Oleh: Gio Ovanny Pratama, Debora Blandina Sinambela, Ipak Ayu H Nurcaya, Rida H Pasaribu
Mereka tinggalkan kampung halaman
demi kehidupan lebih baik.Namun, di tengah perjalanan mereka hanya menemui
harapan palsu.
Kala
itu telah lewat tengah malam.Namun Zakir tak mengurungkan niatnya untuk
meninggalkan Mongdow Buthidang, sebuah perkampungan di Myanmar. Lelaki usia 20
tahun itu sudah siapkan segala keperluan mulai dari pakaian, beras, dan
pakaian. Bersama tujuh orang lelaki sekampungnya, ia bergegas naik perahu kayu
menuju dermaga. Di sana telah menunggu sekumpulan pria dari kampung lain. Usia
mereka sekitar 17-50 tahun. Malam itu, 129 orang tersebut akan berangkat
meninggalkan kampung halaman mereka dengan kapal kayu. Perjalanan tanpa arah
dan tujuan yang jelas.Zakir bilang, mereka mau pergi ke negara yang aman dan
bisa bekerja layak.Impian mereka, hanyalah ingin punya kehidupan yang lebih
baik.
Konflik
yang semakin parah di Myanmar adalah alasan kuat kepergian Zakir. Sebagai
penganut agama minoritas, ia merasa tak mendapat perlakuan layak dari
pemerintah setempat. Dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja, diskriminasi itu
tampak nyata.Ada dua jenis KTP yang diberlakukan pemerintah, Merah dan Putih.Zakir
dapat jatah KTP warna merah, yang berarti penduduk sementara.Hanya mereka yang
ber-KTP putih yang diakui sebagai warga negara.
Dampaknya,
Zakir tak bisa mendapat pekerjaan yang layak.Mayoritas perusahaan menolak
mereka yang ber-KTP merah, hingga mereka hanya bisa bekerja sebagai buruh kasar
atau petani.Kepergian Zakir juga terinspirasi dari abangnya yang pernah
melakukan hal serupa.Kini abangnya jadi pedagang di Bangladesh.Ia pun berhasil
mengantongi izin orang tuanya untuk mengikuti jejak abangnya.
Selama
17 hari mereka terkatung-katung di laut.Tanpa makan dan minum.Awalnya mereka
pikir di kapal bisa masak.Namun kapal terlalu kecil dan tak ada yang bawa
kompor.”Kami nekat.Peluangnya 90 persen mati, 10 persen hidup,” ujar Zakir.
Untuk
mengemudi kapal, mereka bergantian.Mereka hanya mengandalkan informasi dari
orang-orang yang sebelumnya sudah berhasil mencari jalan.Beruntung, mereka
berhasil tiba di perairan Thailand. Namun, kapal polisi Thailand menangkap
mereka karena tak punya izin berlayar
dan surat-surat penting lainnya. Mereka ditarik jauh ke tengah lautan oleh
polisi tersebut hingga keluar dari wilayah teritorital Thailand.
Selepas
itu, kapal mereka terbawa sampai ke perairan Indonesia, tepatnya di Aceh.Lagi,
mereka kembali ditangkap, kali ini oleh polisi perairan Indonesia.Mereka diberi
pilihan ke Indonesia atau ke Malaysia. Kalau di Malaysia, mereka bisa dapat
uang namun harus bekerja. Sementara di Indonesia, mereka tak boleh kerja namun
dapat uang saku dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka juga dijanjikan akan
diurus ke negara tujuan mereka, Australia. Dijanjikan lamanya pengurusan
memakan waktu hingga setahun.
Akhirnya,
rombongan itu pecah haluan.Ada 69 orang memilih ikut ke Indonesia, termasuk Zakir.
Selebihnya ke Malaysia dan beberapa negara lain. Babak baru kehidupan Zakir dan
kawan-kawannya pun dimulai.Awalnya mereka dibawa ke Pelabuhan Malahayati Aceh.
Selama dalam proses keimigrasian, mereka dikumpulkan di sel, khusus para
pendatang gelap.
Kemudian
dipindahkan ke Medan, ditampung di Hotel Pelangi.Seperti yang dijanjikan
sebelumnya, mereka mendapat uang saku setiap bulan, dan penginapan mereka juga
dibayar.Semua ditanggung PBB.
Selain
Zakir, ada pula Muhammad Zubair yang bernasib serupa.Ia adalah penduduk kota
Arkhan, yang terletak di bagian barat Myanmar. Kota itu lebih sering disebut Rakhaine
oleh kaum mayoritas Budha Myanmar. Selain itu, kota itu juga dihuni etnis
keturunan Rohingya, etnis muslim minoritas.
Sebagai
bagian dari muslim minoritas tersebut, Zubair tak pernah sekali pun mendapat toleransi
antarumat beragama.Kebebasan beribadah menjadi suatu kebutuhan rohani yang tak
bisa terpenuhi.Mesjid-mesjid yang mereka bangun banyak yang dibakar oleh kaum
mayoritas. Ibadah shalat Jumat harus dilalui dengan perasaan was-was, sebab
kaum mayoritas selalu menunggu di depan mesjid mengawasi mereka. Bahkan, sehabis
menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, Zubair dan penduduk lainnya tak bisa
berlebaran. Kebahagiaan di hari Besar Islam itu terasa terenggut nikmatnya
dengan larangan dari kaum mayoritas.
Puncaknya
adalah saat kota Arkhan dihabisi, semua gedung dibakar termasuk mesjid. Nyawa
etnis Rohingya terancam, Zubair bahkan kehilangan orang tuanya akibat kebakaran
tersebut. Alhasil, kini ia sebatang kara.
Nurul
Amin, teman seperjuangan Zubair memiliki video mengenai kerusuhan tersebut.
Video yang berdurasi selama dua puluh empat menit itu memperlihatkan kondisi
Kota Arkhan yang sudah rata dengan tanah setelah pembakaran
habis-habisan.Sepertinya peristiwa ini disengaja oleh pemerintah Myanmar. Hal
itu tampak dari dialog antara seorang wartawan dengan narasumbernya.
“They don’t prevent the
Rakhaine People, some shot people, they shots a lot of muslims,” ungkap salah satu
petikan wawancara di video tersebut. Ada pula petikan lain yang berbunyi ,“Only Buddhists can live there, Muslims can
not stay there.”
Keadaan
ini membuat Zubair memutuskanuntuk meninggalkan tanah kelahirannya demi mencari
kehidupan yang lebih layak.Iapun ke Bangladesh untuk kemudian naik kapal ke
Thailand.Senada dengan Zakir, Zubair pun tak punya tempat tujuan. Dari Thailand
ia lanjut ke Malaysia lewat jalur darat, melewati bukit dan pegunungan.
Sesampai
di Malaysia ia bekerja sebagai pedagang. Ia berjualan kelapa. Namun, Malaysia
ternyata belum mampu membuat hidupnya membaik, sebab statusnya sebagai warga
negara asing yang tak mendapat pengakuan pemerintah membuatnya menjadi incaran
petugas imigrasi Malaysia.Ia harus berpandai-pandai menghadapi petugas imigrasi,
sebab kalau tak demikian, ia bisa tertangkap.
Meskipun
begitu, ia pernah juga tertangkap tiga
kali, bahkan dipenjarakan selama setahun. Ia pun harus membayar denda sebesar
dua ribu ringgit Malaysia. “Tujuh tahun di Malaysia tak mengubah apa-apa pada
hidup saya,” ucapnya.
Tahun
2008 ia pun meninggalkan Malaysia dan berhasil sampai di Tanjung Balai,
Sumatera Utara dengan kapal. Lalu, ia langsung naik pesawat dari Medan ke
Kupang untuk selanjutnya ke Australia. Namun sesampainya di Kupang, ia
lagi-lagi tertangkap oleh pihak imigrasi Kupang dan kembali ia masuk bui selama
setahun. Oleh pihak imigrasi ia dipindahkan ke Medan sebab etnis Rohingya juga
banyak yang berada di Medan.
Wisma YPAP I di Jalan Bunga Cempaka no 4, Pasar III Padang Bulan, Selasa (2/10). Wisma ini menampung 119 Imigran asal, Afghanistan, Srilanka, Irak dan Myanmar. (Foto: Ridha Annisa Sebayang) |
***
Edy
Firyan sedang sibuk di ruangannya, nampak tiga berkas keimigrasian tengah ia
tandatangani. Sepertinya itu berkas-berkas warga Indonesia yang tengah mengurus
izin visa untuk berangkat ke luar negeri. Pria setengah baya ini adalah Kepala
Seksi Informasi Kantor Imigrasi Kelas I Polonia Medan.
Dengan
wajah yang sumringah ia menjelaskan, ada semacam Memorandum of Understanding (MOU) antara pemerintah Indonesia,
khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi dengan International Organization for
Migrations (IOM) yang berada dibawah
naungan PBB. MOU itu berisi pernyataan, pemerintah Indonesia bersedia menampung
para imigran sementara, sampai mereka mendapat
status kewarganegaraan di negara ketiga. Adapun segala kebutuhan dan fasilitas
yang diperlukan para imigran ditanggung oleh IOM sendiri.
Jika
proses mendapatkan kewarganegaraaan ketiga berhasil, maka imigran tersebut akan
dikirim ke negara yang dituju. Akan tetapi jika gagal mereka akan dikirim
kembali ke negara asal. “Peran Indonesia di sini hanya mengawasi, sebab sudah
ada lembaga yang menaungi mereka,” ungkapnya.
Edy
juga mengaku, umumnya proses untuk mendapatkan kewarganegaraan itu susah.
Negara tujuan pasti menyeleksi dulu imigran yang berminat. Edy bilang
negara-negara besar seperti Australia misalnya,
tentu tak mau menerima sembarang orang. Mereka hanya menerima imigran
yang pintar danpunya bakat.
Mengenai
para imigran yang sering tertangkap petugas imigrasi ketika hendak menuju
Australia, dikatakan Edy itu adalah salah satu bentuk pengawasan pada imigran, “Kita
tak menangkap, akan tetapi menampung para imigran tersebut untuk kemudian
mendatanya,” kata Edy.
Di
Medan sendiri, ada beberapa tempat penampungan para imigran. Zakir dan 89
imigran lainnya berada di Hotel Pelangi, Jalan Jamin Ginting, Medan Tuntungan,
sedangkan Zubair dan 119 imigran lainnya ditampung di Wisma (YPAP) I, Jalan Bunga Cempaka, Pasar III, Medan
Selayang. Tercatat ada 396 orang imigran yang ditampung di enam tempat yang
berbeda di kota Medan. 31 orang di Wisma YPAP II Medan Selayang, 45 di Hotel
Top Inn Medan Tuntungan, 83 di Wisma Shandy Putra Simpang Selayang, dan 29 di
Hotel Sentabi Medan Tuntungan. “Untuk alasan kemanusiaan, Indonesia bersedia
menampung para imigran, kita tak bisa main asal tendang gituaja,” ujar Edy.
Jumlah
santunan yang dicairkan oleh pihak IOM cukup untuk menghidupi mereka di
penampungan.Satu orang dapat Rp 1.25 juta perbulan.Mereka tak diperbolehkan
bekerja di Indonesia sebab mereka tak mengantongi dokumen resmi untuk bekerja.“Jangankan
bekerja, untuk mendapatkan status WNI saja mereka tak akan bisa,” tambahnya.Hal
ini berdasarkan UU No 12 tahun 2006 tentang status kewarganegaraan yang
mengatur tentang syarat-syarat menjadi WNI.
Meskipun
demikian, Edy berpendapat negara juga diuntungkan dengan kehadiran mereka.Santunan
yang mereka dapatkan dari IOM dibelanjakan di sini untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Tentu akan berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat sekitar.
Selain
mensubsidi para imigran, IOM juga membayar orang untuk mengajar Bahasa Inggris
pada imigran.Nardus adalah salah satunya.Nar sudah dua setengah tahun mengajar
anak-anak imigran belajar Bahasa Inggris, dan mendapat gaji sesuai jumlah waktu
dia mengajar.
Nar
mendapat informasi dari temannya yang juga mengajar anak-anak imigran.Dia
merasa terpanggil hatinya untuk ikut mengajar, lebih karena kasihan terhadap
anak-anak imigran yang mengungsi tersebut. Bahkan awalnya ia tidak mengetahui
akan digaji.
Beragam
imigran dia ajar, seperti dari Myanmar dan Filipina.Mulai dari anak-anak umur 4
tahun sampai 50 tahun.Khusus untuk pengungsi yang berada di Pasar III, ia
mengajar selama dua jam perhari pada hari Senin hingga Kamis. ia mengajar
sepuluh orang.
Nar
bilang, mengajar Bahasa Inggris anak-anak imigran jelas berbeda dengan mengajar
anak-anak Indonesia, “Kalau anak Indonesia kita kan bilang makan itu “eat”,
tapi kalau mereka terkadang kita harus memperagakan cara makan, agar mengerti,
karena biasanya kami mengajar campur anak-anak imigrannya,” jelas Nar.
***
Siang itu Zubair tengah beristirahat di kamarnya
yang berukuran empat kali lima meter. Ia mengenakan kaos merah dengan bawahan
sarung.Iamengaku sama sekali tak berniat untuk kembali ke kampung halamannya di
Myanmar. Meskipun masih terkatung-katung dengan ketidakjelasan status
kewarnegaraannya, ia mengaku nyaman tinggal di Indonesia. “Walaupun tak
diperbolehkan bekerja tapi kami tetap mendapat uang per bulannya,” ujar Zubair.
Selain
mendapat santunan dari IOM, mereka juga acap menerima berbagai santunan dan
bantuan dari masyarakat ataupun pihak-pihak tertentu yang peduli dengan
kehidupan mereka.“Lebaran kemarin kita dapat bantuan berupa beras, lauk pauk,
dan buah-buahan dari Indosat,” ucap Zubair sambil memperlihatkan kotak bantuan
tersebut.Ia juga mendapat kesempatan kursus komputer di Tricom, dengan jatah
tiga kali seminggu tanpa biaya sepeser pun.
Mengenai
proses untuk mendapatkan status kewarganegaraan, hingga detik ini masih belum
bisa mendapatkan kepastian. Selama tiga tahun di Indonesia status sebagai warga
negara tak kunjung juga didapatkan.
Begitu
juga dengan Zakir, sudah 17 bulan sejak penangkapan mereka, hingga kini proses
yang mereka jalani pun belum jelas. Beberapa imigran gelap lain di penginapan
mereka sudah di urus ke negara tujuan. Namun nasib 69 warga Myanmar tersebut
belum jelas. “Sabar saja, masih dalam proses. Kami mau dimana saja, yang penting
nanti punya KTP,” harap Zakir.
Tulisan ini juga di muat di rubrik Laporan Khusus Tabloid Mahasiswa SUARA USU edisi 89, Oktober 2012.
@anakostteXas
0 komentar:
Posting Komentar