Atas dasar hati nurani,
bermodalkan keikhlasan. Hamidah dan keluarga mau berbagi hidup dengan kera-kera
ini, bahkan memperlakukannya selayaknya keluarga.
Penulis: Baina Dwi Bestari dan Gio Ovanny Pratama
Hutan
Sibaganding, Parapat bukan tempat menarik di tahun 1980-an. Tidak ada apa-apa.
Tapi ada Umar Manik yang hidup di situ. Bersama istrinya Hamidah, ia hidup
dengan keadaan ekonomi yang jauh dari kata layak. Umar dan Hamidah memutar otak
mencari cara untuk menyambung hidup.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk berkebun di tengah hutan tersebut.
Gapura Pintu Masuk Taman Wisata Kera di Sibaganding, Parapat | Rida Helfrida Pasaribu |
Mereka
memilih menanam timun, pisang, labu dan daun sup yang dirasa berumur muda dan
tidak butuh waktu lama untuk panen. Karena nantinya hasil panen itu akan mereka
jual untuk dapat uang.
Setelah
merawat dan menunggu dengan sabar, tibalah waktu panen. Panen pertama mereka
bisa dikatakan berhasil. Semua tanaman tumbuh dengan subur. Akhirnya, mereka
memutuskan untuk melanjutkan kegiatan berkebun itu.
Mereka
lagi-lagi menanam tanaman yang sama di kebun mereka. Dan tibalah waktu panen
kedua.
Tapi,
ternyata mereka tidak semujur sebelumnya. Tanaman mereka kali ini banyak yang
rusak. Selidik punya selidik, ternyata kebun mereka ‘dikunjungi’ oleh penghuni
asli hutan tersebut yaitu kera-kera hutan Sibaganding.
Tidak
kehilangan akal, Umar dan Hamidah punya cara sendiri untuk mengatasi kera-kera
tersebut. Mereka mencoba meracuni gerombolan kera tersebut agar jera dan
tidak lagi mengganggu tanaman mereka. Namun rupanya kera-kera tersebut
seakan-akan tahu bahwa itu adalah racun. Racun yang disediakan seperti makanan
di ladang perkebunan mereka tak disentuh sedikit pun oleh kera malah tanaman
di kebun mereka tetap berkurang.
Namun
Umar dan Hamidah belum menyerah. Mereka berniat melakukan hal yang sama
keesokan harinya.
Malam
harinya ketika Umar sedang di rumah, Ompung Sinaga, leluhur yang dulunya menghuni hutan Sibaganding
datang menemuinya. Ompung Sinaga marah padanya. “Jangan kau racuni kera-kera
itu, rawatlah mereka, kasih makan, nanti kau bisa dapat nama,” katanya.
Umar
tidak mengerti maksudnya. Tapi, sebelum ia sempat bertanya, Ompung
Sinaga sudah pergi. Umar mencoba tetap bertanya sampai akhirnya ia tersentak
dan terbangun dari tidurnya.
Ternyata,
Ompung
Sinaga menemuinya dalam mimpi.
Umar
yang kebingungan langsung menceritakan perihal dalam mimpinya ke Hamidah. Bukan
membantu, Hamidah malah ikut bingung. “Apalah artinya dapat nama?” tanyanya.
Ternyata,
mimpi itu tidak datang sekali. Keesokan harinya, Umar bermimpi hal yang sama.
Bermodalkan
rasa penasaran, akhirnya mereka bertanya kepada tetua di kampung perihal mimpi
itu. Si tetua menjelaskan kalau mereka seperti diberi amanah untuk menjaga dan
merawat kera-kera di hutan Sibaganding. Sejak saat itu, Umar dan Hamidah berhenti
meracuni kera-kera tersebut dan malah menjaganya.
Mereka
memberi makan dan merawat kera-kera tersebut seperti keluarga sendiri.
Tak
lama dari itu, Umar dan Hamidah memutuskan untuk berhenti berkebun dan memilih
untuk menjual kayu bakar. Hasil penjualan kayu bakar tersebut mereka pakai
untuk membeli pisang, kacang dan makanan lain untuk diberikan pada kera-kera
itu. Gerombolan kera yang datang ketika mereka mulai memberi makan bisa
mencapai 30 sampai 50 ekor tiap waktunya.
Tapi,
sejak adanya mimpi tersebut memang Umar dan Hamidah merasa bertanggung jawab
atas kera-kera itu.
***
Abdurrahman
mulai menapaki anak tangga yang semennya sudah hancur, tidak sama di setiap
lantainya. Anak tangga itu basah, berlumut. Di kiri kanan jalan terdapat
batu-batu besar dan bekas aliran sungai. Rahman sedang menuju tempat memanggil
dan memberi makan kera yang berada di dalam hutan. Nama tempat itu Wisata
Penangkaran Kera, tertulis di gapura setinggi tiga meter sebelum anak tangga
pertama bisa dipijak.
Setelah
berhasil menapaki anak tangga yang kesekianpuluh, Rahman sampai di tempat yang
dituju. Tanah sepetak yang disemen tidak rata, tempat ia berniat mengumpulkan
kera-kera.
Rahman
kemudian mengambil terompet miliknya dari dalam kandang yang di dalamnya ada
tumpukan pisang, ubi dan kacang. Terompet yang dibuat dari tanduk kerbau itu
kemudian ia tiup kencang. “Tteettt, tettt…… Na e… Na e…” Begitu bunyi terompet yang
kemudian disusul oleh suara Rahman memanggil gerombolan kera dalam bahasa Batak
yang artinya ‘ayo… ayo…’
abdurrahman meniup terompet yang sering digunakannya untuk memanggil kera | Rida Helfrida Pasaribu |
Begitulah
cara Rahman memanggil kera-kera dari tempat persembunyiannya. “Saya pelajari
dari Bapak,” terangnya.
Menit
pertama tidak ada tanda-tanda kedatangan satu pun kera. Rahman pun terus meniup
lagi. Kali ini sambil memanggil nama-nama dari beberapa kera.
Berhasil, kera pun mulai berdatangan di menit selanjutnya.
Satu, dua, dan kemudian ramai hampir 30 ekor kera datang memenuhi pelataran
tadi, tepat di bawah kaki Rahman. Ada kera kecil, besar, siamang dan jenis
kera lainnya di sana.
Rahman
pun mengambil kotak yang berisi pisang dan mengeluarkan beberapa sisirnya.
Kemudian, ia membagi-bagi pisang tersebut ke kera-kera.
Tidak
ada rasa takut dari diri Rahman. Ia sudah terbiasa. Kera-kera itu pun menurut
saja. Ketika pisang sudah habis, Rahman menyuruh mereka pulang. Maka puluhan
kera itu pun pulang dengan teratur.
Rahman
adalah penjaga Wisata Penangkaran Kera yang ada di Parapat, Sumatera Utara ini
sekaligus anak dari Hamidah. Untuk alasan tertentu Umar tak lagi bersama
mereka. Jadilah sekarang mereka berdua yang mengurus tempat ini.
Mereka
bukan orang kaya sekarang. Masih seperti dulu, hidup serba pas-pasan.
Tapi,
Hamidah akui ia sudah merasa bertanggung jawab atas kera-kera di hutan
Sibaganding ini. Ia khawatir tentang makanan kera kalau mereka berhenti memberi
makanan. “Ketika kita memberi makan sedikit saja mereka turun ke jalan raya
berharap dari pengunjung Danau Toba. Dan kalau udah
ke jalan, enggak sedikit yang mati tertabrak,” ungkapnya.
Atas
dasar nurani itulah Hamidah tetap melanjutkan usahanya sebisa mungkin menjaga
kera-kera itu hingga dilanjutkan oleh anaknya.
Tapi,
ada yang berbeda dari cara mereka mendapatkan makanan untuk kera.
Ketika
zaman Soeharto, banyak turis dan wisatawan yang datang berkunjung ke tempat
ini. Dari situlah sumber dana banyak mengalir untuk membiayai makan kera dan
kehidupan mereka sehari-hari. “Kalau dihitung waktu itu lima juta enggak kemana
lah,” ujarnya.
Tapi
sekarang wisatawan sudah mulai sedikit, kata Hamidah. Perhatian dari pemerintah
hampir tak ada. Untuk makan kera murni bergantung dari wisatawan yang datang,
dari situlah mereka meminta sumbangan seikhlasnya. Mereka juga tak mempunyai
pekerjaan lain karena sibuk mengurusi kera-kera tersebut. Untuk kebutuhan
sehari-hari mereka membuka kedai kecil yang menjual makanan dan minuman ringan di depan gapura tadi. “Kalau
kami kerja tak ada yang bisa mengurusi kera ini,” ucap Hamidah sembari
memperlihatkan daftar sumbangan pengunjung.
Abdurrahman memberi beberapa biji kacang pada kera | Rida Helfrida Psaribu |
Kata
Rahman, sempat ada monumen yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Simalungun bertulisan Lokasi Penangkaran Satwa Langka di jalan setapak menuju
lokasi berkumpulnya gerombolan kera tadi. Namun, sudah tidak terlihat lagi
karena ditutupi lumut. Sebenarnya, tak hanya kalimat itu saja yang tertuliskan
di situ. Ada beberapa kalimat lagi yang sudah tak bisa dibaca karena tulisannya
sudah ditutupi lumut dan nyaris hancur. “Ya beginilah keadaannya sekarang,
jalanannya pun sudah tak diperhatikan lagi, kami tak punya dana untuk perbaiki
jalan dan batu ini,” kisahnya.
Rahman
berharap penangkaran monyet ini ada yang bantu. Baginya, dibantu dengan biaya
makan kera saja sudah cukup. “Kalau pun nanti ada yang menyumbang uang biar kami yang beli makannya. Tapi kalau
tidak ada ya awak pun juga susah untuk makan,” katanya sambil tertawa kecil.
Rahman
dan Hamidah sering mengajukan permohonan dana ke Pemkab Simalungun. Namun
permohonan tersebut tinggal permohonan saja. Tak ada tanggapan dari pemerintah.
Padahal menurut Rahman, tempat ini bisa jadi kebanggaan bagi putra daerah jika
merantau ke luar daerah. “Tapi, tidak lagi setelah keadaanya seperti ini.
Enggak ada lagi yang bisa dibanggakan,” ujarnya.
Tapi,
di tengah kesulitan tersebut mereka tak mau melepas begitu saja kera-kera yang
sudah sangat akrab dengan mereka. “Kami melestarikannya karena tak sengaja.
Kami ke sini untuk berladang bukan untuk mencari ketenaran dan uang dengan
melestarikan kera ini,” kata Hamidah.
Pun
begitu dengan Rahman. Sejak lahir ia sudah dibesarkan bersama kera. Baginya
kera-kera ini sudah dia anggap seperti keluarga, bahkan lebih dari keluarga
sendiri. Ia akan merasa sedih jika melihat keranya mati ditabrak mobil di
tengah jalan.
Ia
belajar dari bapaknya, Umar Manik cara berkomunikasi dan berteman dengan kera.
Ia tahu, Umar sangat menyayangi kera-kera ini. “Lebih baik aku berpisah dari
istri dan anakku dari pada sama keraku,” ucap Rahman menirukan kalimat
bapaknya.
Beberapa ekor kera menunggu untuk diberi makan | Rida Helfrida Pasaribu |
Butuh
Kerjasama dan Perhatian dari Pemerintah
Keberadaan
tempat penangkaran kera di Parapat ini membawa dampak positif bagi masyarakat
sekitar. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pedagang di daerah Penatapan,
Parapat, Hotmian Manurung. Menurutnya dengan adanya tempat penangkaran kera ini
jualannya jadi laku dibeli pengunjung untuk kemudian diberikan pada kera.
Pun
begitu dengan Juli Wiyanto, ia memiliki usaha rumah makan di Parapat.
Menurutnya tempat penangkaran kera tersebut bisa menjadi penunjang pariwisata
di daerah parapat. Walaupun sekarang kera-kera itu berserakan, namun itu
sebenarnya terkoordinir. Peran tempat penangkaran kera itu sendiri juga
sangat bermanfaat, bisa mengundang turis-turis lokal untuk datang selain Danau
Toba yang jadi daya tarik utama.
“Mereka
enggak ngambil keuntungan, mereka pelihara dan ngasih
makan kera, masyarakat sini juga senang dengan adanya ini. Baguslah mereka,”
tutur Juli.
Menurutnya
lagi mereka tidak memungut retribusi. Akan tetapi mereka menjual makanan kera,
seperti pisang kepada pengunjung, pengunjung beli dan uang itu mereka putar
lagi untuk membeli makanan lagi. “Masyarakat sini juga sebenarnya tak sering
membantu mereka tapi biasanya ada juga kok masyarakat yang mau membantu,
mudah-mudahan ada,” katanya.
Menurut
Hotmian untuk urusan pengelolaan seharusnya ada turut campur dari pemerintah, kalau hanya dari masyarakat saja tak
cukup, karena pertumbuhan kera sangatlah
cepat jadi nanti kalau mereka turun bisa mengganggu masyarakat. Hotmian bilang,
Hamidah dan keluarganya sebenarnya membantu di satu tempat saja, sedangkan
kera-kera itu masih banyak di daerah lain seputaran Sibaganding dan daerah
Penatapan.
Kata
Hotmian, pemkab turut campur hanya setelah tempat penangkaran itu maju, namun
setelah itu tak ada ditindaklanjuti. “Pemerintah mau enaknya aja,
mau uangnya tanpa ada bantu,” katanya.
Apa
yang kurang dari tempat penangkaran ini menurut Hotmian adalah hanya dicara
pengelolaannya saja. Ia berharap, hendaknya ada kerjasama antara keluarga
Hamidah dengan pemerintah. “Keluarga si Umar dikasih gaji dari pemerintah lalu
keluarga si Umar kasih makanlah (kera -red),”
ucap Hotmian dengan logat Bataknya.
Dampak
yang dirasakan Hormian sekarang adalah banyak kera yang sudah mulai liar karena
kelaparan. “Kalau dulu sewaktu Pak Umar masih mampu enggak seliar ini,” tambahnya.
Namun
begitu Juli mengapresiasi usaha keluarga Hamidah untuk menjaga dan merawat
kera-kera ini. “Mereka tak mengeluh, mampu mandiri. Dengan tak adanya biaya
yang turun dari pemerintah mereka berusaha sendiri dengan upaya mereka untuk
hidup, dan menghidupi kera-kera itu,” tutupnya.
*Tulisan ini adalah hasil liputan bersama untuk Majalah Mahasiswa SUARA USU edisi ke-4, terbit November 2013 lalu