Gunung
Pusuk Buhit di Kecamatan Sianjur Mula Mula Kabupaten Samosir dianggap keramat
oleh masyarakat Batak. Dipercayai di Gunung ini lah asal mula suku Batak lahir
dan berkembang. Saking keramatnya banyak calon-calon pejabat di Indonesia yang
datang guna berdoa dan memohon ridho untuk maju dipilkada. Bagaimana rasanya
mendaki di gunung keramat ini?
Danau Toba dari puncak Pusuk Buhit |
Jalur
yang kami tempuh itu bukanlah satu-satunya jalur menuju Pusuk Buhit karena kita
juga bisa mencapai Sianjur Mula-Mula via Berastagi-Kabanjahe-Sidikalang
melewati Puncak Tele dan berakhir di Sianjur Mula-Mula.
Desa Batu Hobon |
Pendakian
dimulai dari Desa Batu Hobon di Kecamatan Sianjur Mula-Mula dari sini kami
sudah terpesona oleh pemandangan indah desa di kaki Gunung Pusuk Buhit ini. Betapa
tidak, kami disuguhkan oleh hijaunya persawahan milik warga yang diselingi oleh
beberapa ladang. Danau Toba mengintip dari sisi kanan jika kita melihat ke
bawah. Yang tak kalah cantiknya adalah rangkaian perbukitan hijau yang
memanjakan mata yang seolah-olah berlomba menunjukkan bukit mana yang
tertinggi. Bukit tersebut ditumbuhi ilalang subur dan sedikit pohon Pinus, di
sela-sela bukitnya mengalir banyak air terjun yang semakin membuat indahnya
pemandangan. Suhu udara pun tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan
inilah potongan surga yang sengaja Tuhan jatuhkan ke Bumi.
Dari
sini terdapat Sopo Tatea Bulan yaitu deretan sebuah pendopo yang berisi patung-patung
keturunan Si Raja Batak, ada juga museum Toba Geopark Kaldera yang gedung
fisiknya sudah rampung namun masih menunggu kelengkapan alat dan fasilitas
lainnya agar bisa dibuka.
Jalur pendakian |
Kami
melanjutkan pendakian, menurut salah seorang rekan saya yang sudah pernah naik
ke Pusuk Buhit pendakian akan memakan waktu 5 jam. Kami mulai mendaki pukul
setengah dua belas siang. Jalur pendakian terbagi dua, ada jalur yang
berkelok-kelok dengan pendakian yang landai, kemudian ada juga jalur memotong
dengan pendakian yang tajam menembus ilalang-ilalang setinggi tubuh orang
dewasa. Jika kuat mendaki jalur memotong adalah pilihan terbaik agar bisa cepat
sampai ke puncak. Semakin jauh ke atas semakin bagus pemandangan yang muncul.
Pukul
empat sore kami tiba di sebuah dataran yang lumayan landai. Dataran ini cukup
luas terdapat sebuah lapangan yang disemen seluas lapangan basket. Tak jauh
dari situ terdapat sebuah altar dengan batu besar tempat pelaksanaan upacara
adat dan keagamaan suku Batak. Tentunya agama asli Suku Batak yaitu Agama Malim
atau yang dikenal dengan Parmalim. Sayangnya tempat itu sudah ditumbuhi
ilalang-ilalang tinggi sehingga terkesan tempatnya tak terurus.
Dari
sini menuju puncak tinggal satu jam lagi namun kami memutuskan untuk menginap
satu malam sembari memasak bekal dan memulihkan energi kembali. Di sini
terdapat sumber mata air sehingga kebutuhan air para pendaki bisa terpenuhi.
Kami
menunggu malam pergantian tahun bersama pendaki lain di area camping ini. Sore itu hanya ada 6 tenda
(termasuk 2 tenda kami) yang berdiri, namun menjelang malam pendaki lainnya
mulai menyusul. Di area camping ini
puncak Pusuk Buhit mulai nampak, sekilas kami melihat ada tenda yang berdiri di
puncak. Memasuki detik-detik pergantian tahun kami dan beberapa pendaki lain
ada yang membawa kembang api dan petasan, tak ayal seketika suasana menjadi
riuh karena suara-suara petasan dan kembang api tersebut kami pun saling
mengucapkan selamat tahun baru.
Esok
paginya setelah sarapan kami bersiap hendak menuju puncak. Jalur pendakian
masih sama didominasi oleh ilalang yang tumbuh subur setinggi tubuh orang
dewasa. Kami sampai di puncak Pusuk Buhit setelah satu jam mendaki. Pemandangan
luar biasa indah membentang dihadapan kami. Kami bisa melihat setengah dari
keseluruhan Danau Toba dari sisi Utara hingga sisi Selatan, kami juga bisa
melihat setengah sisi Pulau Samosir, awan menggantung dan kabut tipis menghiasi
indahnya biru air Danau Toba. Pohon Pinus yang banyak tumbuh mengeluarkan bunyi
layaknya hujan yang turun deras ketika disapa angin. Kami juga menemukan Parsaktian
(tempat peribadatan) dan Bendera Batak yang disandingkan dengan bendera merah
putih.
Kami
kembali mendirikan tenda dan menginap satu malam di puncak. Kami juga bertemu
dengan pendaki lain yang sudah mendirikan tenda di sana. Tak mau ketinggalan
pendaki lain turut menyusul kami ke puncak.
Menjelang
sore kabut awan mulai turun, suhu udara menjadi sangat dingin. Kabut turun
membawa tetesan embun, angin yang berhembus membuat cuaca seolah-olah hujan
kami berlindung di dalam tenda. Keadaan tersebut terus bertahan hingga esok
paginya. Karena itu pula kami tak bisa memasak makan malam.
Parsaktian di Puncak Pusuk Buhit |
Setelah
satu malam bertahan di tenda, esok paginya kabut mulai berkurang sedikit, kami
bisa menikmati indahnya matahari terbit dari sisi timur Danau Toba sembari
memasak sarapan. Kami tak lupa untuk mengabadikan indahnya momen tersebut.
Pukul sepuluh pagi kami bersiap untuk turun dari Gunung keramat ini. Semua
kenangan indah yang diberikan alam dan Gunung ini akan selalu membekas di
memori kami semua.
Harus
Menjaga Perilaku dan Sopan Santun
Selama
perjalanan pendakian dan berkegiatan di Pusuk Buhit ini para pendaki
diwanti-wanti untuk tetap menjaga tingkah laku dan kesucian gunung. Pendaki
dilarang berkata kotor, bertindak vandalisme dan perbuatan asusila. Untuk
mengambil air di sumber mata air juga harus permisi dulu. Masyarakat sekitar
dan Suku Batak umumnya mengganggap Gunung ini sebagai tempat keramat.
Kejadian
yang tak akan kami lupakan terjadi saat hari kedua kami di Pusuk Buhit. Saat
itu kami tengah bersiap membersihkan tenda setelah sarapan di area camping ground. Kami hendak berangkat
menuju puncak.
Saat itu
datang beberapa penduduk sekitar, mereka didominasi oleh wanita-wanita tua dan
beberapa anak-anak yang masih belia, kami memanggilnya ompung. Kalau dilihat
dari arah datangnya mereka habis menuruni puncak Pusuk Buhit, mereka baru saja
beribadah di Puncak. Salah seorang diantaranya berbicara dalam bahasa Batak
pada beberapa pendaki, dari kalimat yang disampaikan oleh si penerjemah
terlihat si Ompung sedang marah dan kesal pada beberapa pendaki. Ia marah
karena ada oknum pendaki buang air besar disumber mata air yang ia miliki.
“Jangan kau kotori airku, kalau mau BAB cari tempat jauh-jauh dan kubur di
dalam tanah,” begitu kata si Ompung jika diterjemahkan.
Ia
juga mendatangi kelompok pendaki lainnya memberikan nasehat-nasehat, inti
nasehat itu adalah jangan berbuat sembarangan di Pusuk Buhit ini. Misalnya
berkata kotor atau mengotori alam bahkan berbuat asusila. Masyarakat sekitar
menganggap gunung tersebut sebagai tempat suci dan tempat beribadah sehingga
harus dijaga kesucian dan kebersihannya. “Jangan sampai kubuat gila kau nanti
ya,” tambah si Ompung yang kemudian diterjemahkan oleh beberapa orang yang
mendampinginya,
Ternyata
kejadian itu bukan hanya dialami oleh kami yang di camping ground saja. Di tengah perjalanan kami menuju puncak Pusuk
Buhit kami berpapasan dengan pendaki lain yang hendak turun dari puncak. Mereka
memperingatkan kami agar tidak usah ke atas bahkan jangan mendirikan tenda.
Sebab mereka juga sempat dimarahi oleh ompung yang sama. Menurut mereka, ompung
tersebut marah karena sampah pendaki berserakan dan tempat peribadatan mereka
menjadi kotor akibat ulah pendaki yang tidak bertanggung jawab. “Turun kalian
semua, kalau tidak hal aneh akan terjadi pada kalian,” ucap salah seorang dari
mereka menirukan ucapan sang Ompung.
Setelah
berdiskusi kami pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan tentunya kami
harus minta izin pada beberapa masyarakat yang masih berada di sana, jika tak
diizinkan menginap paling tidak kami bisa mengambil beberapa foto. Niat baik
kami ternyata diterima, beberapa orang yang baru saja selesai beribadah
membolehkan kami untuk menginap dengan syarat tetap menjaga kebersihan, tidak
mengganggu bahan sesajian dan tidak berbuat yang tidak-tidak.
Danau Toba di pagi hari |
Keramatnya
gunung ini juga terlihat dari banyaknya sesajian yang diantarkan oleh penduduk
sekitar. Diperjalanan pulang kami melihat masih banyak penduduk yang ingin
mendaki sambil membawa beberapa ekor ayam putih dan beberapa sesajian lainnya.
Beberapa rekan sependakian pun menuturkan para pejabat yang hendak maju pada
pilkada juga banyak yang memohon doa di gunung ini.
Juru
kunci Aek Sipitu Dai, yang akrab disapa Bapak Sagala menuturkan bahwa jika
ingin mendaki hendaknya bawa 7 lembar daun sirih yang kemudian diletakkan pada
parsaktian. Menurutnya manfaat dari hal tersebut adalah menjaga keamanan dan
perdamaian dengan Ompung yang tinggal di Puncak Pusuk Buhit. “Paling tidak kita
menghargai walaupun kita tidak mempercayainya,” ucap Bapak Sagala.
*Tulisan ini terbit di Harian Medan Bisnis edisi Minggu
*Tulisan ini terbit di Harian Medan Bisnis edisi Minggu