Kamis, 01 Januari 2015

Janjimu 15 Tahun Lalu

Pagi jam sepuluh aku dibangunkan oleh bunyi nada dering di handphone. Kulihat rupanya adikku yang menelpon. Adikku baru berumur lima belas tahun, ia giat berlatih sepakbola di tim sepakbola lokal di kampungku, mereka tiap hari latihan di sebuah lapangan, lapangan itu jugalah yang membesarkanku hingga jadi pemain sepakbola profesional. 

“Ada apa To?”

“Halo mas, ini Mas Bambang kan? Oya mas selamat ya tadi malam menang hehe.” Ucapnya membalas tanpa menghiraukan pertanyaanku.

“Oh iya Rinto makasih ya.” Aku menjawab sekenanya karena mata ini masih ngantuk.

“Mas kapan bisa ke sini? Cepat balik Mas, Pak Tino mau gusur lapangan kita, kalau lapangan itu digusur kami mau main di mana lagi, ndak ada lapangan yang bagus selain lapangan itu.”

sumber: istimewa

Seketika aku terkejut mendengar ucapan adikku. Aku setengah tak percaya mendengarnya, karena lapangan sepakbola yang kami cintai hendak digusur oleh Tino, salah seorang anggota DPRD di kota tempat tinggalku.

Setelah dapat penjelasan dari adikku, aku baru tahu, rupanya mereka hendak melakukan eksekusi lahan satu hari lagi, itu artinya besok! Setelah minta izin pada pelatih aku langsung menuju lapangan tersebut. jaraknya hanya tiga jam perjalanan darat.

Tino yang akan melakukan penggusuran itu adalah salah seorang anggota DPRD kota. Ia baru saja terpilih tiga lalu. Seingatku dulu ia berjanji akan meningkatkan perekonomian rakyat kecil dan memajukan olahraga dari tingkat kampung sekalipun.

Tino tak lain adalah temanku semenjak kecil, sejak SD hingga SMA kami selalu satu sekolah. Tiap sore kami selalu bermain sepakbola bersama teman-teman lainnya. Ditingkat SMA ia pernah membaca sebuah berita tentang berkurangnya jumlah lapangan sepakbola karena pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Ia merasa kesal pada pemerintah, maka semenjak itu ia mulai terobsesi untuk menjadi anggota DPRD agar bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil. 

“Kau tahu Bambang? Jika aku jadi anggota DPRD maka lapangan sepakbola tempat bermain anak-anak ini tak akan kubiarkan tergusur oleh pemerintah,” begitu janjinya yang masih terngiang dibenakku.

Namun janji itu sepertinya tak akan terwujud, setelah apa yang ku ketahui barusan. Selama diperjalankan aku coba mencari informasi tentang pembangunan apa yang hendak Tino lakukan di lapangan itu. Setelah sepuluh menit mencari, mataku berhenti pada salah satu situs pemerintah, situs itu menerangkan tentang proyek pembangunan supermall berlantai lima. Dijelaskan juga bahwa disekitar supermall itu akan dibangun pula perumahan elit lengkap dengan fasilitas penunjang lainnya.

Hati ku tertegun membaca informasi itu, bagaimana tidak. Dengan dibangunnya proyek itu bukan hanya lapangan sepakbola yang dikorbankan tetapi juga beberapa rumah penduduk yang telah bertahun-tahun menghuni daerah tersebut, walaupun di situs itu dijelaskan juga mengenai ganti rugi pembebasan lahan dan wilayah permukiman penduduk namun tetap saja aku tak mengerti apa yang dipikirkan oleh Tino dan anggota dewan terhormat itu sampai-sampai rela mengorbankan rumah penduduk di sana.

Pukul dua siang aku sampai di lapangan tersebut. Aku serasa bernostalgia melihat pemandangan di sana. Sekilas kulihat tak ada yang berubah dari lapangan tersebut, dua buah gawang berukuran lima kali dua meter masih terpasang di sana. Lapangan itu memiliki rumput hijau yang bagus, lapangannya datar. Orang kampung kami menyebutnya “Stadion Gelora Bung Karno-nya” kampung ini. Pandanganku ku arahkan ke segala penjuru lapangan, hingga mataku kembali terhenti pada sebuah papan pengumuman. Aku coba dekati papan itu karena terakhir kali aku ke sana lima tahun lalu papan itu belum ada.

Lapangan ini milik pemerintah kota dan akan digunakan sebagai lahan pembangunan supermall!
Begitu lah isi pengumuman yang  terpampang di sana. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat kali ini. Namun belum sempat aku mempercayai mataku, ku dengar dari kejauhan suara iringan mobil. Kulihat ada lima mobil mewah dan tiga mobil truk. Salah satu mobil mewah di sana meneriakkan pengumuman bahwa hari ini akan dilakukan pemasangan tanda pembatas dan garis tanda dilarang melintas.

Kulihat juga ada kerumunan massa yang mendekati iring-iringan mobil itu. mereka membawa spanduk bertuliskan Tolak penggusuran lahan! Salah seorangnya juga membawa pengeras suara. Ia dengan lantang meneriakkan penolakan masyarakat terhadap penggusuran lahan tersebut.

Iring-iringan mobil tersebut berhenti oleh aksi massa itu. Satu persatu orang di dalam mobil keluar dan mulai menampakan batang hidungnya. Pasukan pengaman pun  langsung membentuk barisan pelindung untuk berjaga-jaga mana tahu ada serangan dari massa.
Kulihat salah seorang keluar dari mobil paling belakang, ia keluar sambil berbicara melalui handphone-nya. Ia melepas kacamata hitamnya. Aku langsung mengingat sosok itu, kumisnya dan bekas luka di bawah matanya mengingatkanku pada satu orang, Ya itu lah Tino! Ini lah pertemuan pertama kami semenjak sepuluh tahun lalu.   

Massa langsung meneriakkan kata pengkhianat pada Tino, sebab ialah dalang di balik semua ini, ia warga asli daerah ini ia pula yang mengkhianati kepercayaan masyarakat. Tingkahnya angkuh sekali, ia tak merespon teriakan dari massa, alih-alih melihat pada sumber suara ia masih saja bertelepon ria sambil tertawa.

Tingkahnya membuatku muak, aku serasa ingin memukulnya, padahal kami dulu adalah sahabat karib. Langsung saja aku berlari menuju Tino bagaikan mengejar bola yang siap ditendang. Barisan pasukan pengaman langsung mengerubungiku, “Mau apa kau?” Tanya salah satunya.

Sontak massa yang dari tadi diam di tempat juga ikut berlari ke arahku. Massa mulai tak terkendali, pasukan pengaman mulai kewalahan menghadapi massa. Kerumunan itu berhasil membuat diriku terlepas dari hadangan pasukan pengaman. Aku langsung menuju Tino dan memakinya.

“Hei Tino apa yang kau lakukan, mengapa kau menggusur lapangan ini? kau tak punya hak sedikit pun untuk mengambil alih lapangan ini” ucapku.

Seketika ia kelabakan hingga handphone-nya terjatuh. Ia langsung memerintahkan salah satu pasukan pengaman untuk melindunginya dan menjauhkanku darinya. Ia sepertinya tak mengenaliku lagi. Beberapa menit kemudian polisi datang dan langsung memberikan tembakan peringatan. Massa langsung pontang-panting lari ke sana kemari, rupanya dari tadi Tino menghubungi polisi untuk mengamankan proses hari ini karena ia tahu hal ini akan terjadi.  

“Sialan kau Tino apa yang kau lakukan pada lapangan kita, apa kau sudah lupa janjimu lima belas tahun lalu?” Aku coba ingatkan dia pada janjinya dulu sembari aku digiring oleh salah satu pasukan pengaman menjauhi Tino.


Namun dengan wajah polosnya Tino hanya berucap, “Maaf Anda Siapa? Saya rasa Anda salah orang.” 

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com