Selasa, 05 Januari 2016

Salah Satu Peneliti Indonesia yang ‘Tak Wajar’

 Hakikat penelitian adalah pengabdian. pengabdian pada ilmu yang dipelajari, pengabdian pada masyarakat, pada bangsa dan pada negara. Pengabdian juga harus diiringi rasa tulus dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Tak sedikit peneliti Indonesia yang memilih melakukan penelitian ke luar negeri karena fasilitas dan pendanaan yang melimpah di sana. bahkan kesejahteraan hidup keluarga juga terjamin.
Namun tak begitu dengan seorang Dr. Tulus Ikhsan Nasution, S.Si, M.Sc, ya sesuai namanya ia tulus dan ikhlas untuk mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia demi memajukan anak bangsa.
Dia melihat sendiri banyak peneliti dari BPPT dan LIPI yang pergi keluar untuk mendapatkan kenyamanan dalam meneliti dan kesejahteraan hidup yang lebih terjamin di sana. Melihat hal ini Tulus tak menyalahkan mereka, menurut bapak dari tiga anak ini hal itu wajar karena mereka punya ide, motivasi dan melihat ada kesempatan bagus untuk menyalurkan ide dan motivasi mereka di luar sana. Ia menambahkan hal ini yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan menjadi cambuk tersendiri hal apa yang mendasari mereka seperti itu. “Mereka kan juga punya keluarga yang harus dicukupi kebutuhannya,” terangnya.

Berbeda dengan mereka, ia lebih memilih kembali ke Indonesia karena menurutnya tiap orang memiliki pemilkiran yang berbeda. Ia telah merasakan sendiri diluar negeri banyak pun ide yang ia punya namun ia tak pernah merasakan kepuasan bathin. Dengan penuh kerendahan hati ia lebih memilih memajukan bangsa sendiri ketimbang memajukan bangsa lain, rupanya nasionalisme yang ia punya lebih tinggi.
Kenapa bukan bangsa sendiri yang saya majukan? Pertanyaan itu terus muncul, ia selalu memendam keinginan untuk memajukan bangsa sendiri. Sayangnya ia belum dapat kesempatan untuk mengabdi di Indonesia karena waktu itu ia sudah menjadi dosen tetap di salah satu universitas di Malaysia.
Seakan tuhan mendengar keinginnanya pada tahun 2008 Dekan FMipa USU waktu itu menelponnya menyatakan bahwa USU sedang membuka lowongan penerimaan dosen. “Ini ada penerimaan dosen pulanglah kau ya,” ucapnya menirukan perkataan Dekan FMipa waktu itu. tawaran itu pun langsung diamininya.
“Makanya saya bilang saya enggak wajar, orang keluar saya malah balik ke Indonesia,” katanya sembari tertawa.
Dari segi materi waktu itu ia sudah sangat mapan, jika dibandingkan dengan gaji mengajar di Indonesia, itu hanyalah sepersepuluh lebih sedikit dibandingkan gajinya di Malaysia. Namun hal itu tak dihiraukannya ia lebih mementingkan untuk mengabdi di negara sendiri ketimbang memajukan negara lain. Istrinya waktu itu juga mendukung keputusannya kala itu. “Kebahagiaan itu kan tak hanya dihitung dari segi materi saja,” ungkapnya.
Selain itu salah satu alasan yang membawa ia untuk kembali adalah rasa optimisnya pada kemampuan mahasiswa dan peneliti Indonesia untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia. Dia sudah menyadari bahwa ia akan mengalami kesulitan dan cemoohan dari orang lain namun ia terus maju untuk menghasilkan. “Apapun kondisinya saya yakin dan tetap optimis Indonesia bisa maju,” ungkapnya.
Pria yang baru berumur 41 tahun ini acap kali mengajak mahasiswanya untuk ikut penelitian karena ia merasa itu adalah bagian dari kewajibannya. Ia juga merasa bahwa jika mahasiswanya hanya belajar teori saja mereka tak akan menang melawan kompetisi yang semakin ketat. Mereka harus bisa menguasai teknologi untuk kemudian bisa menguasai industri, menurutnya mereka harus dibimbing, di arahkan dan dikuatkan serta pola pikirnya harus terus diasah.
Ia menekankan pada mahasiswanya bahwa Fisika USU bukan mendidik mereka jadi guru, mereka disiapkan untuk menjadi peneliti atau kerja disektor industri maka kalau mereka hanya berkutat di teori saja tanpa mengembangkan sebuah aktivitas ekstra di bidang penelitian dan teknologi tentunya mereka akan kalah dalam persaingan. Mahasiswa akan mendapatkan ilmu lewat pengalaman melakukan riset-riset bukan di kelas yang belajar teori melulu.
Pengalaman lucu terjadi ketika ia meneliti bersama mahasiswanya saat meneliti bahan bakar air. Kala itu suhu panas dari lingkungan memicu salah satu komponen sepeda motor uji cobanya meledak dan membuat motornya melompat dan terbang sampai-sampai membawa sipengendara melompat, padahal pengendaranya memiliki postur tubuh yang gemuk. Kemudian saat salah satu mahasiswanya kehausan, karena saking capeknya ia salah mengambil air minum, bukan air mineral yang diambil malah meminum air yang sudah diolah menjadi zat penghemat bahan bakar. “Untungnya yang minum itu gak sakit, masih sehat sampai sekarang,” kenangnya sembari tertawa.

Tulus adalah orang dibalik ditemukannya alat pendeteksi diabetes lewat napas dan bahan bakar dari air. Alat-alat tersebut ia temukan bersama tim penelitinya yang adalah mahasiswanya sendiri. Untuk alat pendeteksi diabetes saat ini sudah masuk tahap ujicoba, ia dan timnya tiga minggu yang lalu sudah menguji coba alat tersebut di dua puskesmas yaitu Puskesmas Glugur dan Puskesmas Tuntungan.
Hasilnya sudah bisa menunjukkan seseorang terkena diabetes atau tidak hanya melalui tiupan napas. Ia mengajak FK USU dan Fasilkomti USU untuk membantu membaca hasil pindaian dan membantu pengembangan software. Hingga sekarang sistemnya sudah terintegrasi ke perangkat mobile, “Jadi penderita tinggal meniupkan napas ke alat khusus dan data akan bisa ditampilkan pada smartphone,” jelasnya.
Ia bercita-cita nanti seseorang akan bisa mengetahui dia menderita diabetes atau tidak melalui ujicoba hanya dengan smartphone-nya jadi tak sembarangan lagi untuk pergi medical check up yang butuh proses dan waktu yang lama.
Kemudian penelitian bahan bakar air sudah memasuki tahap pendaftaran untuk mendapatkan hak paten yang bekerja sama dengan pertamina. Ia bercerita banyak yang silap dengan penemuan itu. Sebenarnya tim peneliti Fisika USU menggunakan alat pengoptimal arus temuan mereka yang berfungsi memecah atom air menjadi gas hidrogen dan oksigen, lalu gas hidrogen ini lah yang nanti bisa membantu untuk proses penghematan bahan bakar dengan bensin. “Jadi kami sebenarnya bukan menciptakan bahan bakar tapi alat pemecah hidrogen yang bisa membantu menghemat bahan bakar,” jelasnya.
Suka duka selama melakukan penelitian pasti ia rasakan. Ia merasa sedih dengan fasilitas yang tak lengkap. Ia mengibaratkan kondisi mereka dengan seseorang yang hendak menuju suatu tempat namun tak punya kendaraan yang bisa membantu lebih cepat untuk sampai ke tujuan sedangkan orang lain punya kendaraan. Dari segi pendanaan pun minim bahkan untuk mengakses informasi dan referensi terbaru dari luar negeri bisa dibilang susah karena perpustakaan yang dipunya belum bisa mengakses sampai ke sana.
Namun dengan berbagai keterbatasan itu ia tetap merasa bangga sebab mereka bisa menghasilkan produk-produk dan inovasi yang luar biasa. Ia merasa siap dan bersedia kapan pun untuk mengharumkan nama USU dan Indonesia, “kalau kami punya kesempatan untuk berkompetisi dan eksibisi di luar negeri kami akan memberikan kemampuan terbaik kami,” akunya.
Buktinya baru-baru ini ia meraih Medali Silver dalam ajang Pencipta 2015 di Malaysia. Ia ikut tim penelitinya di Malaysia untuk memamerkan produk buatannya yaitu alat pendeteksi kualitas susu dalam bentuk serbuk.
Salah seorang mahasiswa Tulus, Almizan Ridho menuturkan bahwa belajar bersama Tulus berbeda, karena tidak hanya teori melulu namun juga mementingkan pada prakteknya, ia mengaku dengan cara itu bisa lebih paham dengan ilmu yang ia pelajari. “Gak hanya teori, ada proyeknya juga yang harus disiapkan tiga minggu, jadi kita bisa lebih paham lewat praktek,” jelasnya.
Ia pun menjelaskan di kelasnya sering diadakan expo atau pameran hasil proyek dari tugas-tugas tersebut, “ada expo kecil-kecilan juga,” tambahnya.
Mahasiswa stambuk 2013 ini menilai dosennya itu adalah pribadi yang tangguh karena mau kembali mengabdi di Indonesia. Menurutnya Tulus memberikan sumbangsih yang nyata bagi USU, hanya dalam dua tahun ia bisa menaikkan kembali nama USU yang sempat tenggelam. Ridho juga bilang Tulus bahkan mau jemput bola untuk membimbing mahasiswanya, “Doktor Tulus sendiri yang bahkan menanyakan langsung pada kami sudah sejauh mana penelitian kami,” ungkapnya.
Tulus mengharapkan agar pemerintah lebih punya perhatian yang besar pada peneliti-peneliti Indonesia. Ia merasakan peneliti di Indonesia sering dihadang oleh masalah administrasi yang berbelit-belit, dananya terlambat cair sedangkan laporan diminta secepatnya. Ia juga berharap agar pemerintah membuat event seperti di Malaysia untuk memamerkan hasil karya yang ditemukan oleh peneliti-peneliti Indonesia agar bisa memacu motivasi dan kemajuan bangsa. “Karena melalui event tersebut para peneliti bisa mengekspresikan ilmunya,” ungkapnya.

Ia berbagi tips untuk menjadi peneliti, secara umum jangan jenuh, rajin mencari isu atau masalah apa yang akan diteliti dengan rajin membaca, berdiskusi, observasi dan terus mencoba. Kalau sudah ada ide untuk mengatasi masalah tersebut barulah dipikirkan metodenya. Menurutnya modal utama menjadi peneliti adalah punya keingintahuan dan motivasi untuk mengetahui apa yang ingin ia ketahui, dan terakhir sifat yang harus dimiliki seorang peneliti adalah sifat pantang menyerah.

*Tulisan ini terbit di Medan Bisnis edisi Minggu 13 Desember 2015

Molen Arab, Upaya Bertahan dikrisis Ekonomi yang Melanda

Berwirausaha tidaklah mudah, banyak cobaan yang akan menghadang dalam meraih kesuksesan. Begitu juga dengan Syaiful Burhan, sejak usahanya dirintis ia sering merekrut dan merumahkan kembali karyawannya karena tak sanggup menutupi biaya produksi.
            Diminggu pertama produksi ia sempat menyerah, padahal saat itu usaha molen arab yang dilakoninya tengah berkembang pesat dan direspons baik  oleh pasar. Ia merasa tak sanggup untuk melanjutkan usaha tersebut di tengah kesibukan kuliahnya. Burhan yang tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU ini memiliki jadwal kuliah yang padat, tiap hari kuliah dari pagi hingga siang kemudian sore hingga malamnya ia harus ikut praktikum di laboratorium.

            Kepadatan jadwal kuliah tersebut memaksanya hanya tidur dua jam perhari. Pulang kuliah ia harus memproduksi molen kembali karena jika ia tak melanjutkan produksi maka uang kontrakan yang ia jadikan modal tak akan kembali. “Nanti saya bakal tinggal dimana?” tanyanya.
Pria kelahiran Pemalang, Jawa Tengah ini coba konsultasi dengan teman sekamarnya yang juga punya usaha. Ia teringat kata-kata temannya yang terus menyemangati Burhan untuk melanjutkan usaha tersebut.
              “Jangan nyerah jadi pengusaha itu memang keras, jalani aja dulu tiga bulan pertama, walaupun berdarah-darah dan harus ngesot jika menghasilkan profit maka lanjutkan aja, gini aja nyerah lemah kali pun,” begitu kata Burhan coba meniru ucapan temannya.
            Berbekal motivasi tersebut ia pun mengajak tiga orang temannya untuk ikut membantunya dalam memproduksi molen, “Awalnya mereka saya gaji Rp 600 ribu, kerja dari jam tiga hingga enam pagi,” kisahnya.
            Selama sebulan pertama ia terus berjualan di kampusnya sendiri, barulah tiga bulan pertama ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk menjadi reseller di tiga fakultas di USU.
            Sejak itu ia mulai berpikir bahwa usahanya ini bisa dikembangkan, ia yang pertama kali memulai dengan modal sendiri mulai mencari modal pinjaman dari teman-temannya untuk menyewa sebuah rumah toko. Hal ini dilakukannya dalam rangka meningkatkan jumlah produksi sehingga ia bisa mengembangkan pasar hingga ke seluruh fakultas di USU dan beberapa kampus di Medan.
            Seiring waktu kondisi penjualan molen tak selalu untung, kadang ia pernah rugi karena perubahan pasar yang tak bisa diprediksi. Kejadian seperti penjualan yang anjlok sedangkan kebutuhan tinggi sering kali terjadi, ia pernah merekrut banyak orang namun ternyata penjualan tak signifikan dan tak bisa menghasilkan untung. Bahkan disaat tersebut bisa dibilang minus, padahal ia harus membayar gaji karyawannya, “Pada akhirnya kita kurangi lagi jumlah karyawan,” ungkapnya.

            Pernah ia merekrut hingga lima belas orang karyawan disaat permintaan pasar tinggi namun di akhir bulan malah tak ada untung karena angka penjualan yang tidak mencapai target. Maka dari itu ia belajar untuk tidak segera merekrut banyak orang, di saat krisis seperti ini ia merasa cukup dengan lima orang karyawan yang bekerja padamya. “Karena kondisi saat ini sedang hancur-hancuran,” jelasnya.
            Ia mengaku tren rupiah yang terus turun dan harga bahan bakar yang naik di awal tahun 2015 lalu berdampak besar pada usahanya. Ia mengaku penjualan turun drastis dan omzet yang biasanya bisa hingga ratusan juta turun jadi hanya puluhan juta, “Jujur aja kami sekarang lagi berupaya untuk bertahan,” aku anak pertama dari enam bersaudara ini.
            Waktu itu ia terpaksa mengurangi karyawan besar-besaran, berinovasi dengan mencari distributor barang mentah yang lebih murah untuk menekan biaya produksi. Hingga menurunkan jumlah produksi molen yang dulunya seribu hingga dua ribu perhari jadi hanya enam ratus hingga tujuh ratus perhari. Hal itu terus terjadi hingga sekarang. 
            Namun menurutnya kondisi seperti ini wajar karena menurutnya pemerintah sekarang sedang berfokus pada perbaikan infrastruktur, ia menambahkan jika nanti infrastruktur sudah terselesaikan maka perlahan kekuatan ekonomi akan kembali normal, “Perlahan rupiah kita akan kembali kuat dan daya beli juga akan naik,” terangnya.
            Ia memahami bahwa bukan dia saja pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang mengalami hal serupa, menurutnya semua pelaku  UKM saat ini tengah menerapkan strategi yang sama dengannya yaitu bertahan di tengah krisis ekonomi.


Rencana untuk Membuka Gerai Toko Sendiri dan Tawaran Franchise
Perkembangan usaha Molen Arabnya terus ia upayakan hingga menjadi salah satu oleh-oleh khas dari Medan.  Keberhasilannya mendapatkan penghargaan Wira Usaha Mandiri dan Teknopreneurcamp pada 2013 dan 2014 lalu berdampak positif pada branding Molen Arab.
Seringkali ia mendapat permintaan dari orang-orang luar kota Medan bahkan luar provinsi yang ingin mencicipi molen buatannya. Burhan bilang ada pelanggan yang datang dari luar Medan mulai membidik Molen Arab sebagai oleh-oleh untuk keluarganya.
Hal itu disadarinya ketika ia sedang browsing internet, ia menemukan sebuah blog yang menceritakan kesulitannya menemukan toko yang menjual Molen Arab, dalam blog itu tertulis si penulis sudah mencoba semua kuliner yang ada di Medan kecuali Molen Arab karena susah ditemukan toko yang menjualnya. “Terpaksa pulang dengan tangan kosong padahal penasaran dengan Molen Arab,” begitu ia kutip dari blog yang ia baca
Tak hanya itu, Burhan dan karyawannya pernah kedatangan orang-orang dari Jakarta, dan daerah lain di Indonesia pada tengah malam. Saat itu ia dan karyawannya tengah beristirahat dan sudah selesai proses produksi, tiba-tiba mereka datang memohon untuk dibuatkan Molen Arab sebagai oleh-oleh nantinya, sebab besoknya mereka sudah akan terbang menuju daerah asal masing-masing. Tak mau mengecewakan pelanggan akhirnya Burhan dan karyawannya dengan senang hati membuatkan.

Salah seorang karyawan Burhan, Tama membenarkan hal tersebut, ia mengaku saat mereka sedang menikmati waktu istirahat di tengah malam sering kali datang orang-orang yang ingin membeli Molen Arab untuk dijadikan oleh-oleh, “Kebanyakan mereka adalah orang-orang luar daerah.” Jelasnya.
Pria yang besar di Jayapura ini juga pernah menerima permintaan tiga ratus molen untuk sebuah acara yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta sebagai salah satu cemilan di acara tersebut. Permintaan mendadak tersebut akhirnya ia terima walaupun awalnya ia sempat ragu apakah bisa tercukupi atau tidak. “Untungnya bisa tercukupi permintaan tersebut,” kenangnya.
Melihat perkembangan tersebut ia kemudian berencana untuk membuat gerai toko pusat penjualan Molen Arab agar pelanggaan yang penasaran tidak lagi susah mencari molen buatannya. Sekarang ia sedang memikirkan konsepnya, ia menargetkan di Maret tahun depan sudah mulai bisa terlaksana. “Kita ingin memposisikan diri sebagai salah satu ikon oleh-oleh khas kota Medan.
            Seakan gayung bersambut hingga kini banyak yang tertarik untuk menawarkan sistem franchise untuk penjualan Molen Arab. Terhitung semenjak 2014 sudah ada 63 lebih investor dari Jakarta, Kalimantan dan kota-kota besar di Indonesia yang menawarkan diri untuk bekerja sama dalam bisnis ini.
Namun begitu pria yang juga tergabung dalam HIPMI ini mengaku belum siap untuk memulai konsep franchise tersebut. Ia beralasan Molen Arab masih dalam tahap rintisan dan belum menemukan bentuk pasnya sehingga ia takut jika nanti terlanjur dibentuk franchise akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Terpaksa saya tolak dulu untuk sementara,” ungkapnya.
“Kita belum sanggup dan belum siap dari segala hal seperti sumber daya manusia, peralatan, dana, konsep dan sistem, karena waktu itu kita masih kecil, paling tidak butuh waktu lima tahun dulu untuk mengembangkan menjadi franchise” tambahnya.

Modal Nekat dan Mental Keras dalam Berwirausaha         
            Burhan menyampaikan modal utama dalam berwirausaha adalah keberanian dan kemauan. Menurutnya yang paling utama adalah mau dulu untuk berusaha dan berani beraksi. Karena menurutnya banyak pebisnis yang mau berusaha namun tak berani menjalankan usaha tersebut.
            “Jangan terlalu banyak mikir, kalau mau bisnis yang langsung aja, nanti kalau terlalu banyak mikir ya gak jadi-jadi,” terangnya.
Burhan bilang untuk tahap pertama dalam memulai usaha harus nekat, namun nekatnya harus ada strategi supaya nanti tidak rugi besar. Nekat yang ada perhitungannya! Ia akui pendidikan mandiri dari orang tuanya sedari kecil membuatnya memiliki kenekatan dan punya mental yang kuat agar tidak mudah putus asa. “Yang penting dia mau berani dan punya pengalaman, dari pengalaman itulah bisa disimpulkan akan lanjut atau tidak,” tambahnya.
Tahap selanjutnya adalah terus berinovasi, bukan hanya berinovasi pada produk saja tapi juga meliputi semua aspek seperti cara pemasaran. Pengusaha juga harus punya kesabaran karena usaha itu terus naik-turun. Jika usaha naik kita bisa terlena dan bisa berakibat buruk pada hasil berikutnya. Maka dari itu kesabaran diperlukan agar tidak mudah terlena ketika di atas dan tidak mudah berputus asa jika usaha sedang turun.
Kemudian lingkungan juga berpengaruh pada kesuksesan, pengusaha sukses itu berteman dengan pengusaha lain. Manfaat pertemanan ini adalah mencari solusi permasalahan kita karena solusi itu tak akan muncul sendiri, oleh karenanya jika usaha sedang anjlok maka kita bisa berbagi cerita dan berdiskusi mencari solusinya. 

Burhan juga berpendapat kedekatan personal dengan karyawan menjadi kunci penting dalam kesuksesan seseoran berusaha. Ia kerap memotivasi karyawannya untuk bekerja dengan baik serta menjaga disiplin kerja.

*Tulisan ini terbit di Medan Bisnis edisi Minggu 6 Desember 2015

Molen Arab, Usaha yang Bermodal Uang Kontrakan

Panjang, besar, lembut, puas! Saya menemukan tagline tersebut pada sebuah kemasan gorengan yang bernama Molen Arab. Siapapun bakal bertanya siapa gerangan pemilik usaha molen dengan tagline unik ini?

Ketika kebanyakan orang masih asyik dibuai mimpi menjelang subuh dini hari, sebuah rumah di Jalan Amaliun sudah mulai menunjukkan kesibukannya. Kesibukan tersebut dilakoni oleh Syaiful Burhan bersama tiga orang karyawannya, Tama, Dedi dan Musa. Sembari bercengkerama mereka terlihat asyik mengaduk adonan, menggoreng, hingga mengepak ratusan molen berukuran segenggam tangan orang dewasa, berbeda dari molen pada umumnya yang hanya seukuran jempol.
Aktivitas tersebut terpusat disebuah rumah yang terkesan biasa saja. Rumah satu lantai dan dua kamar tidur tersebut tak berbeda dengan rumah-rumah pada umumnya, orang-orang tak akan mengira bahwa rumah tersebut telah dijadikan oleh Syaiful Burhan sebagai rumah produksi Molen Arab. Sekarang rumah itu tiap hari telah memproduksi lima ratus hingga seribu molen tiap harinya.
Kesibukan terus berlanjut, setelah digoreng, molen dimasukkan pada sebuah kertas yang telah didesain sehingga seolah-olah molen tersebut diselimuti oleh kertas, pada kertas itulah tertulis tagline unik tadi, panjang, besar, lembut dan puas. Kemudian lima puluh molen dikumpulkan pada sebuah keranjang yang nantinya akan dikirimkan ke kampus-kampus dan sekolah-sekolah di Medan.
 Pukul tujuh pagi mereka telah menyelesaikan seluruh kegiatan tersebut, setelahnya Tama, Dedi dan Musa akan mengantarkan molen yang siap untuk dijual pada titik-titik penjualan yang telah ditentukan. Mereka biasanya menitipkan pada satpam-satpam fakultas.  Tak lama setelahnya agen reseller akan menjemput dan menjual molen pada konsumen.

Adalah Syaiful Burhan yang memulai usaha ini pada April 2013 lalu.  Ia berkisah diawal perkuliahan ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari di Medan karena  orang tuanya yang tinggal di Jayapura hanya bisa mengirimkan uang Rp 500 ribu perbulan. Mau tak mau ia harus bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri. berbagai usaha dilakoninya mulai dari  mengajar lembaga bimbingan, ikut kompetisi blogger, jasa instal ulang komputer hingga menjadi pekerja lepas untuk jasa desain grafis.

Seiring waktu keadaan ekonomi semakin mendesak, pada Mei 2013 ia harus membayar uang kontrakan sebesar Rp 2 juta, ia bingung mendapatkan uang darimana. “Saat itu keadaan serba susah, bahkan untuk makan pun susah,” kenangnya.
Sebulan sebelum jatuh tempo ia telah sampaikan pada orang tuanya perihal uang kontrakan tersebut. Untungnya saat itu orang tuanya sedang punya rejeki berlebih sehingga ia dikirimi uang Rp 2.5 juta. Ia kembali berpikir, kalau saja nanti kiriman orang tuanya tak lagi lancar lantas ia harus mencari uang darimana. Maka muncullah idenya untuk memutar uang tersebut. “Bismillah saya putar uang ini untuk mengubah hidup saya,” jelasnya.
Ia memikirkan usaha yang tak mengganggu perkuliahannya, tercetuslah ide untuk jual gorengan, ia memilih menjual molen karena kebetulan ia juga suka molen. Burhan mencoba berinovasi dengan menjual molen ukuran jumbo, berbeda dari molen-molen yang dijual pada umumnya. Setelah ide muncul ia mulai memproduksi molen sendiri, hari pertama ia memproduksi 50 buah molen, karena lapar ia makan satu dan 49 sisanya terjual habis pada teman-temannya.

Ternyata teman-temannya banyak yang suka dan memesan kembali, ia kembali membuat 100 buah molen di hari kedua, begitu juga di hari ketiga hingga minggu pertama berakhir, molen buatannya laku terjual. Akhirnya di bulan pertama ia berhasil balik modal bahkan ia bisa meraup untung. “Saya tak mengira teman-teman akan suka dengan molen saya,” tuturnya.
Hingga sekarang ia punya tiga karyawan tetap, Molen buatannya mampu memproduksi hingga 600 molen perhari dengan 5 varian rasa, yaitu original, coklat, durian, keju, dan coklat keju. Bahkan pernah ia bisa memproduksi hingga 1500 molen perhari dengan omzet puluhan hingga ratusan juta, dengan memfokuskan pasar pada kalangan mahasiswa dan pelajar. Hal ini menarik perhatian beberapa investor untuk ikut membiayai usahanya. Buktinya rumah produksi mereka di Jalan Amaliun sekarang adalah hasil kerjasama dengan beberapa investor.


Ia pun berhasil meraih juara satu pada Wira Usaha Muda Mandiri wilayah I (Aceh, Sumut, Riau dan Kepri) pada tahun 2013 lalu. Bukan hanya itu ia juga berhasil menyabet juara I penghargaan Teknopreneurcamp di Palembang pada tahun 2014, sebuah penghargaan berskala nasional dari menteri Koordinator perekonomian.

*Tulisan ini terbit di Medan Bisnis edisi Minggu 6 Desember 2015
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com