Akhir
Maret lalu saya kebagian liputan ke Pulau Nias bersama tiga rekan lainnya, Adam, Dian dan Renti. Kami dibagi dua tim, masing-masing membahas tema yang berbeda. Saya dan
renti akan meliput mengenai wisata Pantai Sorake dan Lagundri, sedang Adam dan
Dian akan liput Bahasa Nias.
Liputan
kali ini terasa sangat menantang. Ini lah liputan saya yang terjauh sebagai
Pers Mahasiswa, sebelumnya liputan terjauh saya adalah di Parapat. Selain lokasi yang
jauh asyiknya tema liputan kali ini juga memacu adrenalin untuk segera ke sana.
Suasana di dalam Kapal "selam" hahaha... |
Kami berangkat minggu pertama April, perkiraan kami Jumat malam sudah kembali berada di Medan. Menuju Pulau Nias sebenarnya bisa via udara atau darat plus laut. Jika lewat udara bisa
dari Bandara Kuala Namu menuju Bandara Binaka di Gunungsitoli, dengan alasan tertentu kami memilih rute darat.
Dari
Medan menuju Sibolga, perjalanan darat ini kami lewati dengan menaiki mobil
travel. Minggu malam pukul sebelas lebih kami mulai perjalanan. Kata
teman-teman, dari Medan ke Sibolga menghabiskan waktu sekitar sembilan jam,
namun jika berangkat malam bisa sampai Sibolga lebih cepat, hanya enam jam.
Diawal
perjalanan kami sempat bercerita mengenai kepergian kami. Ternyata beberapa
dari kami pergi tanpa bilang ke orangtua, saya lah salah satunya. Pun begitu
dengan kuliah, terpaksa beberapa mata kuliah minta tolong pada teman terdekat
untuk titip absen. Namun berhubung semuanya
udah semester akhir tak banyak
mata kuliah yang harus dititip absen.
Jalan-jalan sore di Kota Gunungsitoli |
Kami pun sempat merasa sedih dengan rekan dan teman seorganisasi yang kami tinggalkan
sementara waktu. Kami semua yang pergi adalah tiga kepala bagian dan saya
sendiri sebagai pemimpin umum, empat dari enam orang pengurus inti organisasi
harus pergi sementara waktu, tinggal lah dua pengurus lain. Sempat terbayang jika terjadi apa-apa dengan
kami. Hmmmmm…
Esoknya
pukul tujuh pagi kami sudah sampai di Sibolga. Langsung saja kami minta antar
ke pelabuhan untuk naik kapal menuju Pulau Nias. Dari informasi yang kami dapat
kapal hanya berangkat dua kali sehari, pagi dan malam. Jadi kalau ketinggalan
kapal pagi kami harus menunggu kapal malam. Mengingat waktu yang sedikit kami
harus dapatkan kapal pagi!
Saya
juga dapat informasi dari paman yang tinggal di Teluk Dalam, Nias. Tiap senin
ada kapal jet yang berangkat pagi, kapal lebih cepat sampai namun biayanya juga
lebih mahal. Perjalanan dengan kapal biasa menghabiskan waktu enam hingga tujuh
jam, namun jika dengan kapal jet bisa sampai ke pelabuhan di Gunugsitoli hanya
empat jam.
Sembari
sarapan kami mendiskusikan kapal mana yang akan dinaiki. Sebelumnya sopir mobil
travel yang kami tumpangi mengenalkan kami pada salah seorang yang punya tiket
kapal jet menuju Gunungsitoli, harganya ternyata lebih mahal dari info yang
diberi paman saya sebelumnya.
Sore hari disalah satu pantai di Gunungsitoli |
Awalnya
kami tak mau dengan rekomendasi itu, namun setelah diskusi dan mendengar
pendapat penduduk sekitar kami putuskan untuk naik kapal jet yang ditawari tadi.
Ditambah lagi penyeberangan untuk esok hari telah di-booking semua oleh TNI dan Polri. Mereka akan bertugas mengamankan
pemilihan umum di Nias. Oh ya kala itu bertepatan dengan pemilihan calon
legislatif.
Jadi lah setelah sarapan kami bersiap menuju
kapal. Kami berpikir kapal yang akan kami tumpangi merupakan kapal besar, namun
rupanya bukan begitu. Kapal tidak besar, tidak pula kecil, hanya mampu memuat
maksimal seratus orang. Kapalnya hampir mirip kapal selam, tak ada bangku di
atapnya. Kursi untuk penumpang dan nakhoda ada di dalam badan kapal. Pintu masuknya kecil, hanya muat untuk satu orang jadi harus antri.
Selama
perjalanan juga tak bisa keluar, hasilnya kami hanya bisa menikmati perjalanan
dari dalam kapal sesekali menengok birunya Samudera Hindia dari jendela kapal
yang berdiameter setengah sentimeter.
Padahal
ekspektasi saya di awalnya adalah bisa menikmati kencangnya angin laut dari
atap kapal. Tak apa lah, kapal ini memang sengaja di-set begitu karena memang mengutamakan kecepatan berlayarnya. Begitu
saya coba menghibur hati.
Oh
iya ada kejadian yang cukup membuat kami ketar-ketir. Rupanya orang
yang memesan tiket untuk kami tidak memesan tiket secara resmi. Bisa dibilang
kami adalah penumpang gelap, tanpa tiket! Pantas saja harganya lebih mahal.
Kami sempat merasa aneh karena tak diberi tiket, padahal penumpang lain mengantongi
tiketnya masing-masing. Setelah deal
dengan harga tiket kami langsung diantar
ke kapal dan langsung dipersilakan memilih kursi untuk duduk.
Suasana pelabuhan di Gunungsitoli |
Namun
si pemesan tiket ini menjamin bahwa kami akan berangkat dengan selamat, saya
sempat berpikir kami akan diusir dari kapal. Kemudian dia memberikan nomor
ponselnya pada saya. “Kalau ada apa-apa hubungi saja nomor itu,” begitu
katanya.
Kapal
akan berangkat pukul sembilan, menjelang pukul Sembilan petugas kapal mulai
berkeliling memeriksa tiket, kami pucat karena tak mengantongi tiket. Saya
hanya mengantongi nomor si pemesan tiket tadi dan namanya. Ia juga berpesan
“Sebut saja nama saya ke petugas nanti.”
Kekhawatiran
kami baru sirna setelah si pemesan tadi datang ke kapal untuk memeriksa kami.
Waktunya pas ketika si petugas hampir menanyai kami. Kami langsung bilang ke
petugas pesan yang dititipkan tadi. Si petugas kemudian mengkonfirmasi pada si
pemesan tiket. Setelah itu baru lah kami bisa tenang. Fiiuhhhh….
Setelahnya perjalanan laut selama lebih kurang
empat jam kami lalui. Tak ada yang mabuk laut walaupun ini pertama kalinya kami
naik kapal.
Selfie di atas becak |
Pukul
setengah dua kami sudah sampai di pelabuhan. Kami dijemput Rahmat. Ia adik dari
senior kami Kartini, yang bersedia memberikan tumpangan tempat tinggal selama
kami liputan di Nias. Ada juga dua orang
lagi yang kami kenal, Vindo dan Firman, sama-sama berkuliah di USU.
Akhirnya kami menuju rumah Rahmat menggunakan becak. Dari pelabuhan ke rumah Rahmat
tidaklah jauh, hanya sepuluh menitan, mungkin kurang.
Sesampainya
di rumah, kami berkenalan dengan orangtua Rahmat. Rupanya Vindo dan Firman juga
menginap di sana. Kami dipersilakan untuk makan siang, rupanya makanan sudah
siap saji, tinggal disantap. Wah baik sekali.
Sorenya
kami dibawa Firman dan Vindo ke pantai terdekat. Sebelumnya Adam dan Dian coba
ke Museum Nias untuk membuat janji dengan narasumber.
We Are Here in Nias |
Hari
Senin, hari pertama di Nias begitu mengesankan, penduduk Nias sangat ramah.
Begitu juga orangtua Rahmat kami dilayani dengan sangat baik, bak tamu hotel
bintang lima. Setelah makan malam kami mendiskusikan perjalanan esok menuju
Lagundri dan Sorake di Teluk Dalam kemudian istirahat.
Bersambung….
0 komentar:
Posting Komentar