Pagi jam sepuluh
aku dibangunkan oleh bunyi nada dering di handphone.
Kulihat rupanya adikku yang menelpon. Adikku baru berumur lima belas tahun, ia
giat berlatih sepakbola di tim sepakbola lokal di kampungku, mereka tiap hari
latihan di sebuah lapangan, lapangan itu jugalah yang membesarkanku hingga jadi
pemain sepakbola profesional.
“Ada apa To?”
“Halo mas, ini Mas
Bambang kan? Oya mas selamat ya tadi malam menang hehe.” Ucapnya membalas tanpa
menghiraukan pertanyaanku.
“Oh iya Rinto
makasih ya.” Aku menjawab sekenanya karena mata ini masih ngantuk.
“Mas kapan bisa ke
sini? Cepat balik Mas, Pak Tino mau gusur lapangan kita, kalau lapangan itu digusur
kami mau main di mana lagi, ndak ada
lapangan yang bagus selain lapangan itu.”
sumber: istimewa |
Seketika aku
terkejut mendengar ucapan adikku. Aku setengah tak percaya mendengarnya, karena
lapangan sepakbola yang kami cintai hendak digusur oleh Tino, salah seorang
anggota DPRD di kota tempat tinggalku.
Setelah dapat
penjelasan dari adikku, aku baru tahu, rupanya mereka hendak melakukan eksekusi
lahan satu hari lagi, itu artinya besok! Setelah minta izin pada pelatih aku
langsung menuju lapangan tersebut. jaraknya hanya tiga jam perjalanan darat.
Tino yang akan
melakukan penggusuran itu adalah salah seorang anggota DPRD kota. Ia baru saja
terpilih tiga lalu. Seingatku dulu ia berjanji akan meningkatkan perekonomian
rakyat kecil dan memajukan olahraga dari tingkat kampung sekalipun.
Tino tak lain
adalah temanku semenjak kecil, sejak SD hingga SMA kami selalu satu sekolah.
Tiap sore kami selalu bermain sepakbola bersama teman-teman lainnya. Ditingkat
SMA ia pernah membaca sebuah berita tentang berkurangnya jumlah lapangan
sepakbola karena pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Ia merasa kesal
pada pemerintah, maka semenjak itu ia mulai terobsesi untuk menjadi anggota DPRD
agar bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil.
“Kau tahu Bambang? Jika aku
jadi anggota DPRD maka lapangan sepakbola tempat bermain anak-anak ini tak akan
kubiarkan tergusur oleh pemerintah,” begitu janjinya yang masih terngiang dibenakku.
Namun janji itu sepertinya
tak akan terwujud, setelah apa yang ku ketahui barusan. Selama diperjalankan
aku coba mencari informasi tentang pembangunan apa yang hendak Tino lakukan di
lapangan itu. Setelah sepuluh menit mencari, mataku berhenti pada salah satu
situs pemerintah, situs itu menerangkan tentang proyek pembangunan supermall berlantai lima. Dijelaskan juga
bahwa disekitar supermall itu akan
dibangun pula perumahan elit lengkap dengan fasilitas penunjang lainnya.
Hati ku tertegun
membaca informasi itu, bagaimana tidak. Dengan dibangunnya proyek itu bukan
hanya lapangan sepakbola yang dikorbankan tetapi juga beberapa rumah penduduk
yang telah bertahun-tahun menghuni daerah tersebut, walaupun di situs itu
dijelaskan juga mengenai ganti rugi pembebasan lahan dan wilayah permukiman
penduduk namun tetap saja aku tak mengerti apa yang dipikirkan oleh Tino dan anggota
dewan terhormat itu sampai-sampai rela mengorbankan rumah penduduk di sana.
Pukul dua siang
aku sampai di lapangan tersebut. Aku serasa bernostalgia melihat pemandangan di
sana. Sekilas kulihat tak ada yang berubah dari lapangan tersebut, dua buah
gawang berukuran lima kali dua meter masih terpasang di sana. Lapangan itu
memiliki rumput hijau yang bagus, lapangannya datar. Orang kampung kami
menyebutnya “Stadion Gelora Bung Karno-nya” kampung ini. Pandanganku ku arahkan
ke segala penjuru lapangan, hingga mataku kembali terhenti pada sebuah papan
pengumuman. Aku coba dekati papan itu karena terakhir kali aku ke sana lima
tahun lalu papan itu belum ada.
Lapangan ini milik pemerintah kota dan akan
digunakan sebagai lahan pembangunan supermall!
Begitu lah isi
pengumuman yang terpampang di sana. Aku
masih tak percaya dengan apa yang kulihat kali ini. Namun belum sempat aku
mempercayai mataku, ku dengar dari kejauhan suara iringan mobil. Kulihat ada
lima mobil mewah dan tiga mobil truk. Salah satu mobil mewah di sana meneriakkan
pengumuman bahwa hari ini akan dilakukan pemasangan tanda pembatas dan garis
tanda dilarang melintas.
Kulihat juga ada
kerumunan massa yang mendekati iring-iringan mobil itu. mereka membawa spanduk
bertuliskan Tolak penggusuran lahan! Salah
seorangnya juga membawa pengeras suara. Ia dengan lantang meneriakkan penolakan
masyarakat terhadap penggusuran lahan tersebut.
Iring-iringan
mobil tersebut berhenti oleh aksi massa itu. Satu persatu orang di dalam mobil
keluar dan mulai menampakan batang hidungnya. Pasukan pengaman pun langsung membentuk barisan pelindung untuk
berjaga-jaga mana tahu ada serangan dari massa.
Kulihat salah
seorang keluar dari mobil paling belakang, ia keluar sambil berbicara melalui handphone-nya. Ia melepas kacamata
hitamnya. Aku langsung mengingat sosok itu, kumisnya dan bekas luka di bawah
matanya mengingatkanku pada satu orang, Ya itu lah Tino! Ini lah pertemuan
pertama kami semenjak sepuluh tahun lalu.
Massa langsung
meneriakkan kata pengkhianat pada
Tino, sebab ialah dalang di balik semua ini, ia warga asli daerah ini ia pula
yang mengkhianati kepercayaan masyarakat. Tingkahnya angkuh sekali, ia tak
merespon teriakan dari massa, alih-alih melihat pada sumber suara ia masih saja
bertelepon ria sambil tertawa.
Tingkahnya
membuatku muak, aku serasa ingin memukulnya, padahal kami dulu adalah sahabat
karib. Langsung saja aku berlari menuju Tino bagaikan mengejar bola yang siap
ditendang. Barisan pasukan pengaman langsung mengerubungiku, “Mau apa kau?”
Tanya salah satunya.
Sontak massa yang
dari tadi diam di tempat juga ikut berlari ke arahku. Massa mulai tak
terkendali, pasukan pengaman mulai kewalahan menghadapi massa. Kerumunan itu
berhasil membuat diriku terlepas dari hadangan pasukan pengaman. Aku langsung
menuju Tino dan memakinya.
“Hei Tino apa yang
kau lakukan, mengapa kau menggusur lapangan ini? kau tak punya hak sedikit pun
untuk mengambil alih lapangan ini” ucapku.
Seketika ia
kelabakan hingga handphone-nya
terjatuh. Ia langsung memerintahkan salah satu pasukan pengaman untuk
melindunginya dan menjauhkanku darinya. Ia sepertinya tak mengenaliku lagi.
Beberapa menit kemudian polisi datang dan langsung memberikan tembakan
peringatan. Massa langsung pontang-panting lari ke sana kemari, rupanya dari
tadi Tino menghubungi polisi untuk mengamankan proses hari ini karena ia tahu
hal ini akan terjadi.
“Sialan kau Tino
apa yang kau lakukan pada lapangan kita, apa kau sudah lupa janjimu lima belas
tahun lalu?” Aku coba ingatkan dia pada janjinya dulu sembari aku digiring oleh
salah satu pasukan pengaman menjauhi Tino.
Namun dengan wajah
polosnya Tino hanya berucap, “Maaf Anda Siapa? Saya rasa Anda salah orang.”
0 komentar:
Posting Komentar