Oleh: Gio Ovanny Pratama
Dalam beberapa tahun belakangan ini rangkaian acara yang disuguhkan di televisi (TV) sangat beragam. Mulai dari sinetron, FTV (Film TV), kuis sampai reality show bergiliran mucul di layar kaca. Beberapa acara bertahan lama namun tak sedikit acara yang sekedar numpang lewat.
Acara yang
bertahan lama tersebut tak lepas dari tingginya rating yang didapat oleh acara
yang bersangkutan. Jika banyak pemirsa yang sedia menonton acara tertentu maka
tinggilah rating acara tersebut.
Namun, tingginya
rating suatu acara tak selalu berbanding lurus dengan kualitas acara yang
dipertontonkan. Tingginya rating juga tak mencerminkan seberapa bagus acara
tersebut untuk dikonsumsi semua kalangan umur.
Banyak acara TV
akhir-akhir ini tak mempedulikan kualitas dari acara mereka sendiri. Contohnya
sinetron. Sinetron menjadi primadona karena ceritanya yang membuat penonton
penasaran. Namun layakkah sebuah sinetron dikonsumsi oleh kalangan umur
tertentu?
Mari kita teliti
unsur-unsur yang pasti ada disebuah sinetron. Biasanya sebuah sinetron berkisah
mengenai kehidupan sehari-hari. Unsur pertama yang biasanya menjadi bumbu utama
cerita adalah konflik. Bisa dipastikan konfllik dari sebuah sinetron adalah
masalah percintaan, kalau tidak masalah perebutan harta warisan, atau bisa
dikombinasikan antara keduanya. Yang pasti kedua konflik yang dibangun tersebut
dihiasi dengan berbagi penyakit hati seperti iri dengki dan berbagai akal
licik.
Sudah menjadi ciri
khas sebuah sinetron di Indonesia iri dengki dan berbagai trik-trik licik
menghiasi sebuah sinetron. Istilahnya bagai sayur tanpa garam, kalau tak ada
iri dengkinya sebuah sinetron tak akan menjual. Nah masalah yang muncul disini
adalah masyarakat yang menjadi penonton sedikit demi sedikit diracuni dengan
konflik yang ada di sinetron tersebut.
Mari kita
renungkan, ada peran antagonis dan protagonis. Antagonis merupakan tokoh jahat
yang berhadapan dengan protagonis si baik hati. Umumnya cerita akan selalu
memojokkan si baik diposisi yang seakan-akan dia adalah orang jahat, si jahat
lah yang selalu berusaha membuat keadaan seperti itu, biasanya ini dilatar
belakangi oleh cinta atau kalau tidak harta. Selalu begitu di semua sinetron.
Si jahat selalu
menganiaya si baik, anehnya si jahat selalu menang dan si baik selalu buruk di
mata orang lain, yang semakin anehnya si baik malah ikhlas diperlalukan seperti
itu. Begitu terus sepanjang episode. Namun ada kalanya juga si baik akan menang
tetapi cuma satu episode yaitu satu episode terakhir.
Hal ini bisa
membentuk opini publik bahwa kejahatan akan selalu berkuasa atas kebaikan
karena sepanjang episode kejahatan lah yang selalu menang. Ini tak hanya ada di
satu sinetron saja, tetapi hampir disemua sinetron pada semua stasiun TV.
Hal lain yang patut
dicermati dalam sebuah sinetron adalah adanya kata-kata yang merendahkan harga
diri seorang manusia. Meskipun terselingi humor, namun tetap saja intinya
adalah merendahkan harga diri manusia. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah
sering menegur ini, Beberapa komedian sempat dicekal akibat kata-kata yang tak
enak didengar. Namun tampaknya taring KPI tak sanggup untuk menegur sinetron
yang secara frontal mempertontonkan berbagai penyakit hati.
Unsur berikutnya
adalah latar belakang penokohan. Kalau dulu sinetron-sinetron menjadikan tokoh
utamanya adalah seorang yang sudah dewasa, namun belakangan tokoh utama sudah
mulai menjamah pelajar SMA, SMP bahkan SD. Yang jadi permasalahan disini adalah
konflik yang dibangun dengan tokoh utamanya. Bayangkan saja konflik iri dengki
berhasil dibawa seara apik oleh seorang pelajar SMP disebuah sinetron yang
sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta.
Secara kemampuan
memang acting-nya patut dipuji, namun
pihak production house atau yang
dikenal dengan PH tak memikirkan dampak psikologis yang diakibatkan oleh
sinetron tersebut. Hal ini efektif meracuni otak anak-anak mengingat sinetron
tersebut memang sengaja ditujukan untuk anak-anak.
Inilah gambaran
buruknya kualitas acara TV di Indonesia. Belum lagi reality show yang katanya sudah dibuat skenarionya namun dikemas
secara apik sehingga terkesan skenario tersebut terjadi secara alami. Perlu
penegasan reality show yang dimaksud
di sini adalah reality show yang
mengumbar aib seseorang. Baik diskenario ataupun tidak yang pasti acara seperti
demikian tak ada etikanya karena menyebarluaskan aib seseorang yang semestinya
tak disebarluaskan, hal ini dilakukan demi mengejar rating semata.
KPI sebagai
lembaga yang berwenang mengurusi perizinan berbagai penyiaran di pertelevisian
Indonesia diharapkan mampu melarang berbagai bentuk acara-acara yang tak sesuai
dengan moral dan adat istiadat ketimuran khas Indonesia. Jangan memblokir
pemainnya, sebab itu merupakan langkah yang salah. Pemain tak bisa disalahkan
karena mereka cuma mencari nafkah.
Langkah tepatnya
KPI harus berani menindak PH-PH yang nakal memproduksi film yang tak sesuai
moral. Dengan sikap tegas KPI diharapkan tak ada lagi yang berani memproduksi
film yang tak sesuai dengan moral dan etika.
Pihak PH juga
dituntut kesadarannya untuk memproduksi film yang lebih berkualitas. Mereka
harus sadar bahwa mereka punya tanggung jawab sosial dan moral untuk
pembentukan moral anak bangsa. Telah terbukti masyarakat kita sudah cerdas.
Jadi tak ada gunanya memproduksi film-film yang tak bermutu seperti itu
Kita juga tak lupa
harus mengapresiasi acara-acara yang berkualitas, walaupun kalah dari segi
kuantitas namun inilah pekerjaan kita bersama bagaimana caranya mengupayakan
agar acara tersebut menang tak hanya dari segi kualitas tapi juga kuantitas.
@anakostteXas
sangat setuju sekali dengan yang di paparkan di atas.
BalasHapussemoga KPI membaca ini !
Semakin Banyak Tontonan Yang Menjadi Tuntunan [Negatif]