Aku terbangun saat kakiku tengah dipijat oleh Nina.
Pijatannya terasa nyaman.
“Sudah bangun toh Ki,” sapanya.
“Oh iya Nina, kamu baik
sekali.” Kataku membalas kebaikan hatinya.
“Ah kamu ini, kita kan
saudara,” Balasnya.
Aku hanya membalas senyumannya sambil memikirkan sesuatu.
“Hmmm ngomong-ngomong aku kemarin jatuh kenapa
ya?” tanyaku.
“Hahahaha kamu itu,
memang lah ya, selendang yang kau
pakai setiap hari itu loh yang
buat
kau tersandung,” jelasnya.
Aku tak percaya, aku memang selalu mengenakan selendang
berwarna merah. Sejak kecil aku selalu nyaman mengenakan selendang ini. jika
sehari saja aku tak mengenakannya hati ku terasa gelisah, serasa ada yang
hilang.
“Ah mana mungkin aku
bisa jatuh karena selendang ini, selendang ini kan tak begitu panjang sampai
bisa membuatku jatuh.” Sanggahku.
“Terserahmu kalau tak
mau percaya, aku melihatnya sendiri loh,
kemarin itu selendangmu jatuh, salah satu kakimu menginjak ujungnya dan ujung
yang lain menjerat kakimu hingga akhirnya kamu tersandung dan kepalamu kejedot dinding,” terang Nina.
“Oh begitu kah?” ucapku
sambil melongo.
Aku menatap pada selendang merah yang selalu bersamaku
selama dua puluh tahun ini. melihatnya aku seakan menonton kembali memori dua
puluh tahu lalu saat seorang perempuan muda pergi meninggalkanku di sebuah gubuk kecil. Tak banyak
yang bisa ku ingat, aku masih berumur setahun saat itu. Wanita itu masih begitu
muda, ku taksir mungkin umurnya sekitar 21 tahun, seumur denganku di saat ini.
Aku tak mengerti kenapa ia meninggalkanku, saat itu ia hanya berkata “Kamu
sembunyi saja di sini, sejam lagi akan ada yang menjemputmu, pakai selendang
merah ini untuk pertanda mereka,” ucapnya tergesa-gesa.
Aku rasa mungkin itu ibu kandungku sebab selama setahun aku
bersamanya aku selalu merasa nyaman. Rasa nyaman yang sama aku rasakan saat aku
bersama selendang merah ini.
***
Seusai makan malam aku dipanggil ayah dan ibu angkatku.
Aku tak tahu kenapa mereka tiba-tiba memanggilku.
“Kiki, ada seseorang
yang ingin menemuimu besok,” kata mama.
“Haaa siapa memangnya
ma? Kenapa harus memanggilku segala? Suruh saja datang langsung ke rumah ini?”
jawabku bertanya-tanya.
“Kamu lihat saja besok,
kami tak bisa jelaskan sekarang padamu, yang jelas besok jam sepuluh pagi kamu
ikut kami ya Ki,” jelas ayah.
“Baiklah yah kalau
memang seperti itu,” balasku.
Ku simpan rasa penasaran itu, hingga akhirnya rasa
penasaran itu ku bawa tidur.
Paginya aku telah bersiap, selendang merah tetap ku
kenakan. Kali ini Ibu tak memintaku untuk
meninggalkan selendang itu,padahal
biasanya ibu selalu memintaku
untuk meninggalkan selendang itu, sudah usang katanya. Namun semakin keras ia melarang semakin keras pula aku
menolaknya. Kalau sudah seperti itu ibu tak bisa apa-apa lagi, ia hanya bisa menurut
saja.
Ayah dan ibu membawaku ke sebuah rumah sederhana di
pinggiran kota. Sebuah rumah semi permanen, cat dindingnya kusam, di beberapa
tempat tumbuh lumut yang begitu tebal. Kami disambut seorang wanita paruh baya,
mungkin umurnya sekitar empat puluhan tahun. Ia menatapku begitu dalam,
tiba-tiba matanya berkaca-kaca menahan tangisan. Namun ia langsung
mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah. Ayah dan ibu membimbingku ke
dalam.
Wanita itu langsung memelukku erat sembari mengusap
punggungku. Ia juga menciumi selendang merahku namun ia tak mampu berkata-kata.
Aku bingung dengan perlakuan wanita itu. Aku hanya diam untuk menghargainya.
“Ki perkenalkan ini bu
Maya,” terang ibu.
“Ki kamu ingat dua puluh tahun lalu, seorang
wanita muda meninggalkanmu di sebuah gubuk kayu?” Tanya ayah.
“Iya yah aku masih
ingat, wanita itu lah yang memberikan selendang merah ini padaku, katanya
sebagai penanda untuk orang yang menjemputku nanti, tapi aku tak ingat siapa
wanita itu, kenapa memangnya yah?” tanyaku balik.
“Bu Maya ini lah wanita
muda waktu itu, ia lah ibu kandungmu,” jelas ibu padaku.
Sontak aku terkejut, aku serasa tak percaya. Ku lihat bu
Maya ia tertunduk sambil meneteskan air mata, ia tak berani menatapku. “Benarkah? Apa iya ibu
kandungku masih hidup? Apa iya ibu ini ibu kandungku?” banyak pertanyaan muncul
di benakku.
Ayah langsung menceritakan sebuah peristiwa dua puluh
tahun lalu. Kala itu sedang terjadi perang saudara akibat perbedaan agama.
Kedua pihak tak bisa menghindarkan perang, perang itu berlangsung selama setahun.
Ibu terpaksa membawaku ke sebuah gubuk yang aman dari jangkauan lawan,
tujuannya agar aku tak menjadi incaran mereka untuk dibunuh. Ibu, ayah dan keluarganya
tertangkap, disiksa dan dibunuh, hanya ibu yang tak dibunuh. Namun ibu
dijadikan budak oleh salah seorang dari mereka, lidahnya dipotong supaya tak
bisa melawan, oleh sebab itu ibu yak bisa bicara. Selama dua puluh tahun
ibu hidup dalam kesengsaraan dan tekanan mental. Ia tak bisa melawan atau pun
mencari bantuan.
Hingga akhirnya Ayah dan Ibu Nina membebaskannya setelah
secara tak sengaja Ayah Nina menemukan Bu Maya di rumah sakit sedang dirawat.
Setelah Bu Maya dibebaskan, Ayah Nina menanggung semua
biaya pengobatan hingga ia sembuh dan bisa dipertemukan denganku.
Aku menangis mendengar cerita itu, tak kusangka aku masih
bisa bertemu dengan ibu kandungku lagi. Aku peluk erat. Ia mengenali selendang
merah yang ku pakai, ia menunjuk-nunjuk pada selendang itu seakan-akan ingin
mengatakan ini selendang yang ku berikan padamu dulu. Aku yakin Bu Maya
adalah ibu kandungku.