Selasa, 05 Januari 2016

Salah Satu Peneliti Indonesia yang ‘Tak Wajar’

 Hakikat penelitian adalah pengabdian. pengabdian pada ilmu yang dipelajari, pengabdian pada masyarakat, pada bangsa dan pada negara. Pengabdian juga harus diiringi rasa tulus dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Tak sedikit peneliti Indonesia yang memilih melakukan penelitian ke luar negeri karena fasilitas dan pendanaan yang melimpah di sana. bahkan kesejahteraan hidup keluarga juga terjamin.
Namun tak begitu dengan seorang Dr. Tulus Ikhsan Nasution, S.Si, M.Sc, ya sesuai namanya ia tulus dan ikhlas untuk mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia demi memajukan anak bangsa.
Dia melihat sendiri banyak peneliti dari BPPT dan LIPI yang pergi keluar untuk mendapatkan kenyamanan dalam meneliti dan kesejahteraan hidup yang lebih terjamin di sana. Melihat hal ini Tulus tak menyalahkan mereka, menurut bapak dari tiga anak ini hal itu wajar karena mereka punya ide, motivasi dan melihat ada kesempatan bagus untuk menyalurkan ide dan motivasi mereka di luar sana. Ia menambahkan hal ini yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan menjadi cambuk tersendiri hal apa yang mendasari mereka seperti itu. “Mereka kan juga punya keluarga yang harus dicukupi kebutuhannya,” terangnya.

Berbeda dengan mereka, ia lebih memilih kembali ke Indonesia karena menurutnya tiap orang memiliki pemilkiran yang berbeda. Ia telah merasakan sendiri diluar negeri banyak pun ide yang ia punya namun ia tak pernah merasakan kepuasan bathin. Dengan penuh kerendahan hati ia lebih memilih memajukan bangsa sendiri ketimbang memajukan bangsa lain, rupanya nasionalisme yang ia punya lebih tinggi.
Kenapa bukan bangsa sendiri yang saya majukan? Pertanyaan itu terus muncul, ia selalu memendam keinginan untuk memajukan bangsa sendiri. Sayangnya ia belum dapat kesempatan untuk mengabdi di Indonesia karena waktu itu ia sudah menjadi dosen tetap di salah satu universitas di Malaysia.
Seakan tuhan mendengar keinginnanya pada tahun 2008 Dekan FMipa USU waktu itu menelponnya menyatakan bahwa USU sedang membuka lowongan penerimaan dosen. “Ini ada penerimaan dosen pulanglah kau ya,” ucapnya menirukan perkataan Dekan FMipa waktu itu. tawaran itu pun langsung diamininya.
“Makanya saya bilang saya enggak wajar, orang keluar saya malah balik ke Indonesia,” katanya sembari tertawa.
Dari segi materi waktu itu ia sudah sangat mapan, jika dibandingkan dengan gaji mengajar di Indonesia, itu hanyalah sepersepuluh lebih sedikit dibandingkan gajinya di Malaysia. Namun hal itu tak dihiraukannya ia lebih mementingkan untuk mengabdi di negara sendiri ketimbang memajukan negara lain. Istrinya waktu itu juga mendukung keputusannya kala itu. “Kebahagiaan itu kan tak hanya dihitung dari segi materi saja,” ungkapnya.
Selain itu salah satu alasan yang membawa ia untuk kembali adalah rasa optimisnya pada kemampuan mahasiswa dan peneliti Indonesia untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia. Dia sudah menyadari bahwa ia akan mengalami kesulitan dan cemoohan dari orang lain namun ia terus maju untuk menghasilkan. “Apapun kondisinya saya yakin dan tetap optimis Indonesia bisa maju,” ungkapnya.
Pria yang baru berumur 41 tahun ini acap kali mengajak mahasiswanya untuk ikut penelitian karena ia merasa itu adalah bagian dari kewajibannya. Ia juga merasa bahwa jika mahasiswanya hanya belajar teori saja mereka tak akan menang melawan kompetisi yang semakin ketat. Mereka harus bisa menguasai teknologi untuk kemudian bisa menguasai industri, menurutnya mereka harus dibimbing, di arahkan dan dikuatkan serta pola pikirnya harus terus diasah.
Ia menekankan pada mahasiswanya bahwa Fisika USU bukan mendidik mereka jadi guru, mereka disiapkan untuk menjadi peneliti atau kerja disektor industri maka kalau mereka hanya berkutat di teori saja tanpa mengembangkan sebuah aktivitas ekstra di bidang penelitian dan teknologi tentunya mereka akan kalah dalam persaingan. Mahasiswa akan mendapatkan ilmu lewat pengalaman melakukan riset-riset bukan di kelas yang belajar teori melulu.
Pengalaman lucu terjadi ketika ia meneliti bersama mahasiswanya saat meneliti bahan bakar air. Kala itu suhu panas dari lingkungan memicu salah satu komponen sepeda motor uji cobanya meledak dan membuat motornya melompat dan terbang sampai-sampai membawa sipengendara melompat, padahal pengendaranya memiliki postur tubuh yang gemuk. Kemudian saat salah satu mahasiswanya kehausan, karena saking capeknya ia salah mengambil air minum, bukan air mineral yang diambil malah meminum air yang sudah diolah menjadi zat penghemat bahan bakar. “Untungnya yang minum itu gak sakit, masih sehat sampai sekarang,” kenangnya sembari tertawa.

Tulus adalah orang dibalik ditemukannya alat pendeteksi diabetes lewat napas dan bahan bakar dari air. Alat-alat tersebut ia temukan bersama tim penelitinya yang adalah mahasiswanya sendiri. Untuk alat pendeteksi diabetes saat ini sudah masuk tahap ujicoba, ia dan timnya tiga minggu yang lalu sudah menguji coba alat tersebut di dua puskesmas yaitu Puskesmas Glugur dan Puskesmas Tuntungan.
Hasilnya sudah bisa menunjukkan seseorang terkena diabetes atau tidak hanya melalui tiupan napas. Ia mengajak FK USU dan Fasilkomti USU untuk membantu membaca hasil pindaian dan membantu pengembangan software. Hingga sekarang sistemnya sudah terintegrasi ke perangkat mobile, “Jadi penderita tinggal meniupkan napas ke alat khusus dan data akan bisa ditampilkan pada smartphone,” jelasnya.
Ia bercita-cita nanti seseorang akan bisa mengetahui dia menderita diabetes atau tidak melalui ujicoba hanya dengan smartphone-nya jadi tak sembarangan lagi untuk pergi medical check up yang butuh proses dan waktu yang lama.
Kemudian penelitian bahan bakar air sudah memasuki tahap pendaftaran untuk mendapatkan hak paten yang bekerja sama dengan pertamina. Ia bercerita banyak yang silap dengan penemuan itu. Sebenarnya tim peneliti Fisika USU menggunakan alat pengoptimal arus temuan mereka yang berfungsi memecah atom air menjadi gas hidrogen dan oksigen, lalu gas hidrogen ini lah yang nanti bisa membantu untuk proses penghematan bahan bakar dengan bensin. “Jadi kami sebenarnya bukan menciptakan bahan bakar tapi alat pemecah hidrogen yang bisa membantu menghemat bahan bakar,” jelasnya.
Suka duka selama melakukan penelitian pasti ia rasakan. Ia merasa sedih dengan fasilitas yang tak lengkap. Ia mengibaratkan kondisi mereka dengan seseorang yang hendak menuju suatu tempat namun tak punya kendaraan yang bisa membantu lebih cepat untuk sampai ke tujuan sedangkan orang lain punya kendaraan. Dari segi pendanaan pun minim bahkan untuk mengakses informasi dan referensi terbaru dari luar negeri bisa dibilang susah karena perpustakaan yang dipunya belum bisa mengakses sampai ke sana.
Namun dengan berbagai keterbatasan itu ia tetap merasa bangga sebab mereka bisa menghasilkan produk-produk dan inovasi yang luar biasa. Ia merasa siap dan bersedia kapan pun untuk mengharumkan nama USU dan Indonesia, “kalau kami punya kesempatan untuk berkompetisi dan eksibisi di luar negeri kami akan memberikan kemampuan terbaik kami,” akunya.
Buktinya baru-baru ini ia meraih Medali Silver dalam ajang Pencipta 2015 di Malaysia. Ia ikut tim penelitinya di Malaysia untuk memamerkan produk buatannya yaitu alat pendeteksi kualitas susu dalam bentuk serbuk.
Salah seorang mahasiswa Tulus, Almizan Ridho menuturkan bahwa belajar bersama Tulus berbeda, karena tidak hanya teori melulu namun juga mementingkan pada prakteknya, ia mengaku dengan cara itu bisa lebih paham dengan ilmu yang ia pelajari. “Gak hanya teori, ada proyeknya juga yang harus disiapkan tiga minggu, jadi kita bisa lebih paham lewat praktek,” jelasnya.
Ia pun menjelaskan di kelasnya sering diadakan expo atau pameran hasil proyek dari tugas-tugas tersebut, “ada expo kecil-kecilan juga,” tambahnya.
Mahasiswa stambuk 2013 ini menilai dosennya itu adalah pribadi yang tangguh karena mau kembali mengabdi di Indonesia. Menurutnya Tulus memberikan sumbangsih yang nyata bagi USU, hanya dalam dua tahun ia bisa menaikkan kembali nama USU yang sempat tenggelam. Ridho juga bilang Tulus bahkan mau jemput bola untuk membimbing mahasiswanya, “Doktor Tulus sendiri yang bahkan menanyakan langsung pada kami sudah sejauh mana penelitian kami,” ungkapnya.
Tulus mengharapkan agar pemerintah lebih punya perhatian yang besar pada peneliti-peneliti Indonesia. Ia merasakan peneliti di Indonesia sering dihadang oleh masalah administrasi yang berbelit-belit, dananya terlambat cair sedangkan laporan diminta secepatnya. Ia juga berharap agar pemerintah membuat event seperti di Malaysia untuk memamerkan hasil karya yang ditemukan oleh peneliti-peneliti Indonesia agar bisa memacu motivasi dan kemajuan bangsa. “Karena melalui event tersebut para peneliti bisa mengekspresikan ilmunya,” ungkapnya.

Ia berbagi tips untuk menjadi peneliti, secara umum jangan jenuh, rajin mencari isu atau masalah apa yang akan diteliti dengan rajin membaca, berdiskusi, observasi dan terus mencoba. Kalau sudah ada ide untuk mengatasi masalah tersebut barulah dipikirkan metodenya. Menurutnya modal utama menjadi peneliti adalah punya keingintahuan dan motivasi untuk mengetahui apa yang ingin ia ketahui, dan terakhir sifat yang harus dimiliki seorang peneliti adalah sifat pantang menyerah.

*Tulisan ini terbit di Medan Bisnis edisi Minggu 13 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com