Jumat, 02 Januari 2015

Selendang Merah

Aku terbangun saat kakiku tengah dipijat oleh Nina. Pijatannya terasa nyaman.

“Sudah bangun toh Ki,” sapanya.

“Oh iya Nina, kamu baik sekali.” Kataku membalas kebaikan hatinya.

“Ah kamu ini, kita kan saudara,” Balasnya.

Aku hanya membalas senyumannya sambil memikirkan sesuatu.

“Hmmm ngomong-ngomong aku kemarin jatuh kenapa ya?” tanyaku.

“Hahahaha kamu itu, memang lah ya, selendang yang kau pakai setiap hari itu loh yang 
buat kau tersandung,” jelasnya.

Aku tak percaya, aku memang selalu mengenakan selendang berwarna merah. Sejak kecil aku selalu nyaman mengenakan selendang ini. jika sehari saja aku tak mengenakannya hati ku terasa gelisah, serasa ada yang hilang.

“Ah mana mungkin aku bisa jatuh karena selendang ini, selendang ini kan tak begitu panjang sampai bisa membuatku jatuh.” Sanggahku.

“Terserahmu kalau tak mau percaya, aku melihatnya sendiri loh, kemarin itu selendangmu jatuh, salah satu kakimu menginjak ujungnya dan ujung yang lain menjerat kakimu hingga akhirnya kamu tersandung dan kepalamu kejedot dinding,” terang Nina.

“Oh begitu kah?” ucapku sambil melongo.

Aku menatap pada selendang merah yang selalu bersamaku selama dua puluh tahun ini. melihatnya aku seakan menonton kembali memori dua puluh tahu lalu saat seorang perempuan muda pergi meninggalkanku di sebuah gubuk kecil. Tak banyak yang bisa ku ingat, aku masih berumur setahun saat itu. Wanita itu masih begitu muda, ku taksir mungkin umurnya sekitar 21 tahun, seumur denganku di saat ini. Aku tak mengerti kenapa ia meninggalkanku, saat itu ia hanya berkata “Kamu sembunyi saja di sini, sejam lagi akan ada yang menjemputmu, pakai selendang merah ini untuk pertanda mereka,” ucapnya tergesa-gesa.
Aku rasa mungkin itu ibu kandungku sebab selama setahun aku bersamanya aku selalu merasa nyaman. Rasa nyaman yang sama aku rasakan saat aku bersama selendang merah ini.

***

Seusai makan malam aku dipanggil ayah dan ibu angkatku. Aku tak tahu kenapa mereka tiba-tiba memanggilku.

“Kiki, ada seseorang yang ingin menemuimu besok,” kata mama.

“Haaa siapa memangnya ma? Kenapa harus memanggilku segala? Suruh saja datang langsung ke rumah ini?” jawabku bertanya-tanya.

“Kamu lihat saja besok, kami tak bisa jelaskan sekarang padamu, yang jelas besok jam sepuluh pagi kamu ikut kami ya Ki,” jelas ayah.

“Baiklah yah kalau memang seperti itu,” balasku.

Ku simpan rasa penasaran itu, hingga akhirnya rasa penasaran itu ku bawa tidur.
Paginya aku telah bersiap, selendang merah tetap ku kenakan. Kali ini Ibu tak memintaku untuk meninggalkan selendang itu,padahal biasanya ibu selalu memintaku untuk meninggalkan selendang itu, sudah usang katanya. Namun semakin keras ia melarang semakin keras pula aku menolaknya. Kalau sudah seperti itu ibu tak bisa apa-apa lagi, ia hanya bisa menurut saja.

Ayah dan ibu membawaku ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sebuah rumah semi permanen, cat dindingnya kusam, di beberapa tempat tumbuh lumut yang begitu tebal. Kami disambut seorang wanita paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluhan tahun. Ia menatapku begitu dalam, tiba-tiba matanya berkaca-kaca menahan tangisan. Namun ia langsung mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah. Ayah dan ibu membimbingku ke dalam.

Wanita itu langsung memelukku erat sembari mengusap punggungku. Ia juga menciumi selendang merahku namun ia tak mampu berkata-kata. Aku bingung dengan perlakuan wanita itu. Aku hanya diam untuk menghargainya.

“Ki perkenalkan ini bu Maya,” terang ibu.

 “Ki kamu ingat dua puluh tahun lalu, seorang wanita muda meninggalkanmu di sebuah gubuk kayu?” Tanya ayah.

“Iya yah aku masih ingat, wanita itu lah yang memberikan selendang merah ini padaku, katanya sebagai penanda untuk orang yang menjemputku nanti, tapi aku tak ingat siapa wanita itu, kenapa memangnya yah?” tanyaku balik.

“Bu Maya ini lah wanita muda waktu itu, ia lah ibu kandungmu,” jelas ibu padaku.
Sontak aku terkejut, aku serasa tak percaya. Ku lihat bu Maya ia tertunduk sambil meneteskan air mata, ia tak berani menatapku. “Benarkah? Apa iya ibu kandungku masih hidup? Apa iya ibu ini ibu kandungku?” banyak pertanyaan muncul di benakku.

Ayah langsung menceritakan sebuah peristiwa dua puluh tahun lalu. Kala itu sedang terjadi perang saudara akibat perbedaan agama. Kedua pihak tak bisa menghindarkan perang, perang itu berlangsung selama setahun. Ibu terpaksa membawaku ke sebuah gubuk yang aman dari jangkauan lawan, tujuannya agar aku tak menjadi incaran mereka untuk dibunuh. Ibu, ayah dan keluarganya tertangkap, disiksa dan dibunuh, hanya ibu yang tak dibunuh. Namun ibu dijadikan budak oleh salah seorang dari mereka, lidahnya dipotong supaya tak bisa melawan, oleh sebab itu ibu yak bisa bicara. Selama dua puluh tahun ibu hidup dalam kesengsaraan dan tekanan mental. Ia tak bisa melawan atau pun mencari bantuan.

Hingga akhirnya Ayah dan Ibu Nina membebaskannya setelah secara tak sengaja Ayah Nina menemukan Bu Maya di rumah sakit sedang dirawat.

Setelah Bu Maya dibebaskan, Ayah Nina menanggung semua biaya pengobatan hingga ia sembuh dan bisa dipertemukan denganku.


Aku menangis mendengar cerita itu, tak kusangka aku masih bisa bertemu dengan ibu kandungku lagi. Aku peluk erat. Ia mengenali selendang merah yang ku pakai, ia menunjuk-nunjuk pada selendang itu seakan-akan ingin mengatakan ini selendang yang ku berikan padamu dulu. Aku yakin Bu Maya adalah ibu kandungku. 

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com