Sejak masa kepemimpinan Johar Arifin Husein di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pertengahan 2011 lalu, banyak sekali yang terjadi pada iklim persepakbolaan di negeri ini. Bermula dari memecat seluruh orang-orang yang terlibat dengan ketua umum sebelumnya (NurdinHalid), memecat pelatih tim nasional kala itu dan mengubah format liga dari Liga Super Indonesia (LSI) menjadi Liga Primer Indonesia (LPI). Hal ini mengindikasikan nakhoda baru PSSI benar-benar ingin membersihkan PSSI dari pengaruh kepemimpinan sebelumnya.
Namun langkah Johar ini mendapat banyak pertentangan
dan cenderung kontroversial. Banyak rakyat yang mulai meragukan kepemimpinan Johar.
Para birokrat pun sering kali mempertanyakan langkah-langkah yang diambil PSSI.
Saat itulah muncul sebuah pergerakan yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat
Sepakbola Indonesia(KPSI) yang dipimpin La NyalaMataliti.
La Nyala Mataliti ialah salah seorang anggota
dalam kepengurusan PSSI masa Nurdin Halid. Ia menilai PSSI pimpinan Johar sudah
banyak melenceng jauh, untuk itu lah ia membentuk komite “penyelamat” sepakbola
nasional. Sebagian orang menyebut KPSI sebagai PSSI tandingan.
Tindakan La Nyala dengan membentuk PSSI
tandingan semakin nyata dengan dibentuknya liga tandingan yang bernama Liga
Super Indonesia (LSI). Padahal liga yang sah adalah LPI. Sebanyak delapan belas
klub ambil bagian dalam liga ini. Mayoritas klub adalah peserta liga tahun lalu
dengan materi pemain-pemain nasional dan sarat pengalaman. Sedangkan sisanya adalah
klub-klub baru.
Adanya dualism kepengurusan dan liga ini memancing
Asian Footbal Confederation (AFC) dan Federation International Football
Association (FIFA) untuk bertindak.FIFA dan AFC telahmewanti PSSI untuk segera menyelesaikan
konflik internal sebelum Indonesia terkena sanksi.
Buntutnya Kementrian Pemuda dan Olahraga (kemenpora) tak
mengucurkan dana untuk timnas yang akan berlaga mulai di piala Asean Federation
Football (AFF CUP). Timnas yang telah dibentuk dengan terpaksa berlaga dengan
uang seadanya. Bahkan para pendukung setia timnas melakukan aksi dana melalui
gerakan koin untuk timnas. Melalui gerakan ini mereka berhasil mengumpulkan
dana sekitar Rp 50 juta lebih untuk keperluan timnas. PSSI juga tak
tinggal diam, mereka berhasil menghimpun dana mencapai Rp 1
miliar lebih melalui gala dinner yang
diadakan 26 November 2012 di Hotel Mulia, Jakarta.
Pihak yang tak seharusnya bermasalah malah mendapatkan imbas
yang tak seharusnya mereka terima. Mengapa pemain yang ingin membela nama
negara malah dihalang-halangi oleh kepentingan satu pihak?
Sepakbola merupakan olahraga yang benar-benar digemari
oleh seluruh masyarakat Indonesia. Rakyat jelata sampai konglomerat menggilai
olahraga yang satu ini. Hal inilah yang benar-benar dimanfaatkan oleh satu
pihak untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hal ini jelas tergambar di masa
kepemimpinan PSSI masa Nurdin Halid. Aroma politis juga tercium dari masa
Nurdin, kala itu sewaktu timnas hendak melakoni laga final piala AFF 2010 malah
di ajak bersantai di rumah salah seorang petinggi partai politik yang cukup
disegani. Seharusnya timnas harus latihan kondusif dan jangan sampai ada agenda
yang bakal merusak konsentrasi timnas.
Memang akhirnya Timnas yang dilatih
Nilmaizar gagal lolos ke putaran final AF Cup 2012 ini. Harusnya hal ini
menjadi moment bersatunya kembali insan-insan sepakbola nasional untuk
mengakhiri perseteruan ini. 10 Desember lalu PSSI mengadakan kongres di
Palangkaraya. Menurut perwakilan FIFA dan AFC kongres ini sah karena mengacu
pada statuta, akan tetapi terjadi sebuah insiden yang membuat kongres diadakan
di loby hotel karena ruangan yang dipakai sebelumnya dikunci dan diblokir oleh
pihak kepolisian. Kepolisian beralaskan penguncian ruangan tersebut akibat tak
adanya izin dari Polisi daerah (Polda) Kalimantan Tengah dan tak ada anjuran
dari kementerian Pemuda dan Olahraga (kemenpora).
Tak mau kalah KPSI pimpinan La Nyala
juga mengadakan kongres tandingan di Hotel Sultan Jakarta. Entah kenapa mereka
ikut-ikutan mengadakan kongres yang jelas-jelas KPSI itu ilegal. Dan yang
anehnya kongres PSSI yang sah malah dihalang-halangi pemerintah, sedangkan
kongres KPSI yang nyatanya ilegal malah dibiarkan pemerintah.
Tampak pemerintah mendukung KPSI
yang didukung La Nyala. Jika dilihat dari latar belakang pemimpin KPSI dan
dekingannya di pemerintahan mereka adalah orang-orang partai politik tertentu.
Yang pasti sepakbola mereka jadikan alat untuk kekuasaan dan jalan pintas
menuju persaingan di 2014.
Pemerintah harus bersikap dan
bertindak tegas dalam dualisme ini. Mudah saja yang sah di mata hukum dan
statuta FIFA adalah PSSI yang dipimpin oleh Johar sedangkan KPSI oleh La Nyala
adalah ilegal dan tak punya hak dalam mengambil alih PSSI. Berdasarkan kongres
PSSI di Palangkaraya lalu PSSI bisa memaafkan La Nyala dan teman-temannya juika
yang bersangkutan sadar dan mau minta maaf. Namun dilain pihak, KPSI malah
mengupayakan usaha pengambilalihan kantor PSSI dan Kepengurusan PSSI. Tampaklah
siapa yang berniat buruk disini.
Sekali lagi pemerintah harus tegas
dalam menentukan sikapnya. Jangan terbawa suasana politis dan kesamaan latar
belakang, walaupun pemerintah kita susah bersikap profesional, kita harus paksa
orang-orang yang berkuasa di atas untuk membuka mata, hati dan telinganya. Kita
sudah pengalaman mulai dari menurunkan Soeharto dulu sampai menurunkan Nurdin
Halid 2010 lalu. Baik KPSI maupun PSSI sama-sama merasa benar, kitalah yang harus
menghakimi kedua kubu ini.
*Juga dimuat di suarausu.co
@anakostteXas
0 komentar:
Posting Komentar