Judul film: Java Heat
Sutradara: Conor Allyn
Produser: Conor Allyn, Rob
Allyn, Seth Baron
Pemain: Ario Bayu, Atiqah
Hasiholan, Kellan Lutz, Mickey Rourke
Distributor: Margate House
Rilis: April 2013
Durasi: 98 Menit
Sebuah film yang (lagi-lagi)
diproduksi oleh sineas luar negeri berhasil mengangkat budaya dan nilai-nilai
Jawa di balik pencarian pelaku dan motif teror bom Yogyakarta.
Conor Allyn kembali produksi sebuah film yang mengangkat budaya dan perjuangan Indonesia, setelah sebelumnya berhasil dengan trilogi garuda; Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), dan Hati Merdeka (2011). Bedanya kali ini Conor angkat genre action di Film Java Heat.
Conor Allyn kembali produksi sebuah film yang mengangkat budaya dan perjuangan Indonesia, setelah sebelumnya berhasil dengan trilogi garuda; Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), dan Hati Merdeka (2011). Bedanya kali ini Conor angkat genre action di Film Java Heat.
sumber: istimewa |
Kali ini Conor ceritakan perjuangan seorang Letnan dari Kepolisian Republik
Indonesia yang tergabung dalam Detasemen Khusuh (densus) 88 anti teror, seorang
Letnan bernama Hashim, (diperankan oleh Ario Bayu) yang berusaha menguak siapa
pelaku teror bom disebuah upacara adat di Keraton Yogyakarta. Dibantu oleh
seorang letnan dari marinir USA, Jake Travers (diperankan oleh Kellan Lutz).
Cerita bermula ketika bom meledak di Keraton Yogyakarta disaat pesta
penobatan Sultana (diperankan oleh Atiqah Hasiholan) menjadi pengganti Sri
Sultan Hamengkubuwono XX. Sultana menjadi korban bom tersebut, Jake Travers
berada disana menyaksikan sehingga ia ditahan untuk jadi saksi. Letnan Hashim
lah yang mengintrogasinya, karena misi yang diembannya tak ingin diketahui
siapapun Jake menyamar sebagai asisten dosen yang mengajar untuk kesenian dan
budaya Asia Tenggara.
Hingga suatu saat penyamarannya diketahui oleh Letnan Hashim. Ia tahu
persis mereka sedang meyelesaikan kasus yang sama, namun mereka tak bisa
bekerjasama dan memutuskan untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan cara
mereka masing-masing.
Di sela-sela alur cerita yang terus bergerak maju, Conor menyisipkan budaya
dan nilai jawa yang begitu kental terasa ditengah era modernisasi teknologi.
Misalnya ketika Letnan Hashim mengenalkan panggilan “mas” pada Jake, batik dan
becak kayuh yang identik dengan keraton Yogyakarta. Bahkan disatu scene ada dua orang wanita dengan
pakaian adat jawa tengah mematung memperagakan tarian jawa, pose mereka terus
berganti dalam beberapa detik. Tak lupa Conor juga sempat tampilkan pertunjukan
wayang ditengah keramaian pasar malam yang dipenuhi oleh wanita malam, waria
dan diskotik. Namun yang tak saya mengerti adalah kenapa Conor menggunakan
orang asing untuk memerankan Sultan Hamengkubuwono XX.
Tak hanya nilai dan budaya Jawa, melalui film ini Conor coba tunjukan pada
dunia toleransi tinggi antar umat beragama di Indonesia, seperti tak ada sekat yang membatasi umat Islam,
Nasrani dan Budha, buktinya Letnan Hashim memandikan jenazah anak buahnya yang
kristiani di pelataran masjid. Conor juga coba jelaskan bagaimana paham jihad
yang sebenarnya, melalui tokoh bernama Ahmad, seorang penganut Islam yang taat
dan bersedia berjihad, ia bekerja di bawah perintah Malik (diperankan oleh
Mickey Rourke). Terjadi pertentangan antara mereka ketika Malik melibatkan
orang-orang yang tak bersalah dalam aksinya. “Jihad tidak mengijinkan
keterlibatan orang-orang yang tidak bersalah,” begitu ucap Ahmad.
Puncak cerita terasa dikala diculiknya keluarga Letnan Hashim oleh Malik.
Jake tahu itu, ia menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Hashim guna
menangkap Malik. Disinilah Jake jelaskan semua hasil penyelidikannya selama
ini. Rupanya motif pengeboman Keraton Yogyakarta tempo hari lalu bukanlah
didalangi oleh teroris melainkan usaha Malik guna memuluskan langkahnya mencuri
kalung berlian turunan kerajaan Majapahit yang dipakai oleh Sultana ketika
pengeboman terjadi, Malik kerjasama dengan Perdana Menteri Keraton yang ingin
mengkudeta kedudukan Sultana untuk menjadi Sultan Hamengkubuwono XXI.
Kembali nilai budaya keraton sangat terasa di sini, semua yang tinggal
dilingkungan keraton memakai sarung dan baju batik. Coba sedikit modern, mereka
dilengkapi dengan senjata api bukan senjata tradisional seperti keris.
Candi Borobudur menjadi latar tempat yang sempurna untuk mengakhiri cerita
ini. Di tengah perayaan umat Budha yang berkumpul di pelataran candi, Malik
muncul sambil membawa Sultana yang ternyata masih hidup. Semua yang hadir di
sana terkejut melihat Sultana yang masih sehat. Sultana dan Malik mendaki
puncak Borobudur yang diikuti oleh Jake dan Letnan Hashim. Terjadi baku tembak
di puncak Borobudur yang akhirnya dimenangkan oleh Jake dan Letnan Hashim,
sayangnya ending yang muncul di sini
tak kllimaks dan bisa ditebak.
Secara keseluruhan Conor sukses membuat kita kembali merenungi budaya
sendiri agar tak punah ditelan kemajuan zaman. Kita boleh gunakan teknologi
secanggih apapun tapi jangan lupakan warisan budaya kita. Pesan tersebut sangat
terasa ketika salah seorang prajurit keraton yang gunakan Ipad untuk melacak
keberadaan Letnan Hashim dan Jake namun mereka tetap gunakan kostum tradisional
yaitu pakaian adat jawa. Dengan kualitas pengambilan gambar yang nyaris
menyamai film Holywood harusnya bisa memacu semangat anak negeri untuk hasilkan
film dengan genre serupa sayangnya dalam film ini hanya budaya Jawa yang
ditampilkan sehingga takutnya memberi kesan bahwa Indonesia hanyalah Pulau Jawa
saja. Kesan itu makin terasa dengan adanya poster yang bertuliskan Pemerintah yang kuat untuk Jawa yang lebih
baik.
Pun penggunaan bahasa Inggris di hampir semua adegan dan percakapan bahkan
di lingkungan Keraton, ada baiknya tetap gunakan bahasa Jawa jika mengambil
gambar di Keraton sehingga kesan mengangkat budaya akan makin terasa di film
ini.