Jumat, 26 April 2013

Malam Berinai Harapan dan Doa dalam Inai

Awalnya diharapkan menjadi kekuatan gaib, namun seiring perkembangan zaman menjadi pertanda seorang telah menikah


Malam itu, 14 Desember 2010 adalah adalah hari bahagia bagi Mira Mabrura. Ia akan menjalani prosesi malam berinai.  Walaupun sebelumnya ia pernah menyaksikan prosesi malam berinai, namun kali ini ada sesuatu yang spesial. Jantungnya berdegup kencang sebab malam itu ia lah pengantin yang akan diinaikan.


Setelah didandani, Mira duduk di pelaminan. Para tamu dan sanak saudara telah berkumpul untuk mengaji dan berdoa bersama, kemudian melantunkan marhaban sambil diiringi proses tepung tawar.


Setelah prosesi tepung tawar selesai, Mira harus menari sebagai salah satu prosesi yang harus dilengkapi dalam malam berinai. 


Dua gadis dan tiga jejaka telah siap menyambut Mira untuk menari. Mereka berbaris membentuk banjar, satu banjar pria dan satu banjar perempuan. Mira kemudian bergabung melengkapi jumlah ganjil perempuan. “Saya sudah tahu akan menari, calon pengantin memang harus nari,” kenang Mira. 


Musik akordion mulai dialunkan dan terdengar syahdu mengiringi tarian mereka. Mira dan penari lainnya mulai menarikan sembilan tarian wajib melayu. Namun, Mira hanya menari dari tari pertama sampai tari ke tiga saja, Kuala Deli, Mak Inang dan Serampang Dua Belas. Sebab tak semua tarian dilakukan dengan jumlah tiga pasang. Ada yang hanya dua pasang bahkan hingga tersisa satu orang saja.


Tibalah disaat tari piring, yang tersisa tinggal seorang pria. Ia menari dengan membawa bakul berisi enam atau tujuh piring kecil berisikan inai yang akan diusapkan ke pengantin wanita. 


Setelah tari-menari, Mira dibawa ke kamar pengantin untuk dipakaikan inai pada kuku dan punggung tangan, kemudian kuku kaki. Cara memakai inai cukup sederhana, dengan mengusapkan tumbuhan inai yang telah ditumbuk. Inai diusapkan oleh saudara ibu dan saudara perempuan pengantin yang sudah baligh.


Malam berinai dilakukan di rumah keluarga pengantin perempuan dan hanya satu malam. tujuannya untuk memberitahu tetangga bahwa sang pengantin sudah ada yang memiliki dan sudah siap untuk menikah, sekalian pamit dengan orang tuanya, sebab pengantin wanita akan meninggalkan rumah dan akan dibawa ke rumah pengantin pria. 


Prosesi malam berinai sebenarnya terdiri atas tiga tahap. Inai curi, inai kecil dan inai besar. Inai curi dilakukan oleh teman dari pengantin wanita, sedangkan inai kecil dan besar sudah mulai melibatkan pihak keluarga.


Herlina Ginting, Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) menjelaskan Inai curi dilakukan tiga hari sebelum pembacaan akad pernikahan. Di malam hari saat pengantin wanita tertidur, teman-temannya datang mengusapkan tumbuhan inai pada kedua tangan dan kaki. Ketika si pengantin wanita bangun esok paginya, ia akan terkejut melihat tangan dan kakinya sudah berwarna merah kecoklatan. “Oleh karena dilakukan pada saat pengantin wanita tertidur, makanya dinamakan inai curi,” ungkapnya.


Tahap berikutnya adalah inai kecil dan besar. Inai kecil dilakukan dua hari sebelum akad pernikahan dan pengantin hanya menggunakan pakaian biasa. Sedangkan, inai besar dilakukan pada malam sebelum akad pernikahan pengantin, kemudian pengantin pria dan wanita sudah menggunakan pakaian adat pernikahan, lalu didudukan di pelaminan. Pada inai besar semua kerabat, teman-teman dan undangan sudah bisa menyaksikan prosesi ini.


Prosesi dari  malam berinai memiliki makna filosofis tersendiri. Herlina berpendapat tradisi malam berinai sendiri telah ada sejak masyarakat melayu memiliki kepercayaan yang dianut semasa itu, animisme yaitu percaya pada roh-roh nenek moyang. Menurut kepercayaan mereka, berinai memberi kekuatan gaib, supaya mereka langgeng, kuat dan bertenaga. Sehingga pengantin yang diinaikan bisa membangun rumah tangga yang baik, “Mereka mampu mengelakan dan menjauhkan segala sihir dan roh jahat yang mengganggu,” jelas Herlina.


Warna merah pada inai diartikan sebagai kekuatan yang memberikan keberanian. Inai yang diusapkan pada kedua tangan dan kaki dipercaya menjadi sumber utama mobilitas dan kekuatan manusia. 


Sebenarnya, beberapa daerah juga memiliki malam berinai yang mirip dengan tradisi budaya melayu, namun dengan nama yang berbeda. Di Aceh disebut Bohgaca, di Minangkabau terkenal dengan malam bainai, di Palembang dikenal dengan berpacar, sedangkan di betawi disebut dengan malem pacar. Walaupun beragam namanya, namun makna dan tujuannya tetap sama. Sebab tradisi itu berasal dari rumpun budaya yang sama.


Kepraktisan yang Mengikis Budaya

Kemajuan zaman dan modernisasi membuat tradisi malam berinai mulai terkikis dari keasliannya. Malam berinai yang sejatinya dilaksanakan selama tiga malam berturut dipersingkat menjadi hanya satu malam saja. Herlina menyebutkan banyaknya waktu yang dibutuhkan membuat masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan malam berinai lebih singkat dan cepat.


Menurut Herlina, masyarakat sekarang tak lagi memegang pepatah biar lambat asal selamat, akan tetapi sekarang masyarakat sudah banyak yang beranggapan boleh cepat asalkan tepat sasaran dan tujuan utamanya tercapai. “Biarlah cepat tapi harus tepat, yang penting tujuan utamanya tercapai,” jelasnya.


Walaupun begitu, malam berinai masih dilakukan, namun inai curi jarang dilakukan. “Langsung ke inai besarnya aja,” tambahnya.


Berdasarkan nilai filosofisnya. Malam berinai tidak lagi diartikan sebagai pemberi kekuatan gaib, Karena perkembangan agama, berinai diartikan sebagai pertanda seorang gadis telah memiliki suami guna menghindarkan dari fitnah. “Enggak inai itu lagi yang kita anggap sebagai suatu pemberi kekuatan, tetapi karena itu merupakan bagian dari kebudayaan maka itu tetap ada,” tutup Herlina.  

*Tulisan ini dimuat di Tabloid SUARA USU edisi 92

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com