Namun tak
begitu dengan seorang Dr. Tulus Ikhsan Nasution, S.Si, M.Sc, ya sesuai namanya ia tulus dan
ikhlas untuk mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia demi memajukan anak
bangsa.
Dia melihat
sendiri banyak peneliti dari BPPT dan LIPI yang pergi keluar untuk mendapatkan
kenyamanan dalam meneliti dan kesejahteraan hidup yang lebih terjamin di sana.
Melihat hal ini Tulus tak menyalahkan mereka, menurut bapak dari tiga anak ini
hal itu wajar karena mereka punya ide, motivasi dan melihat ada kesempatan
bagus untuk menyalurkan ide dan motivasi mereka di luar sana. Ia menambahkan
hal ini yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan menjadi cambuk
tersendiri hal apa yang mendasari mereka seperti itu. “Mereka kan juga punya
keluarga yang harus dicukupi kebutuhannya,” terangnya.
Berbeda dengan
mereka, ia lebih memilih kembali ke Indonesia karena menurutnya tiap orang
memiliki pemilkiran yang berbeda. Ia telah merasakan sendiri diluar negeri
banyak pun ide yang ia punya namun ia tak pernah merasakan kepuasan bathin.
Dengan penuh kerendahan hati ia lebih memilih memajukan bangsa sendiri
ketimbang memajukan bangsa lain, rupanya nasionalisme yang ia punya lebih
tinggi.
Kenapa bukan
bangsa sendiri yang saya majukan? Pertanyaan itu terus muncul, ia selalu
memendam keinginan untuk memajukan bangsa sendiri. Sayangnya ia belum dapat
kesempatan untuk mengabdi di Indonesia karena waktu itu ia sudah menjadi dosen
tetap di salah satu universitas di Malaysia.
Seakan tuhan
mendengar keinginnanya pada tahun 2008 Dekan FMipa USU waktu itu menelponnya
menyatakan bahwa USU sedang membuka lowongan penerimaan dosen. “Ini ada
penerimaan dosen pulanglah kau ya,” ucapnya menirukan perkataan Dekan FMipa
waktu itu. tawaran itu pun langsung diamininya.
“Makanya
saya bilang saya enggak wajar, orang keluar saya malah balik ke Indonesia,”
katanya sembari tertawa.
Dari segi
materi waktu itu ia sudah sangat mapan, jika dibandingkan dengan gaji mengajar di
Indonesia, itu hanyalah sepersepuluh lebih sedikit dibandingkan gajinya di
Malaysia. Namun hal itu tak dihiraukannya ia lebih mementingkan untuk mengabdi
di negara sendiri ketimbang memajukan negara lain. Istrinya waktu itu juga
mendukung keputusannya kala itu. “Kebahagiaan itu kan tak hanya dihitung dari
segi materi saja,” ungkapnya.
Selain itu
salah satu alasan yang membawa ia untuk kembali adalah rasa optimisnya pada
kemampuan mahasiswa dan peneliti Indonesia untuk memajukan bangsa dan negara
Indonesia. Dia sudah menyadari bahwa ia akan mengalami kesulitan dan cemoohan
dari orang lain namun ia terus maju untuk menghasilkan. “Apapun kondisinya saya
yakin dan tetap optimis Indonesia bisa maju,” ungkapnya.
Pria yang
baru berumur 41 tahun ini acap kali mengajak mahasiswanya untuk ikut penelitian
karena ia merasa itu adalah bagian dari kewajibannya. Ia juga merasa bahwa jika
mahasiswanya hanya belajar teori saja mereka tak akan menang melawan kompetisi
yang semakin ketat. Mereka harus bisa menguasai teknologi untuk kemudian bisa
menguasai industri, menurutnya mereka harus dibimbing, di arahkan dan dikuatkan
serta pola pikirnya harus terus diasah.
Ia
menekankan pada mahasiswanya bahwa Fisika USU bukan mendidik mereka jadi guru,
mereka disiapkan untuk menjadi peneliti atau kerja disektor industri maka kalau
mereka hanya berkutat di teori saja tanpa mengembangkan sebuah aktivitas ekstra
di bidang penelitian dan teknologi tentunya mereka akan kalah dalam persaingan.
Mahasiswa akan mendapatkan ilmu lewat pengalaman melakukan riset-riset bukan di
kelas yang belajar teori melulu.
Pengalaman
lucu terjadi ketika ia meneliti bersama mahasiswanya saat meneliti bahan bakar
air. Kala itu suhu panas dari lingkungan memicu salah satu komponen sepeda
motor uji cobanya meledak dan membuat motornya melompat dan terbang
sampai-sampai membawa sipengendara melompat, padahal pengendaranya memiliki
postur tubuh yang gemuk. Kemudian saat salah satu mahasiswanya kehausan, karena
saking capeknya ia salah mengambil air minum, bukan air mineral yang diambil
malah meminum air yang sudah diolah menjadi zat penghemat bahan bakar.
“Untungnya yang minum itu gak sakit, masih sehat sampai sekarang,” kenangnya
sembari tertawa.
Tulus adalah
orang dibalik ditemukannya alat pendeteksi diabetes lewat napas dan bahan bakar
dari air. Alat-alat tersebut ia temukan bersama tim penelitinya yang adalah
mahasiswanya sendiri. Untuk alat pendeteksi diabetes saat ini sudah masuk tahap
ujicoba, ia dan timnya tiga minggu yang lalu sudah menguji coba alat tersebut
di dua puskesmas yaitu Puskesmas Glugur dan Puskesmas Tuntungan.
Hasilnya
sudah bisa menunjukkan seseorang terkena diabetes atau tidak hanya melalui
tiupan napas. Ia mengajak FK USU dan Fasilkomti USU untuk membantu membaca
hasil pindaian dan membantu pengembangan software.
Hingga sekarang sistemnya sudah terintegrasi ke perangkat mobile, “Jadi penderita tinggal
meniupkan napas ke alat khusus dan data akan bisa ditampilkan pada smartphone,” jelasnya.
Ia bercita-cita
nanti seseorang akan bisa mengetahui dia menderita diabetes atau tidak melalui
ujicoba hanya dengan smartphone-nya
jadi tak sembarangan lagi untuk pergi medical
check up yang butuh proses dan waktu yang lama.
Kemudian
penelitian bahan bakar air sudah memasuki tahap pendaftaran untuk mendapatkan
hak paten yang bekerja sama dengan pertamina. Ia bercerita banyak yang silap
dengan penemuan itu. Sebenarnya tim peneliti Fisika USU menggunakan alat
pengoptimal arus temuan mereka yang berfungsi memecah atom air menjadi gas hidrogen
dan oksigen, lalu gas hidrogen ini lah yang nanti bisa membantu untuk proses
penghematan bahan bakar dengan bensin. “Jadi kami sebenarnya bukan menciptakan
bahan bakar tapi alat pemecah hidrogen yang bisa membantu menghemat bahan
bakar,” jelasnya.
Suka duka
selama melakukan penelitian pasti ia rasakan. Ia merasa sedih dengan fasilitas
yang tak lengkap. Ia mengibaratkan kondisi mereka dengan seseorang yang hendak
menuju suatu tempat namun tak punya kendaraan yang bisa membantu lebih cepat
untuk sampai ke tujuan sedangkan orang lain punya kendaraan. Dari segi
pendanaan pun minim bahkan untuk mengakses informasi dan referensi terbaru dari
luar negeri bisa dibilang susah karena perpustakaan yang dipunya belum bisa
mengakses sampai ke sana.
Namun dengan
berbagai keterbatasan itu ia tetap merasa bangga sebab mereka bisa menghasilkan
produk-produk dan inovasi yang luar biasa. Ia merasa siap dan bersedia kapan
pun untuk mengharumkan nama USU dan Indonesia, “kalau kami punya kesempatan
untuk berkompetisi dan eksibisi di luar negeri kami akan memberikan kemampuan
terbaik kami,” akunya.
Buktinya
baru-baru ini ia meraih Medali Silver dalam ajang Pencipta 2015 di Malaysia. Ia
ikut tim penelitinya di Malaysia untuk memamerkan produk buatannya yaitu alat
pendeteksi kualitas susu dalam bentuk serbuk.
Salah
seorang mahasiswa Tulus, Almizan Ridho menuturkan bahwa belajar bersama Tulus
berbeda, karena tidak hanya teori melulu namun juga mementingkan pada
prakteknya, ia mengaku dengan cara itu bisa lebih paham dengan ilmu yang ia
pelajari. “Gak hanya teori, ada
proyeknya juga yang harus disiapkan tiga minggu, jadi kita bisa lebih paham
lewat praktek,” jelasnya.
Ia pun
menjelaskan di kelasnya sering diadakan expo
atau pameran hasil proyek dari tugas-tugas tersebut, “ada expo kecil-kecilan
juga,” tambahnya.
Mahasiswa
stambuk 2013 ini menilai dosennya itu adalah pribadi yang tangguh karena mau
kembali mengabdi di Indonesia. Menurutnya Tulus memberikan sumbangsih yang
nyata bagi USU, hanya dalam dua tahun ia bisa menaikkan kembali nama USU yang
sempat tenggelam. Ridho juga bilang Tulus bahkan mau jemput bola untuk
membimbing mahasiswanya, “Doktor Tulus sendiri yang bahkan menanyakan langsung
pada kami sudah sejauh mana penelitian kami,” ungkapnya.
Tulus
mengharapkan agar pemerintah lebih punya perhatian yang besar pada
peneliti-peneliti Indonesia. Ia merasakan peneliti di Indonesia sering dihadang
oleh masalah administrasi yang berbelit-belit, dananya terlambat cair sedangkan
laporan diminta secepatnya. Ia juga berharap agar pemerintah membuat event seperti di Malaysia untuk
memamerkan hasil karya yang ditemukan oleh peneliti-peneliti Indonesia agar
bisa memacu motivasi dan kemajuan bangsa. “Karena melalui event tersebut para peneliti bisa mengekspresikan ilmunya,”
ungkapnya.
Ia berbagi
tips untuk menjadi peneliti, secara umum jangan jenuh, rajin mencari isu atau
masalah apa yang akan diteliti dengan rajin membaca, berdiskusi, observasi dan
terus mencoba. Kalau sudah ada ide untuk mengatasi masalah tersebut barulah
dipikirkan metodenya. Menurutnya modal utama menjadi peneliti adalah punya
keingintahuan dan motivasi untuk mengetahui apa yang ingin ia ketahui, dan terakhir
sifat yang harus dimiliki seorang peneliti adalah sifat pantang menyerah.
*Tulisan ini terbit di Medan Bisnis edisi Minggu 13 Desember 2015