Senin, 15 Februari 2016

Perjalanan Spiritual di Tanah Suci Batak

Gunung Pusuk Buhit di Kecamatan Sianjur Mula Mula Kabupaten Samosir dianggap keramat oleh masyarakat Batak. Dipercayai di Gunung ini lah asal mula suku Batak lahir dan berkembang. Saking keramatnya banyak calon-calon pejabat di Indonesia yang datang guna berdoa dan memohon ridho untuk maju dipilkada. Bagaimana rasanya mendaki di gunung keramat ini?

Danau Toba dari puncak Pusuk Buhit
             Libur panjang akhir tahun lalu saya bersama delapan teman lainnya berkesempatan untuk mendaki Gunung Pusuk Buhit yang memiliki ketinggian sekitar 1900 mdpl. Kami berangkat dari Medan Rabu tengah malam menggunakan angkutan umum menuju Parapat. Esok paginya setelah sarapan, kami menyeberang ke Tomok dengan kapal penyeberangan yang sudah menunggu. Sesampainya di Tomok kami harus naik kendaraan lagi selama dua jam menuju Sianjur Mula-Mula menggunakan angkot yang telah kami booking sebelumnya.
            Jalur yang kami tempuh itu bukanlah satu-satunya jalur menuju Pusuk Buhit karena kita juga bisa mencapai Sianjur Mula-Mula via Berastagi-Kabanjahe-Sidikalang melewati Puncak Tele dan berakhir di Sianjur Mula-Mula.
Desa Batu Hobon

            Pendakian dimulai dari Desa Batu Hobon di Kecamatan Sianjur Mula-Mula dari sini kami sudah terpesona oleh pemandangan indah desa di kaki Gunung Pusuk Buhit ini. Betapa tidak, kami disuguhkan oleh hijaunya persawahan milik warga yang diselingi oleh beberapa ladang. Danau Toba mengintip dari sisi kanan jika kita melihat ke bawah. Yang tak kalah cantiknya adalah rangkaian perbukitan hijau yang memanjakan mata yang seolah-olah berlomba menunjukkan bukit mana yang tertinggi. Bukit tersebut ditumbuhi ilalang subur dan sedikit pohon Pinus, di sela-sela bukitnya mengalir banyak air terjun yang semakin membuat indahnya pemandangan. Suhu udara pun tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan inilah potongan surga yang sengaja Tuhan jatuhkan ke Bumi.
            Dari sini terdapat Sopo Tatea Bulan yaitu deretan sebuah pendopo yang berisi patung-patung keturunan Si Raja Batak, ada juga museum Toba Geopark Kaldera yang gedung fisiknya sudah rampung namun masih menunggu kelengkapan alat dan fasilitas lainnya agar bisa dibuka.
Jalur  pendakian

            Kami melanjutkan pendakian, menurut salah seorang rekan saya yang sudah pernah naik ke Pusuk Buhit pendakian akan memakan waktu 5 jam. Kami mulai mendaki pukul setengah dua belas siang. Jalur pendakian terbagi dua, ada jalur yang berkelok-kelok dengan pendakian yang landai, kemudian ada juga jalur memotong dengan pendakian yang tajam menembus ilalang-ilalang setinggi tubuh orang dewasa. Jika kuat mendaki jalur memotong adalah pilihan terbaik agar bisa cepat sampai ke puncak. Semakin jauh ke atas semakin bagus pemandangan yang muncul.
            Pukul empat sore kami tiba di sebuah dataran yang lumayan landai. Dataran ini cukup luas terdapat sebuah lapangan yang disemen seluas lapangan basket. Tak jauh dari situ terdapat sebuah altar dengan batu besar tempat pelaksanaan upacara adat dan keagamaan suku Batak. Tentunya agama asli Suku Batak yaitu Agama Malim atau yang dikenal dengan Parmalim. Sayangnya tempat itu sudah ditumbuhi ilalang-ilalang tinggi sehingga terkesan tempatnya tak terurus.
            Dari sini menuju puncak tinggal satu jam lagi namun kami memutuskan untuk menginap satu malam sembari memasak bekal dan memulihkan energi kembali. Di sini terdapat sumber mata air sehingga kebutuhan air para pendaki bisa terpenuhi.

            Kami menunggu malam pergantian tahun bersama pendaki lain di area camping ini. Sore itu hanya ada 6 tenda (termasuk 2 tenda kami) yang berdiri, namun menjelang malam pendaki lainnya mulai menyusul. Di area camping ini puncak Pusuk Buhit mulai nampak, sekilas kami melihat ada tenda yang berdiri di puncak. Memasuki detik-detik pergantian tahun kami dan beberapa pendaki lain ada yang membawa kembang api dan petasan, tak ayal seketika suasana menjadi riuh karena suara-suara petasan dan kembang api tersebut kami pun saling mengucapkan selamat tahun baru.
            Esok paginya setelah sarapan kami bersiap hendak menuju puncak. Jalur pendakian masih sama didominasi oleh ilalang yang tumbuh subur setinggi tubuh orang dewasa. Kami sampai di puncak Pusuk Buhit setelah satu jam mendaki. Pemandangan luar biasa indah membentang dihadapan kami. Kami bisa melihat setengah dari keseluruhan Danau Toba dari sisi Utara hingga sisi Selatan, kami juga bisa melihat setengah sisi Pulau Samosir, awan menggantung dan kabut tipis menghiasi indahnya biru air Danau Toba. Pohon Pinus yang banyak tumbuh mengeluarkan bunyi layaknya hujan yang turun deras ketika disapa angin. Kami juga menemukan Parsaktian (tempat peribadatan) dan Bendera Batak yang disandingkan dengan bendera merah putih.
            Kami kembali mendirikan tenda dan menginap satu malam di puncak. Kami juga bertemu dengan pendaki lain yang sudah mendirikan tenda di sana. Tak mau ketinggalan pendaki lain turut menyusul kami ke puncak.
            Menjelang sore kabut awan mulai turun, suhu udara menjadi sangat dingin. Kabut turun membawa tetesan embun, angin yang berhembus membuat cuaca seolah-olah hujan kami berlindung di dalam tenda. Keadaan tersebut terus bertahan hingga esok paginya. Karena itu pula kami tak bisa memasak makan malam.            
Parsaktian di Puncak Pusuk Buhit

            Setelah satu malam bertahan di tenda, esok paginya kabut mulai berkurang sedikit, kami bisa menikmati indahnya matahari terbit dari sisi timur Danau Toba sembari memasak sarapan. Kami tak lupa untuk mengabadikan indahnya momen tersebut. Pukul sepuluh pagi kami bersiap untuk turun dari Gunung keramat ini. Semua kenangan indah yang diberikan alam dan Gunung ini akan selalu membekas di memori kami semua.


Harus Menjaga Perilaku dan Sopan Santun
Selama perjalanan pendakian dan berkegiatan di Pusuk Buhit ini para pendaki diwanti-wanti untuk tetap menjaga tingkah laku dan kesucian gunung. Pendaki dilarang berkata kotor, bertindak vandalisme dan perbuatan asusila. Untuk mengambil air di sumber mata air juga harus permisi dulu. Masyarakat sekitar dan Suku Batak umumnya mengganggap Gunung ini sebagai tempat keramat.
Kejadian yang tak akan kami lupakan terjadi saat hari kedua kami di Pusuk Buhit. Saat itu kami tengah bersiap membersihkan tenda setelah sarapan di area camping ground. Kami hendak berangkat menuju puncak.

Saat itu datang beberapa penduduk sekitar, mereka didominasi oleh wanita-wanita tua dan beberapa anak-anak yang masih belia, kami memanggilnya ompung. Kalau dilihat dari arah datangnya mereka habis menuruni puncak Pusuk Buhit, mereka baru saja beribadah di Puncak. Salah seorang diantaranya berbicara dalam bahasa Batak pada beberapa pendaki, dari kalimat yang disampaikan oleh si penerjemah terlihat si Ompung sedang marah dan kesal pada beberapa pendaki. Ia marah karena ada oknum pendaki buang air besar disumber mata air yang ia miliki. “Jangan kau kotori airku, kalau mau BAB cari tempat jauh-jauh dan kubur di dalam tanah,” begitu kata si Ompung jika diterjemahkan.
Ia juga mendatangi kelompok pendaki lainnya memberikan nasehat-nasehat, inti nasehat itu adalah jangan berbuat sembarangan di Pusuk Buhit ini. Misalnya berkata kotor atau mengotori alam bahkan berbuat asusila. Masyarakat sekitar menganggap gunung tersebut sebagai tempat suci dan tempat beribadah sehingga harus dijaga kesucian dan kebersihannya. “Jangan sampai kubuat gila kau nanti ya,” tambah si Ompung yang kemudian diterjemahkan oleh beberapa orang yang mendampinginya,
            Ternyata kejadian itu bukan hanya dialami oleh kami yang di camping ground saja. Di tengah perjalanan kami menuju puncak Pusuk Buhit kami berpapasan dengan pendaki lain yang hendak turun dari puncak. Mereka memperingatkan kami agar tidak usah ke atas bahkan jangan mendirikan tenda. Sebab mereka juga sempat dimarahi oleh ompung yang sama. Menurut mereka, ompung tersebut marah karena sampah pendaki berserakan dan tempat peribadatan mereka menjadi kotor akibat ulah pendaki yang tidak bertanggung jawab. “Turun kalian semua, kalau tidak hal aneh akan terjadi pada kalian,” ucap salah seorang dari mereka menirukan ucapan sang Ompung.
            Setelah berdiskusi kami pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan tentunya kami harus minta izin pada beberapa masyarakat yang masih berada di sana, jika tak diizinkan menginap paling tidak kami bisa mengambil beberapa foto. Niat baik kami ternyata diterima, beberapa orang yang baru saja selesai beribadah membolehkan kami untuk menginap dengan syarat tetap menjaga kebersihan, tidak mengganggu bahan sesajian dan tidak berbuat yang tidak-tidak.
Danau Toba di pagi hari

            Keramatnya gunung ini juga terlihat dari banyaknya sesajian yang diantarkan oleh penduduk sekitar. Diperjalanan pulang kami melihat masih banyak penduduk yang ingin mendaki sambil membawa beberapa ekor ayam putih dan beberapa sesajian lainnya. Beberapa rekan sependakian pun menuturkan para pejabat yang hendak maju pada pilkada juga banyak yang memohon doa di gunung ini.
            Juru kunci Aek Sipitu Dai, yang akrab disapa Bapak Sagala menuturkan bahwa jika ingin mendaki hendaknya bawa 7 lembar daun sirih yang kemudian diletakkan pada parsaktian. Menurutnya manfaat dari hal tersebut adalah menjaga keamanan dan perdamaian dengan Ompung yang tinggal di Puncak Pusuk Buhit. “Paling tidak kita menghargai walaupun kita tidak mempercayainya,” ucap Bapak Sagala.     


*Tulisan ini terbit di Harian Medan Bisnis edisi Minggu

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com