Logo portal berita online Pers Mahasiswa SUARA USU |
Ruangan sederhana beralaskan lantai biasa itu menjadi tempat sekelompok mahasiswa dan mahasiswi USU untuk membahas wacana-wacana aktual kampus. Setiap malam mereka berkumpul, berbagi informasi dan diskusi segala hal yang dianggap penting. Begitulah suasana yang tergambar di sekretariat Pers Mahasiswa Suara USU.
Puluhan mahasiswa sambil duduk di lantai membahas berbagai topik yang akan proyeksikan menjadi berita yang akan dikonsumsi publik. Laiknya redaksi di perusahaan media profesional, pembagian manajemen kerja pun diatur jelas. Ada yang bertugas sebagai pemimpin umum, pemimpin redaksi, reporter, sirkulasi hingga bagian pemasaran.
Semuanya dirangkai terstruktur guna menjadikan wadah pers mahasiswa ini sebagai tempat belajar jurnalistik, yang nantinya memperjuangkan aspirasi mahasiswa USU. Sejak berdiri 1 Juli 1995, Suara USU mengalami perkembangan signifikan sebagai satu-satunya lembaga pers mahasiswa di USU. Meskipun pendanaanya masih berada di bawah naungan rektorat USU sendiri.
Semangat jurnalismenya juga tidak selalu mulus karena harus berhadapan sengit dengan pihak Rektorat dan juga mahasiswa sendiri. Salah satu contoh ketika peristiwa pembredelan Suara USU oleh oknum tertentu akibat tersinggung dengan pemberitaan mereka pada tahun 2004 silam. Begitu juga dengan pihak rektorat yang merasa gerah dikritik pedas akibat terbukanya kebobrokan sistem pendidikan, keuangan dan lain-lain yang mereka anut saat itu.
Namun, semua pengalaman mereka yang ditorehkan ke karya jurnalistik terus lahir dari generasi ke generasi. Membentuk jurnalis profesional yang saat ini alumninya banyak berkiprah media besar di Indonesia. Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara USU Aulia Adam saat ditemui di sekretariat Suara USU belum lama ini menceritakan suka dukanya saat menjalani aktivitas jurnalisme kampus.
Mulai dari mahasiswa yang kurang koperartif dengan kondisi kampus hingga pihak rektorat dan juga dekanat yang sulit ditemui. Hingga menutup keran informasi bagi penugasan peliputan. “Karakternya di USU yang seperti ini. Kalau beritanya bagus seputar prestasi, mereka menyambutnya hangat. Tapi begitu ada berita kritikan, banyak yang mengelak, meskipun sudah kita bawa kartu pers dan surat penugasan,” kata Adam.
Kendati demikian, hal tersebut bukan menjadi alasan seorang jurnalis kampus tidak dapat memperloleh informasi. Sebab mereka yang di lapangan pun dibekali oleh strategi jurnalis agar perlahan narasumber nyaman untuk memberikan keterangan. Adam menjelaskan, Suara USU sendiri menghasilkan karya jurnalis dalam bentuk tabloid, majalah, portal media online serta koran dinding yang ditempel di setiap fakultas.
Untuk tabloid sendiri terbit setahun lima kali, majalah satu kali setahun. “Tabloid Suara USU sudah edisi 95. Majalah sudah 6 edisi, sementara portal media online dan koran dinding hampir setiap harinya selalu ada,” ucap mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU ini.
Untuk tabloid sendiri dicetak sekali terbit sebanyak 1.500 eksemplar seharga Rp3.000. Sedangkan untuk majalah Rp10.000. Adam menyebutkan, penguatan para anggota sesuai bidangnya turut diperkuat. Di antaranya memberlakukan sanksi peringatan kepada setiap anggota yang tidak datang rapat selama dua kali berturut. Begitu juga dengan pengerjaan tugas diberikan waktu deadline agar proses karya jurnalistik dapat tepat waktu dan disiplin.
Untuk masa persiapan dari rapat proyeksi hingga penerbitan tabloid Suara USU membutuhkan waktu selama satu bulan. “Prosesnya memang tidak cepat. Seminggu anggota wajib rapat dua kali hingga larut malam. Repoter meliput di lapangan serta redaktur mengedit tulisan masuk hingga layak dimuat di tabloid. Begitu juga dengan bidang-bidang yang lain saling terkait, jadi butuh anggota yang loyalitas hingga sampai tiga tahun masa baktinya, baru dikatakan alumni Suara USU,” kata Adam sembari menyebutkan anggota Suara USU saat ini berjumlah 32 mahasiswa dari berbagai fakultas di USU.
Dia menegaskan bahwa bergabung di Suara USU bukanlah mencari keuntungan dengan penjualan tabloid atau majalah, melainkan sebagai tempat belajar jurnalistik. Adapun yang menjadi kendala selama ini di antaranya pembagian waktu antara berorganisasi Suara USU dengan kuliah di kampus. “Diakui memang membagi waktu antara kuliah dengan Suara USU agak sulit. Tapi dengan kesadaran sendiri, perlahan lahan dapat diatasi, yang penting masing-masing anggota punya tanggung jawab,” ungkapnya.
Selain paham akan tanggung jawabnya sendiri, anggota Suara USU juga dilatih untuk mampu menyusun kepanitiaan. Salah satunya menyelenggarakan even Salam Ulos yang setiap tahunnya digelar dengan mengundang lembaga pers mahasiswa se- Indonesia. Dia pun berharap ke depan Suara USU lebih eksis menghadirkan berita yang berkualitas bagi masyarakat khususnya bagi civitas akademika USU.
“Suara USU telah berdiri selama 18 tahun. Besar harapan saya Suara USU terus mengarah ke kinerja jurnalistik yang lebih profesional,” harapnya. Salah seorang reporter Suara USU Tantry Ika Adriati mengaku mengemban tugas jurnalistik membuat dirinya lebih percaya berjumpa dengan pejabat rektorat atau dekanat dibanding dengan mahasiswa lainnya.
“Enaknya kita bisa sesering mungkin ketemu sama rektor atau dekan. Berdiskusi panjang. Kita gak segan ke fakultas yang berbeda, jadi gak segan lah sama mahasiswa yang lain,” kata mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU ini. Dia mengajak, mahasiswa yang lainnya untuk bergabung dengan Suara USU agar kehidupan kampus tidak hanya diisi dengan perkuliahan di dalam kelas. Namun juga kegiatan lapangan yang berbeda dari disiplin ilmu yang selama ini ditempuh.
“Salah satu yang paling saya suka jika tulisan kita dibaca banyak orang. Apalagi jika tulisan kita ditindaklanjti pihak rektorat. Misalnya mengenai fasilitas kampus, itu baru menarik. Jadi tugas saya bukan hanya jurnalis kampus, tapi turut memperjuangkan kepentingan mahasiswa,” pungkasnya. (RHOLAND MUARY Medan)
dikutip dari: http://www.koran-sindo.com/node/369724