhit di Kecamatan Sianjur Mula Mula Kabupaten Samosir dianggap keramat oleh masyarakat Batak. Dipercayai di Gunung ini lah asal mula suku Batak lahir dan berkembang. Saking keramatnya banyak calon-calon pejabat di Indonesia yang datang guna berdoa dan memohon ridho untuk maju dipilkada. Bagaimana rasanya mendaki di gunung keramat ini?

Danau Toba dari puncak Pusuk Buhit
             Libur panjang akhir tahun lalu saya bersama delapan teman lainnya berkesempatan untuk mendaki Gunung Pusuk Buhit yang memiliki ketinggian sekitar 1900 mdpl. Kami berangkat dari Medan Rabu tengah malam menggunakan angkutan umum menuju Parapat. Esok paginya setelah sarapan, kami menyeberang ke Tomok dengan kapal penyeberangan yang sudah menunggu. Sesampainya di Tomok kami harus naik kendaraan lagi selama dua jam menuju Sianjur Mula-Mula menggunakan angkot yang telah kami booking sebelumnya.
            Jalur yang kami tempuh itu bukanlah satu-satunya jalur menuju Pusuk Buhit karena kita juga bisa mencapai Sianjur Mula-Mula via Berastagi-Kabanjahe-Sidikalang melewati Puncak Tele dan berakhir di Sianjur Mula-Mula.
Desa Batu Hobon

            Pendakian dimulai dari Desa Batu Hobon di Kecamatan Sianjur Mula-Mula dari sini kami sudah terpesona oleh pemandangan indah desa di kaki Gunung Pusuk Buhit ini. Betapa tidak, kami disuguhkan oleh hijaunya persawahan milik warga yang diselingi oleh beberapa ladang. Danau Toba mengintip dari sisi kanan jika kita melihat ke bawah. Yang tak kalah cantiknya adalah rangkaian perbukitan hijau yang memanjakan mata yang seolah-olah berlomba menunjukkan bukit mana yang tertinggi. Bukit tersebut ditumbuhi ilalang subur dan sedikit pohon Pinus, di sela-sela bukitnya mengalir banyak air terjun yang semakin membuat indahnya pemandangan. Suhu udara pun tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan inilah potongan surga yang sengaja Tuhan jatuhkan ke Bumi.
            Dari sini terdapat Sopo Tatea Bulan yaitu deretan sebuah pendopo yang berisi patung-patung keturunan Si Raja Batak, ada juga museum Toba Geopark Kaldera yang gedung fisiknya sudah rampung namun masih menunggu kelengkapan alat dan fasilitas lainnya agar bisa dibuka.
Jalur  pendakian

            Kami melanjutkan pendakian, menurut salah seorang rekan saya yang sudah pernah naik ke Pusuk Buhit pendakian akan memakan waktu 5 jam. Kami mulai mendaki pukul setengah dua belas siang. Jalur pendakian terbagi dua, ada jalur yang berkelok-kelok dengan pendakian yang landai, kemudian ada juga jalur memotong dengan pendakian yang tajam menembus ilalang-ilalang setinggi tubuh orang dewasa. Jika kuat mendaki jalur memotong adalah pilihan terbaik agar bisa cepat sampai ke puncak. Semakin jauh ke atas semakin bagus pemandangan yang muncul.
            Pukul empat sore kami tiba di sebuah dataran yang lumayan landai. Dataran ini cukup luas terdapat sebuah lapangan yang disemen seluas lapangan basket. Tak jauh dari situ terdapat sebuah altar dengan batu besar tempat pelaksanaan upacara adat dan keagamaan suku Batak. Tentunya agama asli Suku Batak yaitu Agama Malim atau yang dikenal dengan Parmalim. Sayangnya tempat itu sudah ditumbuhi ilalang-ilalang tinggi sehingga terkesan tempatnya tak terurus.
            Dari sini menuju puncak tinggal satu jam lagi namun kami memutuskan untuk menginap satu malam sembari memasak bekal dan memulihkan energi kembali. Di sini terdapat sumber mata air sehingga kebutuhan air para pendaki bisa terpenuhi.

            Kami menunggu malam pergantian tahun bersama pendaki lain di area camping ini. Sore itu hanya ada 6 tenda (termasuk 2 tenda kami) yang berdiri, namun menjelang malam pendaki lainnya mulai menyusul. Di area camping ini puncak Pusuk Buhit mulai nampak, sekilas kami melihat ada tenda yang berdiri di puncak. Memasuki detik-detik pergantian tahun kami dan beberapa pendaki lain ada yang membawa kembang api dan petasan, tak ayal seketika suasana menjadi riuh karena suara-suara petasan dan kembang api tersebut kami pun saling mengucapkan selamat tahun baru.
            Esok paginya setelah sarapan kami bersiap hendak menuju puncak. Jalur pendakian masih sama didominasi oleh ilalang yang tumbuh subur setinggi tubuh orang dewasa. Kami sampai di puncak Pusuk Buhit setelah satu jam mendaki. Pemandangan luar biasa indah membentang dihadapan kami. Kami bisa melihat setengah dari keseluruhan Danau Toba dari sisi Utara hingga sisi Selatan, kami juga bisa melihat setengah sisi Pulau Samosir, awan menggantung dan kabut tipis menghiasi indahnya biru air Danau Toba. Pohon Pinus yang banyak tumbuh mengeluarkan bunyi layaknya hujan yang turun deras ketika disapa angin. Kami juga menemukan Parsaktian (tempat peribadatan) dan Bendera Batak yang disandingkan dengan bendera merah putih.
            Kami kembali mendirikan tenda dan menginap satu malam di puncak. Kami juga bertemu dengan pendaki lain yang sudah mendirikan tenda di sana. Tak mau ketinggalan pendaki lain turut menyusul kami ke puncak.
            Menjelang sore kabut awan mulai turun, suhu udara menjadi sangat dingin. Kabut turun membawa tetesan embun, angin yang berhembus membuat cuaca seolah-olah hujan kami berlindung di dalam tenda. Keadaan tersebut terus bertahan hingga esok paginya. Karena itu pula kami tak bisa memasak makan malam.            
Parsaktian di Puncak Pusuk Buhit

            Setelah satu malam bertahan di tenda, esok paginya kabut mulai berkurang sedikit, kami bisa menikmati indahnya matahari terbit dari sisi timur Danau Toba sembari memasak sarapan. Kami tak lupa untuk mengabadikan indahnya momen tersebut. Pukul sepuluh pagi kami bersiap untuk turun dari Gunung keramat ini. Semua kenangan indah yang diberikan alam dan Gunung ini akan selalu membekas di memori kami semua.


Harus Menjaga Perilaku dan Sopan Santun
Selama perjalanan pendakian dan berkegiatan di Pusuk Buhit ini para pendaki diwanti-wanti untuk tetap menjaga tingkah laku dan kesucian gunung. Pendaki dilarang berkata kotor, bertindak vandalisme dan perbuatan asusila. Untuk mengambil air di sumber mata air juga harus permisi dulu. Masyarakat sekitar dan Suku Batak umumnya mengganggap Gunung ini sebagai tempat keramat.
Kejadian yang tak akan kami lupakan terjadi saat hari kedua kami di Pusuk Buhit. Saat itu kami tengah bersiap membersihkan tenda setelah sarapan di area camping ground. Kami hendak berangkat menuju puncak.

Saat itu datang beberapa penduduk sekitar, mereka didominasi oleh wanita-wanita tua dan beberapa anak-anak yang masih belia, kami memanggilnya ompung. Kalau dilihat dari arah datangnya mereka habis menuruni puncak Pusuk Buhit, mereka baru saja beribadah di Puncak. Salah seorang diantaranya berbicara dalam bahasa Batak pada beberapa pendaki, dari kalimat yang disampaikan oleh si penerjemah terlihat si Ompung sedang marah dan kesal pada beberapa pendaki. Ia marah karena ada oknum pendaki buang air besar disumber mata air yang ia miliki. “Jangan kau kotori airku, kalau mau BAB cari tempat jauh-jauh dan kubur di dalam tanah,” begitu kata si Ompung jika diterjemahkan.
Ia juga mendatangi kelompok pendaki lainnya memberikan nasehat-nasehat, inti nasehat itu adalah jangan berbuat sembarangan di Pusuk Buhit ini. Misalnya berkata kotor atau mengotori alam bahkan berbuat asusila. Masyarakat sekitar menganggap gunung tersebut sebagai tempat suci dan tempat beribadah sehingga harus dijaga kesucian dan kebersihannya. “Jangan sampai kubuat gila kau nanti ya,” tambah si Ompung yang kemudian diterjemahkan oleh beberapa orang yang mendampinginya,
            Ternyata kejadian itu bukan hanya dialami oleh kami yang di camping ground saja. Di tengah perjalanan kami menuju puncak Pusuk Buhit kami berpapasan dengan pendaki lain yang hendak turun dari puncak. Mereka memperingatkan kami agar tidak usah ke atas bahkan jangan mendirikan tenda. Sebab mereka juga sempat dimarahi oleh ompung yang sama. Menurut mereka, ompung tersebut marah karena sampah pendaki berserakan dan tempat peribadatan mereka menjadi kotor akibat ulah pendaki yang tidak bertanggung jawab. “Turun kalian semua, kalau tidak hal aneh akan terjadi pada kalian,” ucap salah seorang dari mereka menirukan ucapan sang Ompung.
            Setelah berdiskusi kami pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan tentunya kami harus minta izin pada beberapa masyarakat yang masih berada di sana, jika tak diizinkan menginap paling tidak kami bisa mengambil beberapa foto. Niat baik kami ternyata diterima, beberapa orang yang baru saja selesai beribadah membolehkan kami untuk menginap dengan syarat tetap menjaga kebersihan, tidak mengganggu bahan sesajian dan tidak berbuat yang tidak-tidak.
Danau Toba di pagi hari

            Keramatnya gunung ini juga terlihat dari banyaknya sesajian yang diantarkan oleh penduduk sekitar. Diperjalanan pulang kami melihat masih banyak penduduk yang ingin mendaki sambil membawa beberapa ekor ayam putih dan beberapa sesajian lainnya. Beberapa rekan sependakian pun menuturkan para pejabat yang hendak maju pada pilkada juga banyak yang memohon doa di gunung ini.
            Juru kunci Aek Sipitu Dai, yang akrab disapa Bapak Sagala menuturkan bahwa jika ingin mendaki hendaknya bawa 7 lembar daun sirih yang kemudian diletakkan pada parsaktian. Menurutnya manfaat dari hal tersebut adalah menjaga keamanan dan perdamaian dengan Ompung yang tinggal di Puncak Pusuk Buhit. “Paling tidak kita menghargai walaupun kita tidak mempercayainya,” ucap Bapak Sagala.     


*Tulisan ini terbit di Harian Medan Bisnis edisi Minggu

Selasa, 02 Februari 2016

Sipiso-piso Bukan Hanya Air Terjun

Apa yang terbayang dipikiran Anda ketika mendengar kata Sipiso-piso? Pastinya adalah salah satu air terjun yang tertinggi di Sumatera Utara dan bahkan di Indonesia. Namun ternyata Sipiso-piso bukan saja menawarkan keanggunan dan dinginnya air terjun saja, Sipiso-piso juga menawarkan pemandangan indah Danau Toba, bukit, dan gunung lain dari ketinggian 1900 mdpl. Pemandangan tersebut bisa dinikmati dari puncak Bukit Sipiso-piso.

Untuk mencapai Bukit Sipiso-piso tidaklah susah, perjalanan dari Medan menuju Kabanjahe dan berhenti di obyek wisata Air Terjun Sipiso-piso di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Rute tersebut bisa ditempuh selama 2 hingga 3 jam. Pendaki punya dua cara untuk mendaki bukit ini. Bagi yang ingin menikmati sensasi mendaki gunung bisa menaiki bukit dengan berjalan kaki, total waktu tempuh mendaki adalah dua jam. Namun jika punya nyali dan suka tantangan pendaki bisa membawa sepeda motornya menaiki tanjakan-tanjakan tajam.



 Jalanan menuju puncak tidaklah susah, hampir sebagian besar jalan sudah diaspal dengan lebar jalan dua hingga tiga meter, namun begitu harus tetap berhati-hati karena kemiringan jalan sekitar 45 hingga 60 derajat, oleh karenanya pastikan sepeda motor Anda kuat untuk mendaki. Jalur pendakian juga berkelok-kelok persis pendakian di jalanan Sibolangit-Berastagi, bedanya jalur Sipiso-piso jauh lebih sempit dan ditemani pemandangan yang lebih indah.
Jika telah sampai di Puncak, pendaki akan disuguhkan dengan pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir yang dihiasi dengan awan-awan tipis bagaikan kapas di atasnya. Sensasinya serasa berada di Negeri di Atas Awan. Pusuk buhit pun keliatan dari sini, pun lagi Gunung Sibuatan. Dari Puncak kita juga bisa melihat sedikit puncak dari Air Terjun Sipiso-piso sehingga kita bisa tahu darimana aliran air terjunnya. Kita juga bisa melihat jalanan menuju Desa Tongging di bawah sana. Semilir angin membuat udara di puncak terasa sejuk.

Keadaan di Puncak Sipiso-piso tidak berbeda dengan bukit-bukit lainnya. Banyak juga pendaki yang memasang tenda dan memilih bermalam demi menanti sunrise esok paginya. Pohon-pohon dan ilalang tumbuh subur, ada juga dua pendopo kecil yang penuh coretan dan terkesan tak terawat. Sudah dua bulan ini ada yang menyediakan jasa mengangkut air dari bawah untuk kebutuhan buang air bagi pendaki. Oleh karenanya pendaki akan diminta membayar Rp 7 ribu perkepala sebagai upah jasa membawa air dan uang kebersihan.

Di puncak ini juga ada tapal batas dua kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun.

Jika ingin menginap di atas lebih baik memulai pendakian pada malam hari karena persediaan makanan dan air yang sedikit, namun jika hanya sekedar hiking dan menikmati pemandangan dari atas lebih baik mendaki dipagi hari. Dan saya pun menikmati suasana di Puncak Bukit Sipiso-piso yang damai dan tentram jauh dari hiruk-pikuk kota besar. 

Air Terjun Nan Alami, Air Terjun Pelangi Indah

Ini bisa jadi tujuan wisata bagi pecinta alam. Namanya Air Terjun Pelangi Indah. Ia masih alami, belum banyak dimodifikasi.

Air terjun alami nan tersembunyi , begitu kesan yang akan muncul ketika berkunjung ke sini. Ia berada dekat sekali dengan Danau Linting hanya berjarak sepuluh kilometer, atau lima belas menit jika berkendara.
Jika ingin berkunjung ke air terjun ini haruslah rajin bertanya pada penduduk sekitar. Sebab belum banyak papan penanda yang menunjukkan keberadaan air terjun ini. Tiga ratus meter jelang air terjun jalanan belumlah beraspal, hanya tanah dan kerikil pun cuma muat dilalui untuk satu mobi saja.
Sesampai dilokasi air terjun belum langsung nampak,gemuruh air pun belum terdengar. Hanya ada sebuah pondok beratap daun kelapa dan bertiang kayu, ada empat sepeda motor yang diparkir, juga ada warung minuman dan makanan ringan.

Namun di samping pondok itu ada susunan anak tangga yang seakan memandu untuk menuruni sebuah lembah. Selang beberapa detik kemudian muncul empat orang tengah ngos-ngosan setelah menaikinya. Oh! Rupanya Air Terjun Pelangi Indah ada di bawah sana.

Semakin menuruni anak tangga semakin terdengar gemuruh air, semakin terasa juga udara sejuk khas pegunungan. Tempat ini benar-benar masih alami, hanya ada susunan anak tangga yang sengaja disemen untuk membantu menuruni lembah itu. Di sekeliling hanya ada hutan, perbukitan dan tebing batu, semua masih asri. Terlihat beberapa penduduk sekitar yang baru saja selesai mencuci di bawah air terjun.
Sesampainya di bawah tampaklah rupa air terjunnya. Rupanya air terjun ini terbentuk dari susunan batu secara alamiah, ada dua air terjun setinggi sepuluh meter. Banyak tumpukan batu-batu yang berukuran besar disekitarnya, air terjun pun jatuh melintasi batuan yang terbesar.
Karena terbentuk dari susunan batu, ada sebuah celah dibawah air terjun. Cukup luas untuk duduk di bawahnya. Dasar air terjun tidaklah dalam seperti Air Terjun Dwi Warna di Sibolangit. Karenanya pengunjung bisa bebas menjelajahi area seputaran air terjun. Tampak pula di antara batu-batu besar itu tumbuh tanaman dan lumut. Air yang sejuk dan dingin terasa sayang jika tak sempatkan untuk mandi.

Beberapa pengunjung terlihat berfoto di atas air terjun. Rupanya di pertengahan anak tangga tadi ada jalan kecil menuju bagian atas air terjun. Tiba di atas air terjun terlihat pemandangan lain, ada begitu banyak tumpukan batu yang tersusun alami. Batu pipih yang tersusun dari empat sampai lima batu, hadir pula pohon mati yang bertumpuk di atasnya. Ada juga batu yang ditumbuhi lumut serta daun-daun yang bejatuhan dari pohon yang tumbuh di sekitar menambah kesan alaminya tempat ini.

Semakin dijelajahi, tempat ini semakin menunjukkan kealamian dan pesona tersembunyinya. Jika terus bergerak ke atas, akan ditemukan sebuah tempat yang begitu unik, kesan yang ditimbulkan serasa berada di tempat lain. Ada lembah sungai yang diapit tebing batu setinggi dua puluh meter dengan lebar lembah lima hingga tujuh meter. Batu yang berada di tebing tadi masih setipe dengan batu-batu yang tadi ditemui.

Tebing batunya seakan membentuk sebuah relief karena gelombang-gelombang yang dimilikinya. Airnya mengalir tenang, dasar sungainya pasir, jika diinjak akan menghisap kaki, sehingga harus hati hati untuk memilih tempat berpijak. Sungainya masih panjang berkelok-kelok hingga beberapa meter ke depan. Sekilas di sini mirip Ngarai Sianok di Bukittinggi, bedanya tempat ini lebih mini dan tebingnya terbuat dari batu.
Suasananya begitu damai dan tenang. Tak ada hiruk pikuk kendaraan bermotor, tak ada suara orang, yang ada hanya kicauan burung. Sangat cocok untuk relaksasi dan dan melupakan sejenak hiruk-pikuknya kota Medan. Sepinya tempat ini benar-benar menunjukkan bahwa air terjun ini masih belum banyak yang menjamahnya. “Masih sedikit orang yang tahu dengan tempat ini,” ungkap Anita Samosir salah seorang pengunjung dari Medan.

Anita bilang air terjun ini merupakan salah satu dari tiga air terjun yang berada di sekitaran Danau Linting. “Air terjun ini lah yang paling dekat,” katanya.

Selasa, 05 Januari 2016

Salah Satu Peneliti Indonesia yang ‘Tak Wajar’

 Hakikat penelitian adalah pengabdian. pengabdian pada ilmu yang dipelajari, pengabdian pada masyarakat, pada bangsa dan pada negara. Pengabdian juga harus diiringi rasa tulus dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Tak sedikit peneliti Indonesia yang memilih melakukan penelitian ke luar negeri karena fasilitas dan pendanaan yang melimpah di sana. bahkan kesejahteraan hidup keluarga juga terjamin.
Namun tak begitu dengan seorang Dr. Tulus Ikhsan Nasution, S.Si, M.Sc, ya sesuai namanya ia tulus dan ikhlas untuk mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia demi memajukan anak bangsa.
Dia melihat sendiri banyak peneliti dari BPPT dan LIPI yang pergi keluar untuk mendapatkan kenyamanan dalam meneliti dan kesejahteraan hidup yang lebih terjamin di sana. Melihat hal ini Tulus tak menyalahkan mereka, menurut bapak dari tiga anak ini hal itu wajar karena mereka punya ide, motivasi dan melihat ada kesempatan bagus untuk menyalurkan ide dan motivasi mereka di luar sana. Ia menambahkan hal ini yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan menjadi cambuk tersendiri hal apa yang mendasari mereka seperti itu. “Mereka kan juga punya keluarga yang harus dicukupi kebutuhannya,” terangnya.

Berbeda dengan mereka, ia lebih memilih kembali ke Indonesia karena menurutnya tiap orang memiliki pemilkiran yang berbeda. Ia telah merasakan sendiri diluar negeri banyak pun ide yang ia punya namun ia tak pernah merasakan kepuasan bathin. Dengan penuh kerendahan hati ia lebih memilih memajukan bangsa sendiri ketimbang memajukan bangsa lain, rupanya nasionalisme yang ia punya lebih tinggi.
Kenapa bukan bangsa sendiri yang saya majukan? Pertanyaan itu terus muncul, ia selalu memendam keinginan untuk memajukan bangsa sendiri. Sayangnya ia belum dapat kesempatan untuk mengabdi di Indonesia karena waktu itu ia sudah menjadi dosen tetap di salah satu universitas di Malaysia.
Seakan tuhan mendengar keinginnanya pada tahun 2008 Dekan FMipa USU waktu itu menelponnya menyatakan bahwa USU sedang membuka lowongan penerimaan dosen. “Ini ada penerimaan dosen pulanglah kau ya,” ucapnya menirukan perkataan Dekan FMipa waktu itu. tawaran itu pun langsung diamininya.
“Makanya saya bilang saya enggak wajar, orang keluar saya malah balik ke Indonesia,” katanya sembari tertawa.
Dari segi materi waktu itu ia sudah sangat mapan, jika dibandingkan dengan gaji mengajar di Indonesia, itu hanyalah sepersepuluh lebih sedikit dibandingkan gajinya di Malaysia. Namun hal itu tak dihiraukannya ia lebih mementingkan untuk mengabdi di negara sendiri ketimbang memajukan negara lain. Istrinya waktu itu juga mendukung keputusannya kala itu. “Kebahagiaan itu kan tak hanya dihitung dari segi materi saja,” ungkapnya.
Selain itu salah satu alasan yang membawa ia untuk kembali adalah rasa optimisnya pada kemampuan mahasiswa dan peneliti Indonesia untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia. Dia sudah menyadari bahwa ia akan mengalami kesulitan dan cemoohan dari orang lain namun ia terus maju untuk menghasilkan. “Apapun kondisinya saya yakin dan tetap optimis Indonesia bisa maju,” ungkapnya.
Pria yang baru berumur 41 tahun ini acap kali mengajak mahasiswanya untuk ikut penelitian karena ia merasa itu adalah bagian dari kewajibannya. Ia juga merasa bahwa jika mahasiswanya hanya belajar teori saja mereka tak akan menang melawan kompetisi yang semakin ketat. Mereka harus bisa menguasai teknologi untuk kemudian bisa menguasai industri, menurutnya mereka harus dibimbing, di arahkan dan dikuatkan serta pola pikirnya harus terus diasah.
Ia menekankan pada mahasiswanya bahwa Fisika USU bukan mendidik mereka jadi guru, mereka disiapkan untuk menjadi peneliti atau kerja disektor industri maka kalau mereka hanya berkutat di teori saja tanpa mengembangkan sebuah aktivitas ekstra di bidang penelitian dan teknologi tentunya mereka akan kalah dalam persaingan. Mahasiswa akan mendapatkan ilmu lewat pengalaman melakukan riset-riset bukan di kelas yang belajar teori melulu.
Pengalaman lucu terjadi ketika ia meneliti bersama mahasiswanya saat meneliti bahan bakar air. Kala itu suhu panas dari lingkungan memicu salah satu komponen sepeda motor uji cobanya meledak dan membuat motornya melompat dan terbang sampai-sampai membawa sipengendara melompat, padahal pengendaranya memiliki postur tubuh yang gemuk. Kemudian saat salah satu mahasiswanya kehausan, karena saking capeknya ia salah mengambil air minum, bukan air mineral yang diambil malah meminum air yang sudah diolah menjadi zat penghemat bahan bakar. “Untungnya yang minum itu gak sakit, masih sehat sampai sekarang,” kenangnya sembari tertawa.

Tulus adalah orang dibalik ditemukannya alat pendeteksi diabetes lewat napas dan bahan bakar dari air. Alat-alat tersebut ia temukan bersama tim penelitinya yang adalah mahasiswanya sendiri. Untuk alat pendeteksi diabetes saat ini sudah masuk tahap ujicoba, ia dan timnya tiga minggu yang lalu sudah menguji coba alat tersebut di dua puskesmas yaitu Puskesmas Glugur dan Puskesmas Tuntungan.
Hasilnya sudah bisa menunjukkan seseorang terkena diabetes atau tidak hanya melalui tiupan napas. Ia mengajak FK USU dan Fasilkomti USU untuk membantu membaca hasil pindaian dan membantu pengembangan software. Hingga sekarang sistemnya sudah terintegrasi ke perangkat mobile, “Jadi penderita tinggal meniupkan napas ke alat khusus dan data akan bisa ditampilkan pada smartphone,” jelasnya.
Ia bercita-cita nanti seseorang akan bisa mengetahui dia menderita diabetes atau tidak melalui ujicoba hanya dengan smartphone-nya jadi tak sembarangan lagi untuk pergi medical check up yang butuh proses dan waktu yang lama.
Kemudian penelitian bahan bakar air sudah memasuki tahap pendaftaran untuk mendapatkan hak paten yang bekerja sama dengan pertamina. Ia bercerita banyak yang silap dengan penemuan itu. Sebenarnya tim peneliti Fisika USU menggunakan alat pengoptimal arus temuan mereka yang berfungsi memecah atom air menjadi gas hidrogen dan oksigen, lalu gas hidrogen ini lah yang nanti bisa membantu untuk proses penghematan bahan bakar dengan bensin. “Jadi kami sebenarnya bukan menciptakan bahan bakar tapi alat pemecah hidrogen yang bisa membantu menghemat bahan bakar,” jelasnya.
Suka duka selama melakukan penelitian pasti ia rasakan. Ia merasa sedih dengan fasilitas yang tak lengkap. Ia mengibaratkan kondisi mereka dengan seseorang yang hendak menuju suatu tempat namun tak punya kendaraan yang bisa membantu lebih cepat untuk sampai ke tujuan sedangkan orang lain punya kendaraan. Dari segi pendanaan pun minim bahkan untuk mengakses informasi dan referensi terbaru dari luar negeri bisa dibilang susah karena perpustakaan yang dipunya belum bisa mengakses sampai ke sana.
Namun dengan berbagai keterbatasan itu ia tetap merasa bangga sebab mereka bisa menghasilkan produk-produk dan inovasi yang luar biasa. Ia merasa siap dan bersedia kapan pun untuk mengharumkan nama USU dan Indonesia, “kalau kami punya kesempatan untuk berkompetisi dan eksibisi di luar negeri kami akan memberikan kemampuan terbaik kami,” akunya.
Buktinya baru-baru ini ia meraih Medali Silver dalam ajang Pencipta 2015 di Malaysia. Ia ikut tim penelitinya di Malaysia untuk memamerkan produk buatannya yaitu alat pendeteksi kualitas susu dalam bentuk serbuk.
Salah seorang mahasiswa Tulus, Almizan Ridho menuturkan bahwa belajar bersama Tulus berbeda, karena tidak hanya teori melulu namun juga mementingkan pada prakteknya, ia mengaku dengan cara itu bisa lebih paham dengan ilmu yang ia pelajari. “Gak hanya teori, ada proyeknya juga yang harus disiapkan tiga minggu, jadi kita bisa lebih paham lewat praktek,” jelasnya.
Ia pun menjelaskan di kelasnya sering diadakan expo atau pameran hasil proyek dari tugas-tugas tersebut, “ada expo kecil-kecilan juga,” tambahnya.
Mahasiswa stambuk 2013 ini menilai dosennya itu adalah pribadi yang tangguh karena mau kembali mengabdi di Indonesia. Menurutnya Tulus memberikan sumbangsih yang nyata bagi USU, hanya dalam dua tahun ia bisa menaikkan kembali nama USU yang sempat tenggelam. Ridho juga bilang Tulus bahkan mau jemput bola untuk membimbing mahasiswanya, “Doktor Tulus sendiri yang bahkan menanyakan langsung pada kami sudah sejauh mana penelitian kami,” ungkapnya.
Tulus mengharapkan agar pemerintah lebih punya perhatian yang besar pada peneliti-peneliti Indonesia. Ia merasakan peneliti di Indonesia sering dihadang oleh masalah administrasi yang berbelit-belit, dananya terlambat cair sedangkan laporan diminta secepatnya. Ia juga berharap agar pemerintah membuat event seperti di Malaysia untuk memamerkan hasil karya yang ditemukan oleh peneliti-peneliti Indonesia agar bisa memacu motivasi dan kemajuan bangsa. “Karena melalui event tersebut para peneliti bisa mengekspresikan ilmunya,” ungkapnya.

Ia berbagi tips untuk menjadi peneliti, secara umum jangan jenuh, rajin mencari isu atau masalah apa yang akan diteliti dengan rajin membaca, berdiskusi, observasi dan terus mencoba. Kalau sudah ada ide untuk mengatasi masalah tersebut barulah dipikirkan metodenya. Menurutnya modal utama menjadi peneliti adalah punya keingintahuan dan motivasi untuk mengetahui apa yang ingin ia ketahui, dan terakhir sifat yang harus dimiliki seorang peneliti adalah sifat pantang menyerah.

*Tulisan ini terbit di Medan Bisnis edisi Minggu 13 Desember 2015
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com