Hari kedua
di Nias, kami hendak menuju Teluk Dalam. Perjalanan dari Gunungsitoli menyimpan
cerita yang tak terlupakan, takjub, lucu dan horor.
Belum
ada transportasi regular di sini. Jangan harap anda akan temukan bus antar kota
seperti Bus Sumatera Transport atau Sinabung Jaya. Di sini jika ingin bepergian
sewa travel dulu, harganya bervariasi tergantung tujuan. Jika ke Teluk Dalam
dari Gunungsitoli ongkosnya Rp 250 ribu untuk pergi saja.
Menuju Teluk Dalam |
Karenya
kami putuskan sewa sepeda motor. Sebuah sepeda motor disewakan Rp 100 ribu per
harinya. Selain juga karena lebih praktis jika digunakan untuk liputan, sebab
kami akan bergerak kemana-mana. Penyewaan sepeda motor di Gunungsitoli pun
sebenarnya tak banyak, kebetulan saja kami dapatkan penduduk sekitar yang
bersedia menyewakan sepeda motornya untuk kami gunakan.
Kenapa
dilarang?
Sebab
akan banyak tindak kriminal yang akan terjadi. Mulai dari perampokan hingga
penodongan, beragam modus dilancarkan. Mulai dari pura-pura minta tolong,
menghambat jalanan dengan batang kayu atau secara sengaja muncul dengan
mengacungkan parang. Kami cukup ngeri mendengar
cerita itu. Rata-rata kejadian itu terjadi pada sore hari, maka dari itu sangat
diharapkan pukul tiga sore sudah sampai di Teluk Dalam dan menginap saja.
Kemudian
ada lagi cerita dari penduduk sekitar. Sewaktu Dian hendak menyewa sepeda
motor, dia juga dapat cerita. Beberapa penduduk pedalaman punya ramuan khusus
untuk membius targetnya. Ramuan itu disamarkan pada minuman yang biasa
dikonsumsi sehingga tak mencurigakan.
Jalanan dari Gunungsitoli-Teluk Dalam, cukup ikuti garis pantai |
Cara
mengantisipasinya ialah jangan terima ajakan minum atau makan ditengah
perjalanan, kalau benar-benar terpaksa cicip dulu sedikit. Jika setelah di
mulut, rasakan langit-langit dengan lidah, jika tak terasa geli seperti biasanya berarti ada racun.
Menghadapi
itu semua kami sepakat untuk tidak berhenti di tengah jalan sebelum sampai di
Teluk Dalam. Kemudian saya juga hubungi paman yang tinggal di Teluk dalam, ia
bilang memang ada beberapa kejadian seperti itu, namun jika bepergian di siang
hari tak masalah jalanan juga bagus dan sudah ramai. Dan lagi entah kenapa
diantara kami tak ada yang nyalinya ciut setelah dengar cerita itu, mungkin
memang berjiwa petualang.
Pukul
sebelas lewat tiga puluh menit kami sudah siap dengan peralatan dan kendaraan
menuju Teluk Dalam. Perjalanan akan memakan waktu paling lama empat jam.
Jalanan menuju Teluk Dalam tidak lah sulit. Cukup ikuti pantai di Samudera
Hindia karena jalanannya memang menyusuri pantai. Alhasil sepanjang perjalanan
kami dihibur dengan pemandangan pantai dan laut yang indah. Cuaca cerah
menambah indahnya pemandangan kala itu.
Airnya biru, beda sekali dengan lautan di Selat Malaka yang menjadi wisata di
Perbaungan sana.
Salah satu pantai di pinggir jalan |
Jalanan
sangat bagus, hanya sedikit yang berlubang. Jembatan penghubung juga sudah
bagus. Ada prasasti penanda bahwa jembatan itu hasil kerjasama pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Jepang. Namun selama perjalanan tak sedikit kami
temui penduduk sekitar yang membawa parang, kami jadi teringat dengan cerita
tadi. Karenanya kami sedikit ngebut
untuk menghilangkan rasa takut.
Pukul
setengah dua, sewaktu sedang asyiknya berkendara ada kejadian yang cukup
menggelikan. Sewaktu memasuki daerah persawahan Renti tampak sibuk dengan
tasnya. Beberapa detik kemudian Ponsel Dian dan Renti yang berada di dalam tas
Renti ‘melompat’ ke luar dan terjatuh.
Sontak
saya yang di belakang mereka berteriak dan membunyikan klakson. Setelah sadar
bahwa ponsel mereka terjatuh kami berhenti untuk mencari ponsel tersebut. kami
berkendara dengan kecepatan tinggi yang membuat ponsel tersebut langsung
tercerai berai dan terpelanting entah kemana. Kami berusaha mencari di kali dan
sawah-sawah penduduk. Namun yang berhasil ditemukan hanya lah baterai ponselnya
Renti dan casing belakang ponsel
Dian. Coba ditelpon namun tak aktif. Terang saja baterainya terlepas. Ohhh
sungguh malang nasibmu sobat hehehe.
Putus asa mencari ponsel |
Kemudian
saat tengah asyik mencari datang segerombolan pemuda mengendarai becak barang.
Paling tidak ada lima orang, yang membuat kami merinding adalah mereka
masing-masing membawa parang, beberapa ada yang bawa senapan. Ditambah lagi
mereka semua secara serempak melihat ke arah kami. Seketika suasana horor dan
hening, kami terdiam dan saling pandang memberi kode. Untuk menghilangkan rasa
takut saya pura-pura tak lihat berharap mereka cepat berlalu.
Untung
saja mereka hanya berlalu tanpa sepatah kata. Mereka juga terdiam kala itu. Terima
kasih Tuhan. Rupanya cerita-cerita tadi sudah jadi sugesti buat kami, sehingga
kami mudah terpengaruh. Bahkan muncul sebuah istilah dari kami: parang everywhere
Setelah
pencarian tak juga membuahkan hasil, dengan terpaksa Renti dan Dian harus
mengikhlaskan ponselnya. Kami harus lanjutkan perjalanan karena waktu sudah
menunjukkan hampir pukul dua, sedangkan pukul tiga sudah harus berada di Teluk
Dalam.
Suasana di sekitar Pantai Lagundri |
Sesampainya
di Lahusa –sebuah kecamatan di Teluk Dalam- kami singgah sejenak di rumah makan
milik paman saya. Saya sendiri sudah lama tidak berjumpa dengan paman. Kalau
tidak salah terakhir bertemu saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Kami
diajak makan siang sembari bercerita mengenai perjalanan dan keadaan keluarga
saya di kampung.
Kembali
kami dapatkan cerita. Saat saya bertanya berapa lama hingga sampai di Lagundri,
paman menjawab begini, “Bisa satu atau satu setengah jam lagi tergantung
kecepatan, jalanan sebenarnya bagus tapi kalian jangan ngebut, sebab banyak ternak penduduk yang berkeliaran, jika
tertabrak mereka bakal minta ganti rugi,”
“Anak
ayam saja yang tertabrak bisa ratusan ribu konon lagi kerbau, anjing, bahkan
babi, hati-hati saja” tambah paman.
Kami
kembali terdiam, untung selama perjalanan tadi tak ada ternak yang lewat. Kembali
kami lanjutkan. Paman juga tak bisa lama-lama sebab ia punya tugas persiapkan
pemilu esok.
Berbekal nasehat paman
akhirnya kami bawa motor sedikit lebih pelan. Benar saja beberapa kilometer sesudahnya
memang banyak ternak yang berkeliaran. Dian hampir menabrak anak ayam.
Aktivitas penambangan pasir di Pantai Lagundri |
Oh
iya selama perjalanan ini kami masih temukan penduduk yang membawa parang.
Sebenarnya tujuan mereka membawa parang adalah hendak mengambil kelapa ataupun
menyiangi tanaman dan sawah, bukan untuk mengancam ataupun bertindak
macam-macam. Kami saja yang tersugesti dan berpikiran aneh-aneh. Buktinya
ketika kami berhenti sejenak untuk bertanya arah mereka menjawab dengan
ramahnya. Berbeda sekali dengan cerita yang kami dengar sebelumnya.
Pukul
setengah empat kami sudah sampai di pusat kota Teluk Dalam. Sekitar setengah
jam setelahnya Dian hendak mengisi bensin. SPBU terdekat sudah terlewati di
pusat kota tadi, terpaksa lah mengisi di warung-warung kecil. Setelah bensin
kembali terisi kami lanjutkan perjalanan dan menemukan papan penunjuk arah ke
Pantai Sorake.
Kami
sedikit bingung, sebab berdasarkan informasi yang kami dapat, kami akan temukan
Lagundri terlebih dahulu. Kami putuskan untuk tetap susuri jalanan itu namun kami
tetap tak temukan Pantai sorake, tanda-tanda kehidupan pariwisata juga hampir
tak ada. Hanya ada penginapan-penginapan dan warung kecil. Kami putuskan untuk
bertanya pada warung tempat mengisi bensin tadi.
Pantai Lagundri yang sepi |
Rupanya
Pantai Lagundri tepat berada di depan warung itu. Kami pangling, tak ada
penanda bahwa itu adalah objek wisata yang terkenal itu. Tak ada gairah
kehidupan wisata, pantai sepi hanya ada aktivitas penggalian pasir. Ya memang
itu salah satu angle yang coba kami
angkat ditulisan nanti.
Saya
dan Renti langsung memulai liputan, mengingat waktu yang kami punya tak banyak.
Bersambung...
ah suka suka sukaaa, Nias selalu punya cerita hehehe
BalasHapuswonderful Nias
BalasHapus