Rabu, 20 Februari 2013

Buruknya Kualitas Acara TV Kita

 

Oleh: Gio Ovanny Pratama

Dalam beberapa tahun belakangan ini rangkaian acara yang disuguhkan di televisi (TV) sangat beragam. Mulai dari sinetron, FTV (Film TV), kuis sampai reality show bergiliran mucul di layar kaca. Beberapa acara bertahan lama namun tak sedikit acara yang sekedar numpang lewat.
Acara yang bertahan lama tersebut tak lepas dari tingginya rating yang didapat oleh acara yang bersangkutan. Jika banyak pemirsa yang sedia menonton acara tertentu maka tinggilah rating acara tersebut.

Namun, tingginya rating suatu acara tak selalu berbanding lurus dengan kualitas acara yang dipertontonkan. Tingginya rating juga tak mencerminkan seberapa bagus acara tersebut untuk dikonsumsi semua kalangan umur.

Banyak acara TV akhir-akhir ini tak mempedulikan kualitas dari acara mereka sendiri. Contohnya sinetron. Sinetron menjadi primadona karena ceritanya yang membuat penonton penasaran. Namun layakkah sebuah sinetron dikonsumsi oleh kalangan umur tertentu?

Mari kita teliti unsur-unsur yang pasti ada disebuah sinetron. Biasanya sebuah sinetron berkisah mengenai kehidupan sehari-hari. Unsur pertama yang biasanya menjadi bumbu utama cerita adalah konflik. Bisa dipastikan konfllik dari sebuah sinetron adalah masalah percintaan, kalau tidak masalah perebutan harta warisan, atau bisa dikombinasikan antara keduanya. Yang pasti kedua konflik yang dibangun tersebut dihiasi dengan berbagi penyakit hati seperti iri dengki dan berbagai akal licik. 

Sudah menjadi ciri khas sebuah sinetron di Indonesia iri dengki dan berbagai trik-trik licik menghiasi sebuah sinetron. Istilahnya bagai sayur tanpa garam, kalau tak ada iri dengkinya sebuah sinetron tak akan menjual. Nah masalah yang muncul disini adalah masyarakat yang menjadi penonton sedikit demi sedikit diracuni dengan konflik yang ada di sinetron tersebut.
Mari kita renungkan, ada peran antagonis dan protagonis. Antagonis merupakan tokoh jahat yang berhadapan dengan protagonis si baik hati. Umumnya cerita akan selalu memojokkan si baik diposisi yang seakan-akan dia adalah orang jahat, si jahat lah yang selalu berusaha membuat keadaan seperti itu, biasanya ini dilatar belakangi oleh cinta atau kalau tidak harta. Selalu begitu di semua sinetron.

Si jahat selalu menganiaya si baik, anehnya si jahat selalu menang dan si baik selalu buruk di mata orang lain, yang semakin anehnya si baik malah ikhlas diperlalukan seperti itu. Begitu terus sepanjang episode. Namun ada kalanya juga si baik akan menang tetapi cuma satu episode yaitu satu episode terakhir.    

Hal ini bisa membentuk opini publik bahwa kejahatan akan selalu berkuasa atas kebaikan karena sepanjang episode kejahatan lah yang selalu menang. Ini tak hanya ada di satu sinetron saja, tetapi hampir disemua sinetron pada semua stasiun TV. 

Hal lain yang patut dicermati dalam sebuah sinetron adalah adanya kata-kata yang merendahkan harga diri seorang manusia. Meskipun terselingi humor, namun tetap saja intinya adalah merendahkan harga diri manusia. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah sering menegur ini, Beberapa komedian sempat dicekal akibat kata-kata yang tak enak didengar. Namun tampaknya taring KPI tak sanggup untuk menegur sinetron yang secara frontal mempertontonkan berbagai penyakit hati.

Unsur berikutnya adalah latar belakang penokohan. Kalau dulu sinetron-sinetron menjadikan tokoh utamanya adalah seorang yang sudah dewasa, namun belakangan tokoh utama sudah mulai menjamah pelajar SMA, SMP bahkan SD. Yang jadi permasalahan disini adalah konflik yang dibangun dengan tokoh utamanya. Bayangkan saja konflik iri dengki berhasil dibawa seara apik oleh seorang pelajar SMP disebuah sinetron yang sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta. 

Secara kemampuan memang acting-nya patut dipuji, namun pihak production house atau yang dikenal dengan PH tak memikirkan dampak psikologis yang diakibatkan oleh sinetron tersebut. Hal ini efektif meracuni otak anak-anak mengingat sinetron tersebut memang sengaja ditujukan untuk anak-anak.

Inilah gambaran buruknya kualitas acara TV di Indonesia. Belum lagi reality show yang katanya sudah dibuat skenarionya namun dikemas secara apik sehingga terkesan skenario tersebut terjadi secara alami. Perlu penegasan reality show yang dimaksud di sini adalah reality show yang mengumbar aib seseorang. Baik diskenario ataupun tidak yang pasti acara seperti demikian tak ada etikanya karena menyebarluaskan aib seseorang yang semestinya tak disebarluaskan, hal ini dilakukan demi mengejar rating semata.

KPI sebagai lembaga yang berwenang mengurusi perizinan berbagai penyiaran di pertelevisian Indonesia diharapkan mampu melarang berbagai bentuk acara-acara yang tak sesuai dengan moral dan adat istiadat ketimuran khas Indonesia. Jangan memblokir pemainnya, sebab itu merupakan langkah yang salah. Pemain tak bisa disalahkan karena mereka cuma mencari nafkah.

Langkah tepatnya KPI harus berani menindak PH-PH yang nakal memproduksi film yang tak sesuai moral. Dengan sikap tegas KPI diharapkan tak ada lagi yang berani memproduksi film yang tak sesuai dengan moral dan etika.

Pihak PH juga dituntut kesadarannya untuk memproduksi film yang lebih berkualitas. Mereka harus sadar bahwa mereka punya tanggung jawab sosial dan moral untuk pembentukan moral anak bangsa. Telah terbukti masyarakat kita sudah cerdas. Jadi tak ada gunanya memproduksi film-film yang tak bermutu seperti itu

Kita juga tak lupa harus mengapresiasi acara-acara yang berkualitas, walaupun kalah dari segi kuantitas namun inilah pekerjaan kita bersama bagaimana caranya mengupayakan agar acara tersebut menang tak hanya dari segi kualitas tapi juga kuantitas.


@anakostteXas
 

1 komentar:

  1. sangat setuju sekali dengan yang di paparkan di atas.
    semoga KPI membaca ini !
    Semakin Banyak Tontonan Yang Menjadi Tuntunan [Negatif]

    BalasHapus

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com