Awalnya diharapkan menjadi kekuatan gaib,
namun seiring perkembangan zaman menjadi pertanda seorang telah menikah.
Malam itu, 14 Desember 2010 adalah adalah hari bahagia bagi Mira Mabrura. Ia akan menjalani prosesi malam berinai. Walaupun sebelumnya ia pernah menyaksikan prosesi malam berinai,
namun kali ini ada sesuatu yang spesial. Jantungnya berdegup kencang sebab
malam itu ia lah pengantin yang akan diinaikan.
Setelah didandani, Mira duduk di pelaminan. Para tamu dan sanak saudara telah berkumpul
untuk mengaji dan berdoa bersama, kemudian melantunkan marhaban sambil diiringi
proses tepung tawar.
Setelah prosesi tepung tawar selesai, Mira harus menari sebagai salah satu prosesi yang harus dilengkapi dalam malam berinai.
Dua gadis dan tiga jejaka telah siap
menyambut Mira untuk menari. Mereka berbaris membentuk banjar, satu banjar pria
dan satu banjar perempuan. Mira kemudian bergabung melengkapi jumlah ganjil
perempuan. “Saya sudah tahu akan menari, calon pengantin memang harus nari,”
kenang Mira.
Musik akordion mulai dialunkan dan terdengar syahdu mengiringi tarian mereka. Mira dan penari
lainnya mulai menarikan sembilan tarian wajib melayu.
Namun, Mira hanya menari dari tari pertama sampai tari ke tiga saja, Kuala Deli, Mak Inang dan Serampang
Dua Belas. Sebab tak semua
tarian dilakukan dengan jumlah tiga pasang. Ada yang hanya dua pasang bahkan
hingga tersisa satu orang saja.
Tibalah disaat tari piring, yang tersisa
tinggal seorang pria. Ia menari dengan membawa bakul berisi enam atau tujuh piring kecil berisikan
inai yang akan diusapkan ke pengantin wanita.
Setelah tari-menari, Mira dibawa ke kamar pengantin untuk
dipakaikan inai pada kuku dan punggung tangan, kemudian kuku kaki. Cara memakai inai cukup sederhana,
dengan mengusapkan tumbuhan inai yang telah ditumbuk. Inai diusapkan oleh saudara ibu dan saudara
perempuan pengantin yang sudah baligh.
Malam berinai dilakukan di rumah keluarga
pengantin perempuan dan hanya satu malam. tujuannya untuk memberitahu tetangga bahwa sang pengantin
sudah ada yang memiliki dan sudah siap untuk menikah, sekalian pamit dengan
orang tuanya, sebab pengantin wanita akan meninggalkan rumah dan akan dibawa ke
rumah pengantin pria.
Prosesi malam berinai sebenarnya terdiri atas
tiga tahap. Inai curi, inai kecil dan inai besar. Inai curi dilakukan oleh
teman dari pengantin wanita, sedangkan inai kecil dan besar sudah mulai melibatkan pihak keluarga.
Herlina Ginting, Sekretaris Departemen Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) menjelaskan Inai curi dilakukan tiga hari
sebelum pembacaan akad pernikahan. Di malam hari saat pengantin
wanita tertidur, teman-temannya datang mengusapkan tumbuhan
inai pada kedua tangan dan kaki. Ketika si pengantin wanita bangun esok paginya, ia akan terkejut melihat tangan dan kakinya sudah berwarna merah kecoklatan. “Oleh karena dilakukan pada saat pengantin
wanita tertidur, makanya dinamakan inai curi,” ungkapnya.
Tahap berikutnya adalah inai kecil dan besar. Inai kecil dilakukan dua hari sebelum akad
pernikahan dan pengantin
hanya menggunakan pakaian biasa. Sedangkan, inai besar dilakukan pada malam sebelum akad
pernikahan pengantin, kemudian pengantin pria dan wanita sudah menggunakan pakaian adat
pernikahan, lalu didudukan di pelaminan.
Pada inai besar semua kerabat, teman-teman dan undangan sudah bisa menyaksikan
prosesi ini.
Prosesi dari
malam berinai memiliki makna filosofis tersendiri. Herlina berpendapat
tradisi malam berinai sendiri telah ada sejak masyarakat melayu memiliki kepercayaan yang dianut semasa itu, animisme yaitu percaya pada
roh-roh nenek moyang. Menurut
kepercayaan mereka, berinai memberi kekuatan gaib, supaya mereka langgeng, kuat
dan bertenaga. Sehingga pengantin yang diinaikan
bisa membangun rumah tangga yang baik, “Mereka mampu mengelakan dan menjauhkan
segala sihir dan roh jahat yang mengganggu,” jelas Herlina.
Warna merah pada inai diartikan sebagai
kekuatan yang memberikan keberanian. Inai yang diusapkan
pada kedua tangan dan kaki dipercaya menjadi
sumber utama mobilitas dan kekuatan manusia.
Sebenarnya, beberapa
daerah juga memiliki malam berinai yang mirip dengan tradisi budaya melayu,
namun dengan nama yang berbeda. Di Aceh
disebut Bohgaca, di Minangkabau
terkenal dengan malam bainai, di Palembang
dikenal dengan berpacar, sedangkan di
betawi disebut dengan malem pacar. Walaupun beragam namanya, namun makna dan tujuannya tetap sama. Sebab tradisi itu berasal dari rumpun budaya yang sama.
Kepraktisan
yang Mengikis Budaya
Kemajuan zaman dan modernisasi membuat
tradisi malam berinai mulai terkikis dari keasliannya. Malam berinai yang
sejatinya dilaksanakan selama tiga malam berturut dipersingkat menjadi hanya
satu malam saja. Herlina menyebutkan banyaknya waktu yang dibutuhkan membuat
masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan malam berinai lebih singkat dan
cepat.
Menurut Herlina, masyarakat sekarang tak lagi
memegang pepatah biar lambat asal selamat,
akan tetapi sekarang masyarakat sudah banyak yang beranggapan boleh cepat
asalkan tepat sasaran dan tujuan utamanya tercapai. “Biarlah cepat tapi harus
tepat, yang penting tujuan utamanya tercapai,” jelasnya.
Walaupun begitu, malam berinai masih dilakukan, namun inai curi jarang
dilakukan. “Langsung
ke inai besarnya aja,” tambahnya.
Berdasarkan nilai filosofisnya. Malam berinai tidak lagi diartikan sebagai pemberi kekuatan gaib, Karena perkembangan agama, berinai diartikan
sebagai pertanda seorang gadis telah memiliki suami guna menghindarkan dari
fitnah. “Enggak inai itu lagi yang kita anggap sebagai suatu pemberi kekuatan,
tetapi karena itu merupakan bagian dari kebudayaan maka itu tetap ada,” tutup
Herlina.
*Tulisan ini dimuat di Tabloid SUARA USU edisi 92